GENOSIDA DAN RAMIFIKASINYA DI INDONESIA
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 39914 views
Akankah Tindakan Genosida dan Ramifikasinya (genosida Budaya, Ekologi dan Politik) berakhir di Indonesia? Genosida, sebagai suatu istilah, secara resmi belum terdapat dalam kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, setidak-tidaknya sampai tahun 1990. hal ini berarti istilah genosida (genocide) dapat dikatakan tergolong baru, belum lagi makna yang terkandung di dalamnya belum banyak awam yang memahaminya. Oleh karena itu kehadiran buku berbahasa Indonesia mengenai seluk beluk genosida menjadi penting untuk menambah wawasan kita semua, khususnya aparat yang duduk dalam pemerintahan, TNI, Polri, legislatif maupun yudikatif. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada pasal 7 menyebutkan, “Kejahatan genosida” adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di dalam pasal 8 disebutkan, “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 tersebut adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pasal 8 UU 26/2000 di atas tidak mengatur secara tegas kapan dilakukan kejahatan genosida di waktu damai atau di saat perang, tetapi secara konsisten memberi ancaman hukuman kepada pelaku. Pada pasal 3 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida disebutkan ada lima perbuatan yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persengkokolan untuk melakukan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida. Indonesia sampai saat ini belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Padahal Indonesia mempunyai falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang ‘hitam di atas putihnya’ sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Bahkan seharusnya kita berani mengakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, khususnya selama Orede Baru berkuasa dan ramifikasi genosida khususnya yang berkaitan dengan agama masih terus dijalankan hingga kini (tahun 2003). Keberanian penulis untuk mengungkapkan bentuk-bentuk baru genosida (ramifikasi) beserta penelitian yang dilakukan terhadap kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai genosida patut dihargai, dan sekaligus membuka wawasan kita bahwa apa yang terdapat dalam pasal 8 UU 26 tahun 2000 itu belumlah memadai. Ketidaktahuan dan/atau sikap rasis dari aparat pemerintah yang berkuasa khususnya yang duduk di Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama kiranya dapat tercerahkan dengan membacda buku ini. Di Indonesia sejak tahun 1967, dengan dikeluarkannya Inpres 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina, keberadaan kebudayaan Cina yang nota bene telah memberikan sumbangsih dan memperkaya khasanah budaya Indonesia diupayakan untuk dimatikan secara sistematis dan terencana. Demikian pula keberadaan agama Konghucu, walaupun dipeluk oleh sebagian penduduk Indonesia yang tersebar di semua propinsi yang ada di Indonesia, dengan Inpres 14 tahun 1967 itu hendak dimatikan dan upaya itu dilakukan secara sistematis, dengan mulai dikeluarkannya agama Konghucu dari kolom agama dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh Biro (sekarang Badan) Pusat Statistik Indonesia, dilarangnya pencantuman agama Konghucu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), dilarangnya pemeluk agama Konghucu mengadakan acara keagamaan di gedung-gedung umum, ditolaknya pencatatan perkawinan antar pasangan yang beragama Konghucu di kantor Catatan Sipil. Bahkan, kendatipun Inpres 14 tahun 1967 itu sudah dicabut dengan Keppres Nomor 6 tahun 2000, pelarangan pencantuman Konghucu dalam kolom agama di KTP dan penolakan pencatatan perkawinan pasangan Konghucu masih terus terjadi hingga kini di berbagai kota di Indonesia. Penulis dalam buku ini dengan tegas menyimpulkan bahwa perlakuan pemerintah Republik Indonesia