Diskusi Hari Kedua Ulang Tahun JIL Ke-7 Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Perspektif Legal-Formal
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 1474 views
Secara doktrinal, agama mengkampanyekan keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama ia bisa muncul dengan wajah yang garang dan penuh kekerasan. Dalam konferensi tentang perdamaian dan HAM untuk memperingati 950 tahun kota Nuremberg, disimpulkan bahwa pesan perdamaian dan kasih sayang agama dapat didistorsi menjadi instrumen kebencian dan konflik. Diskusi Ulang Tahun Jaringan Islam Liberal ke-7 hari kedua, tanggal 18 Maret 2007, mengangkat tema “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Perspektif Legal-Formal.” Diskusi ini menghadirkan Adnan Buyung Nasution (anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum), MM Billah (Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia), dan Uli Parulian Sihombing (Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center). Acara ini dipandu oleh Trisno S. Susanto (Direktur Masyarakat Dialog Antar-Agama). Incompatibilitas antara jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama dan aplikasinya dalam kehidupan bernegara adalah persoalan yang mengemuka pada diskusi ini. Semua pembicara meyakini bahwa pada dasarnya Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adnan Buyung dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Bagi Buyung, negara tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. “Tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui di negeri ini,” tegas Buyung. Lebih jauh Buyung menegaskan bahwa negara harus netral agama. Jika harus ditanya mana yang lebih tinggi kedudukannya antara agama dan Konstitusi, menurut Buyung, maka Konstitusi menaungi semua agama untuk bisa hidup secara damai. Tidak ada satu agama yang harus diistimewakan atas agama yang lain. Kasus kekerasan atas nama agama sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap Konstitusi. Memang, menurut Buyung, ada produk perundang-undangan yang masih mencoba mengekang kebebasan beragama, seperti dalam UU PNPS 1965 tentang adanya lima atau enam agama yang diakui. Hal yang sama juga terdapat dalam KUHP pasal 156 a tentang penodaan agama. Meski begitu, kedua produk UU ini masih menyisakan perdebatan. PNPS 1965 sebetulnya tidak memberikan pernyataan eksplisit tentang beberapa agama yang diakui, kemudian serta merta yang lain menjadi tidak sah. Di sana hanya dicantumkan agama-agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, sementara bukan berarti bahwa agama lain yang belum banyak dianut itu tidak bisa hidup. Demikian halnya pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama. Pasal ini bermasalah karena terlalu banyak membuka ruang tafsir tentang apa sesungguhnya yang disebut sebagai penodaan agama. Pada praktiknya, mereka yang mengaku memiliki otoritas agamalah yang selalu memaksakan penafsirannya mengenai siapa yang menodai dan siapa yang berpegang teguh terhadap agama. Adnan Buyung juga memberikan sorotan keras terhadap praktik hukum di Indonesia yang kerapkali tunduk kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Atas dasar apa MUI harus dijadikan rujukan hukum?” tegas Buyung. Bagi dia, MUI tidak lebih dari sebuah Ormas yang tidak memiliki legitimasi apa-apa untuk menentukan paham mana yang sesat dan paham mana yang benar. Negara harus tunduk kepada hukum, bukan kepada kelompok-kelompok seperti MUI. Melihat gejala yang ada, MM Billah mencoba terlebih dahulu menjelaskan posisi agama dalam kehidupan sosial. Menurut Billah, ada paradoks yang mesti diperhatikan dalam realitas agama. Secara doktrinal, agama mengkampanyekan keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama ia bisa muncul dengan wajah yang garang dan penuh kekerasan. Dalam konferensi tentang perdamaian dan HAM untuk memperingati 950 tahun kota Nuremberg, disimpulkan bahwa pesan perdamaian dan kasih sayang agama dapat didistorsi menjadi instrumen kebencian dan konflik. Pada titik inilah diperlukan kebebasan berkeyakinan. Kebebasan berkeyakinan adalah manifestasi dari hak azasi manusia yang paling mendasar. Tidak ada sesuatu yang bisa menghalangi penerapan HAM sebab HAM adalah sesuatu yang dijamin secara konstitusional, HAM sesuai dengan hukum moral, HAM juga sesuai dengan hukum legal, HAM bersifat universal, dan juga internasional. Pada tingkat internasional, kebebasan berkeyakinan dijamin di dalam Pasal 2 DUHAM: “Setiap orang berhak atas semua hak…tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama/keyakinan, politik