AGAMA DAN KEKERASAN (Membongkar Wacana Fundamentalisme Agama)
Runtuhnya komunisme di Eropa Barat dan terkoyaknya ideologi Marxis di Uni Soviet pada tahun 1990–an telah memunculkan spekulasi para pengamat politik tentang “musuh baru yang bakal dihadapi Amerika”. Kekuatan ideologi apa yang akan menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi liberal di negara-negara Barat menuju pembangunan dunia secara global? Jawabnya ternyata fundamentalisme agama. (E. Marty dan Appleby, Fundamentalism and the State, dalam Imam, 1999: 108). Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang bisa lahir dari semua agama dimana dan kapan saja. Oleh karena itu dikenal istilah: fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, fundamentalisme Kristen dan seterusnya.
Pada umumnya para ahli memandang, bahwa fundamentalisme adalah paham yang berjuang untuk menegakkan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional untuk menghadapi sekularisme. Dalam agama Kristen, fundamentalisme muncul karena ingin membendung bahaya modernisme yang dianggap telah mengotori kesucian agama dan ingin kembali kepada teks kitab Suci (Bibel).
Dalam sebuah pertemuan di Niagara pada tahun 1895, kalangan geraja mengeluarkan memorandum yang terkenal dengan lima poin fundamentalisme (the five points of fundamentalism ), yaitu : (1) kitab suci tidak dapat salah kata demi kata, (2) penegasan ketuhanan Yesus, (3). kelahiran Yesus dari ibu perawan (4) penegasan teori penebusan dosa (5) kebangkitan serta kehadiran Yesus kembali secara fisik (Ka’bah dan M. Said, 1987: 33).
Dalam perspektif Islam, fundamentalisme juga diartikan sebagai paham yang bermaksud mempertahankan ajaran dasar Islam yang sebenarnya, seperti yang dilakukan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyah yang bermaksud ingin “memurnikan“ ajaran Islam dari segala bentuk tahayul, khurafat dan bid’ah. Tetapi perkembangan lebih lanjut kelompok fundamentalisme di atas memiliki konotasi minor dan sangat pejoratif, bahkan dianggap sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu dikaitkan dengan gerakan-gerakan dan revolusi, seperti gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Khumaini di Iran, Hasan al- Banna, Sayid Qutub di Mesir dan seterusnya. Sebagian orang juga menilai, bahwa fundamentalisme adalah kelompok yang melawan tatanan politik yang ada. Oleh sebab itu kelompok oposisi Islam sering dianggap sebagai fundamentalis. Di lain pihak kelompok ini juga dianggap sebagai gerakan subversif (Martin, 1992: 1).
Fundamentalisme Islam, populer di kalangan Barat setelah terjadinya revolusi Iran tahun 1979. Menurut E.Marty (1999), ada dua prinsip fundamentalisme: pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kedua, adalah penolakannya terhadap heurmenetika. Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis, skriptualis.
Fundamentalisme = kekerasan?
Kenapa gerakan fundamentalisme agama selalu dikaitkan dengan kekerasan dan pemberontakan? Karena dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan ini tidak jarang menempuh jalan kekerasan. Jika gerakan ini beraksi maka pertumpahan darah hampir dipastikan tak terelakkan dan ini terjadi karena adanya pemahaman dan keyakinan yang mendasari “ajaran” agama tersebut yang dianggap paling benar (normatif-ideologis). Keyakinan ini berlaku pada semua sekte agama baik Islam (Sunni, Syi’i), Yahudi, Katholik maupun yang lainnya.
Gerakan kelompok yang berada dalam negara agamis (seperti: Iran, Srilangka, Afganistan, Libanon, Saudi Arabia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab), menurut E. Marty bersifat revolusioner dan bertujuan untuk mengusir hegemoni asing yang akan berlangsung lama. Sebaliknya di negara-negara sekuler (seperti: Amerika dan Eropa) bertujuan untuk mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah.
Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik antar agama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai itu sendiri. Masing-masing kelompok mengklaim paling benar sendiri. Lihat saja misalnya konflik antar kelompok Hisbullah dan Amal di Libanon, Syi’i dan Sunni, Hindu dan Budha di Srilangka serta Yahudi dan Kristen di Israel.
Fundamentalisme atau Reduksionisme?