atau pendapat yang berlainan….” Demikian pula Pasal 18 DUHAM yang menyebutkan “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan…” Instrumen internasional lain dapat ditemui dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Kovenan Hak Sipol (Pasal 18); Kovenan Hak Ekosob (Pasal 2); Kovenan Hak Anak (Pasal 14); Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar (Pasal 9); Konvensi Amerika untuk HAM (Pasal 12); Konvensi Afrika tentang Segi Khusus Pengungsi dan Masalah di Afrika (Pasal 8); Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama/Keyakinan (Pasal 1 – 3), dan lain-lain. Sementara di dalam negeri telah dikenal beberapa bentuk perundang-undangan yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan: UUD 1945 Pasal 28 e; UU No. 39/1999 Pasal 22 ayat 1; UU Nomor 11/2005 tentang Ratifikasi Hak Ekosob; UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik; dan lain-lain. Billah membagi tiga bentuk keyakinan yang dijamin kebebasannya: keyakinan theistik, keyakinan non-theistik, dan keyakinan a-theistik. Hal ini tercantum dalan DUHAM pasal 18 yang menyatakan perlindungan terhadap keyakinan theistik, non-theistik, dan a-theistik, juga kepada agama atau keyakinan apapun. Billah mengakui bahwa belakangan ini muncul produk perundang-undangan yang mencoba menyalahi konstitusi dan mencoba mendesakkan upaya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada kasus-kasus semacam itu, maka kelompok progressif perlu melakukan constituional review atas semua UU atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bisa disalurkan kepada Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, perlu juga diupayakan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang menyediakan jalur untuk upaya kedua ini. Sebelum menutup presentasinya, MM BIllah menjelaskan bahwa sesungguhnya pelbagai kasus kekerasan agama belakangan ini membawa pelanggaran UU yang tidak sedikit. Pelanggaran itu bukan hanya terkait dengan aksi kekerasan, tetapi juga pengahasutan dan penyebaran kebencian di ruang publik. Ada pula upaya pembiaran (crime by omission) terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dengan masih minimnya proses hukum dan bentuk pencegahan terhadap aksi kekerasan yang terjadi. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa jika kasus kekerasan agama tersebut diproses secara hukum, maka aparat hukum cenderungan menjadikan korban sebagai tersangka. Dalam hal ini, aparat secara langsung menjadi pelaku kekerasan itu sendiri (crime by commission). Senada dengan dua pembicara sebelumnya, Uli Parulian juga menekankan tentang jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama. Kendati begitu, pada tingkat tertentu kekebasan beragama ini juga dibatasi. Pasal 156 a dan UU No. 11/PNPS/1965 adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Meski kebebasan beragama dijamin dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua), namun pembatasan itu bisa ditemui dalam pasal 28 j ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua). Kendati demikian, harapan masih terbuka lebar bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dengan diratifikasinya Kovenan Hak SIPOL melalui UU No. 12/2005. Di samping menjelaskan pelbagai produk perundang-undangan dan penjabarannya, Uli juga mencoba memberikan analisis sosiologis atas pelbagai kasus kekerasan agama di Indonesia. Menurut Uli, beberapa kasus kekerasan yang ada justru tidak terlalu terkait dengan agama. Pemicu paling besar adalah masalah ekonomi politik. Agama seringkali hanya dijadikan sebagai tameng bagi kepentingan lain. Kasus-kasus kekerasan agama yang ada paling sering terjadi pada masa-masa ketika sedang terjadi gejolak politik lokal. Tampaknya, menurut Uli, ada yang bermain di air keruh. Kasus sesat menyesatkan dijadikan alasan untuk sebuah mobilisasi massa bagi kepentingan politik tertentu. Meski begitu, seperti yang Uli akui sendiri, kasus kekerasan, apapun motifnya, tetap harus diproses secara hukum. 11/04/2008 | Diskusi | # Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending) As wr wb Allah menjadikan bumi ini untuk hidup mahluk-Nya dari berbagai kelompok, golongan dan keyakinan. Bahkan Allahpun memberi waktu kepada iblis sampai dunia kiamat nanti untuk menyeru manusia kepada jalan sesat (neraka). Allah telah membebaskan manusia untuk memilih agama dan keyakinannya masing masing dengan segala risiko yang harus ditempuh terhadap pilihannya. Manusia bebas memilih mau masuk neraka atau syurga, mau jadi orang sesat atau yang mendapat hidayah, asal betul betul merupakan pilihannya sendiri. Tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu apalagi Islam. Allah menjadikan bumi ini untuk semua agama dan golongan. Mau ber-iman silahkan mau atheis silahkan, mau masuk salah satu agama dan keyakinan...silahkan. Namun ingat masing masing pilihan ada resiko dan konsekwensinya. Bagi pencinta al-Qur’an yang saya hormati, saya menemukan beberapa ayat yang mendukung pernyataan diatas antara lain: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah 256) Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Yunus 99) Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (At Thagobun 12) Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari padaku; “Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (As Sajdah 13) Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, h ingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.(Al A’raaf 40) - Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Al An Aam 125) Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil. (Al An Aam 35) Dari beberapa ayat diatas jelas bahwa kewajiban Rasul, ataupun umat Islam sekarang ini hanyalah menyampaikan kebenaran AlQur’an dan ajaran Islam, bukan memaksakan keyakinan Islam kepada orang lain. Hidayah dan petunjuk itu kewenangan Allah, kewajiban kita hanya menyampaikan kebenaran, jika mereka menolak, risikonya mereka tanggung sendiri. Mengacu pada ayat diatas sebenarnya tidak ada alasan bagi umat Islam untuk merasa jengkel, sakit hati, atau kecewa karena banyak orang yang tidak peduli dengan ajaran Islam . Dan tidak pula ada alasan untuk menuduh bahwa islam dikembangkan dengan kekerasan dan paksaan. Dengan mengacu pada ayat Qur’an tersebut diatas seyogyanya Umat Islam cukup legowo untuk berbeda pendapat dan berkeyakinan , karena hidayah itu adalah hak dan kewenangan Allah. Posted by Fadhil ZA  on  12/16  at  07:30 AM Setiap individu berhak untuk meyakini/ menjalankan agama/keyakinannya. setiap individu berhak untuk menyatakan agamanya yg paling benar. Tapi kita juga tidak boleh meyalahkan agama/keyakinan orang lain, apa lagi melakukan kekerasan dengan dalih agama. Mari kita ciptakan perdamain di Bumi Indonesia dengan tidak saling menyalahkan orang lain atau menyalahkan keyakinan/agama yg lain Posted by Osaman  on  11/06  at  03:31 PM Standart islam ialah rahmatan lil alamin. kalaupun ada doktrin agama yg berbau kekerasan (perang misalnya), maka itu akan membawa rahmat. Yang dibutuhkan bangsa ini ialah pemimpin yang berkeadilan dan masyarakat yg cerdas, yang dapat menilai kondisi yg pas untuk menjalankan suatu doktrin, Sehingga doktrin itu selalu membawa rahmat dengan nilai mudhorat yang minimal. Posted by santoso  on  10/08  at  05:43 AM Saya muslim yang bodoh, dan sering bertanya. Saya percaya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. itu yang saya percaya dan jalani, maka saya berusaha mengasihi semua, tidak membenci dan memusuhi. Saya sesekali tidak suka pada perbuatan orang, tapi tak pernah merasa harus tidak suka juga dengan apa yang dia anut, atau dari suku apakah dia. Bagi saya, hal-hal yang tidak saya sukai itu semata produk orang yang bersangkutan, bukan produk suku, ras, atau agama yang dianutnya. Hari ini saya berpikir ulang, mengapa ada ajaran untuk memusuhi suatu kaum (Yahudi)? Kalau toh begitu bandel si kaum ini, kenapa dimusuhi, kenapa tidak cukup hanya dijauhi saja -kalau mungkin takut ketularan bandel? Memusuhi dan membenci saya pikir nggak akan membuat si bandel berubah, jadi mengapa mesti mengotori hati dengan kemarahan? Posted by sugito  on  09/03  at  06:20 PM Saya muslim yang bodoh, dan sering bertanya. Saya percaya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. itu yang saya percaya dan jalani, maka saya berusaha mengasihi semua, tidak membenci dan memusuhi. Saya sesekali tidak suka pada perbuatan orang, tapi tak pernah merasa harus tidak suka juga dengan apa yang dia anut, atau dari suku apakah dia. Bagi saya, hal-hal yang tidak saya sukai itu semata produk orang yang bersangkutan, bukan produk suku, ras, atau agama yang dianutnya. Hari ini saya berpikir ulang, mengapa ada ajaran untuk memusuhi suatu kaum (Yahudi)? Kalau toh begitu bandel si kaum ini, kenapa dimusuhi, kenapa tidak cukup hanya dijauhi saja -kalau mungkin takut ketularan bandel? Memusuhi dan membenci saya pikir nggak akan membuat si bandel berubah, jadi mengapa mesti mengotori hati dengan kemarahan? Posted by Dien  on  09/03  at  12:15 PM

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up