Kelompok fundamentalis selalu resisten terhadap sekularisme. Namun ironisnya, ketika sudah berhasil memenangkan aksinya mereka tidak dapat melepaskan diri dari sekularisme tersebut. Hal ini dapat dilihat di Iran dan Srilangka kaun fundamentalis tidak bisa lepas dari proses manfaat sekularisasi, bahkan di Srilangka, Afganistan dan Iran para pemimpin kelompok fundamentalis telah akrab dengan produk sekuler dan doktrin Marxis. Di Israel kelompok fundamentalis Gush Emunies juga menerapkan cara–cara Marxis meskipun mereka tidak sejalan (E. Marty, dalam Imam,1999: 110).
Masih relevankah memberi cap fundamentalis terhadap sebuah kelompok agama yang hanya sekadar agresif terhadap aksinya? Sekarang istilah fundamentalisme lebih sederhana diberikan orang. Asal sebuah kelompok tersebut sering melakukan aksi dan banyak menggelar tabligh akbar dengan mengatasnamakan agama secara formal, maka kelompok tersebut dianggap sebagai fundamentalis. Meminjam terminologi Arkoun, lebih tepat kelompok ini disebut kelompok Islamaway atau Ushulawy (menggunakan w/wawu), bukan Islamy atau Uhuly.
Adalah pemikir Islam moderen Mohammed Arkoun, mencoba memberikan istilah fundamentalisme ini dengan ungkapan yang berbeda, yaitu: Ushulawy atau Ushulawiyah (menggunakan huruf w/wawu). Arkoun menggunakan dua istilah baru: Islamawy atau Islamawiyah untuk islamisme dan Ushulawy atau Ushulawiyah untuk fundamentalisme. Menurut Arkoun, Islamawy/Islamawiyah bermakna penggunaan keyakinan atau pandangan pemikiran secara berlebihan. Adapun istilah Islamy (tanpa w) bermakna adanya kesederhanaan sikap yang tetap fleksibel dan inklusif dalam aspek pemikiran dan intelektualitas. Menurut Arkoun, pejuang Islamawy/Islamawiyah menggunakan ungkapan secara leksikal/harfiah untuk tujuan politisnya dan mengambil unsur dari sana sini untuk mempermainkan imajiner politis para pejuang yang bertujuan untuk memobilisir rakyat. Seperti juga istilah Islamy, istilah Ushuly, menurut Arkoun, mengacu kepada sesuatu yang positif dan mendorong kita kepada sejarah pemikiran Islam di saat munculnya literatur ushul: Ushul ad-Din dan Ushul al-Fiqh. Wacana Islamawy menggunakan jenis pemikiran yang semaunya atau melakukan distorsi (Lihat Arkoun dalam Jauhari et.al., 1999: 67-68).
Oleh sebab itu istilah fundamentalisme hemat penulis, justru harus dibongkar atau didefinisikan ulang (redefine). Penamaan sebuah gerakan Islam yang tidak tepat justru akan berakibat fatal terhadap Islam itu sendiri. Fundamentalisme Islam yang selama ini dikaitkan dengan gerakan kekerasan atau pemberontakan adalah kekeliruan besar dan mereduksi nilai Islam itu sendiri. Menurut penulis, istilah fundamentalisme dan radikalisme lebih tepat diberikan kepada pemikir Islam seperti: Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, An-Naim, Ashgar Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang selama ini memiliki pemikiran keislaman yang mendasar (fundamental) dan mendalam (radix), bukan seperti Soemargono (dari partai Bulan Bintang), yang secara intelektual-keislaman masih belum dikenal dan belum menguasai banyak khazanah Islam klasik.
Oleh sebab itu pemikiran fundamentalis lebih identik dengan pemikiran substansialis. Dengan begitu maka gerakan fundamentalisme adalah gerakan inklusivisme, tidak sebaliknya, yang selama ini berkonotasi ekslusif dan tekstual-skripturalis, yang kebanyakan dari kelompok berbasis minim pengetahuan agama.
Menurut Arkoun, penilaian yang keliru terhadap wacana fundamentalisme ini sudah lama dilakukan oleh pengamat Barat dan termasuk juga pengamat Islam sendiri. Oleh sebab itu para orientalis dan Barat pada umumnya selalu memandang Islam sebagai agama kekerasan dan identik dengan gerakan teroris.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen, Martin Van (1992) Muslim Fundamentalism: Can it be Understood or Should be Explained a Way, Makalah.
Imam Suprayogo (1999) Reformulasi Visi Pendidikan Islam, Malang STAIN Press.
Jauhari et.al. (eds.) (1999) Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Modernisme, Surabaya, al-Fikr.
Rifyal Ka’bah & M. Said (1987) Reaktualisasi Ajaran Islam, Visi Salaf dan Moderen. Jakarta, Pustaka.
(Author)