terhadap etnis Tionghoa, khusunya umat Konghucu di Indonesia merupakan cultural genocide (genosida budaya). Atau dengan kata lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, walaupun diakui ratifikasi secara hukum masih membutuhkan perjalanan panjang. Tentu diharapkan dalam waktu dekat setelah DPR enyetujui usulan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjadi Undang-Undang akan terungkap dan dilakukan penyelesaian atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang terjadi di masa lalu sebagaimana kasus-kasus lain yang diungkapkan dalam buku ini. Pertanyaanya adalah akankah tindakan genosida berakhir di indonesia ini? Jawabannya tergantung kepada bangsa Indonesia sendiri, yaitu seberapa jauh bangsa ini memahami, menghayati dan mengamalkan falsafah dan pandangan hidup Pancasila, muatan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan yang bersesuaian dengan hak asasi manusia seperti: UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida maupun nilai-nilai (etika-moral) universal yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan yang dipeluk/dianut oleh bangsa Indonesia. Kami yakin bila sidang pembaca bersikap positif, kehadiran buku ini bermanfaat dan bila ada pihak-pihak yang tidak puas akan studi yang dilakukan penulis buku ini, maka kami anjurkan untuk menulis ‘sanggaha’nya juga dalam bentuk tulisan/buku agar tradisi ilmiah juga dapat berkembang di bumi Nusantara ini. Jakarta, Juni 2003 Dr. Chandra Setiawan

 

PEMBAJAKAN REFORMASI

Oleh Ali Masykur Musa

Mimpi kembalinya Orde Baru (Orba). Itulah kesan yang kita tangkap memasuki tahun 2008. Pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah agar kita waspada. Setelah kondisi tak menentu pascareformasi, berbagai lapisan masyarakat seolah menginginkan kembalinya stabilitas nasional seperti masa Orba. Dilatari kejenuhan itulah, beberapa kalangan menganggap sebagai suatu kewajaran. Harus kita pahami, sesungguhnya era reformasi juga menjadi keinginan bersama agar bangsa serta negara ini berkembang lebih baik. Di satu sisi, reformasi telah mengantarkan rakyat mampu untuk berani menyuarakan nuraninya. Di sisi lain, reformasi juga melahirkan distorsi kebebasan. Itu adalah suatu kewajaran dalam masa transisi. Karena itu, rakyat harus dingatkan jangan sampai mengembalikan arah jarum jam ke Orba hanya karena kejenuhan sesaat dalam masa transisi tersebut. Kejenuhan stimulasi kognitif masyarakat itu bisa ditengarai dari beragam fenomena riil di masyarakat yang ditandai beberapa peristiwa. Pertama, kematian Soeharto diliput sangat fantastis. Tak hanya media yang menyuguhkan informasi berturut-turut tentang kenangan bersama Soeharto pada era kemapanan Orba, antusiasme masyarakat juga melarutkan kita semua untuk beromantik. Benedict Anderson dalam imagined community sesungguhnya menyindir bahwa kemakmuran, persatuan, dan keutuhan berbangsa pada era Soeharto adalah imajinasi yang sengaja didesain ke arah stabilitas palsu (pseudo stability). Ideologisasi Pancasila menjadi corong paling ampuh menundukkan sikap kritis masyarakat. Dengan pola hegemoni, yaitu proses penundukan pola pikir dengan sarana ideologi, Orba merasuk melalui beragam sarana. Misalnya pendidikan, kebudayaan, penyeragaman (uniformitas), dan stabilisasi sosial politik atas nama keamanan nasional. Saya hanya ingin mengingatkan, dengan pola hegemoni dan penciptaan "komunitas bayang-bayang", rezim Orba telah membajak hak, kedaulatan, dan kemakmuran rakyat. Warisan utang negara yang jumlahnya sangat fantastis harus dibayar oleh anak dan cucu bangsa. Kekerasan militeristis dan kerusuhan yang sengaja diciptakan merupakan babak kelam kekuasaan Orba. Kedua, munculnya kembali kekuatan militer di pentas politik. Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun ternyata tidak membuat jera rakyat dan politisi untuk menggandeng militer. Bangkrutnya rezim Orba dilatari gagalnya corak kepemimpinan yang militeristis. Dengan bubarnya Orba, logikanya, juga diikuti memudarnya pamor politik pemimpin militer. Namun, realitas di atas menunjukkan hal sebaliknya. Penunjukan pejabat gubernur Sulawesi Selatan merupakan bukti otentik kembalinya kekuatan militer dalam berpolitik. Belum lagi, belajar dari pengalaman Pemilu 2004, animo politisi dan rakyat menunjukkan bahwa figur dari kalangan militer masih menempati posisi tinggi. Munculnya Jenderal (pur) Wiranto melalui Partai Golkar, dan SBY melalui Partai Demokrat yang berhasil menjadi presiden, serta para Pangdam yang menjadi calon gubernur merupakan realitas yang harus menjadi koreksi tersendiri bagi kepemimpinan sipil. Otokritik Kepemimpinan Sipil Meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari lalu seolah mengajak kita mempertanyakan kembali sejauh mana pembenahan sistem kenegaraan dan kebangsaan Indonesia pasca reformasi. Reformasi yang semestinya dipahami sebagai alat untuk mengoreksi berbagai penyimpangan praktik penyelenggaraan negara kini malah stagnan. Pergeseran sistem kenegaraan, di satu sisi, mendesak bangsa ini segera mendapatkan figur pemimpin yang benar-benar mempunyai kualifikasi mengatur sistem pemerintahan yang baik (good government). Di sisi lain, para elite politik harus sesegera mungkin memikirkan strategi keluar (exit strategy) dari pusaran masa transisi yang tak menentu. Dua pemilu sebelumnya yang dianggap demokratis belum juga menghasilkan figur yang mampu menjawab problem kebangsaan ini. Ketidakstabilan ini sangat berpotensi dimanfaatkan untuk mengembalikan klangenan pada keteraturan militeristis ala Orba. Semestinya, para pemimpin sipil mampu menjawab tantangan tersebut. Namun, setelah Soeharto jatuh, kepemimpinan sipil yang berganti tiga kali dianggap tidak mampu memenuhi kualifikasi figur pemimpin. Habibie dianggap gagal mengemban amanat reformasi karena dipandang sebagai murid kesayangan Soeharto. Dia juga harus menanggung dampak transisi rezim Soeharto ke masa reformasi yang berbuah berbagai kerusuhan, mulai peristiwa Semanggi I dan II hingga pecahnya kerusuhan berbau SARA di Maluku dan Kalimantan. Pada pemilu pertama era reformasi, Gus Dur menjadi presiden lewat dukungan poros tengah. Atas nama kompromi politik, Megawati pun duduk sebagai wakil presiden. Di bawah dua kepemimpinan tersebut, masyarakat berharap banyak akan ada pembenahan struktural maupun kultural. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Roda pemerintahan tak juga berjalan mulus. Selain dimotivasi buruknya hubungan legislatif dan eksekutif, ganjalan dilatari oleh barisan sakit hati para rival Gus Dur, baik di eksekutif maupun legislatif. Akhirnya, atas nama keutuhan bangsa, Gus Dur harus merelakan Megawati mengambil alih kepemimpinan bersama Hamzah Haz yang didukung militer. Namun, kenaikan duo Mega-Hamzah tersebut tak cukup membangkitkan optimisme masyarakat akan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hukum tetap tak memiliki wibawa saat seorang terdakwa yang masih tetap memegang kepemimpinan legislatif dan premanisme politik dibiarkan berkeliaran di jalanan hingga melenyapkan nyawa Ketua Dewan Presidium Papua Theys Hiyo Eluay. Dari realitas tersebut, tampak bahwa kepemimpinan sipil masih perlu belajar banyak untuk mengelola konflik. Selain itu pula, antarpemimpin sipil masih belum mempunyai kesabaran berpolitik. Munculnya nama SBY sebagai presiden pada Pemilu 2004 merupakan bentuk protes rakyat atas kepemimpinan sipil. Kondisi itu membuat beberapa kalangan mendadak bernostalgia masa Orba. Mendadak pemerintahan otoriter Soeharto tampak lebih baik dibandingkan keempat penggantinya. Masyarakat mulai membandingkan, masyarakat mulai berandai-andai. Padahal, kita tahu, rakyat di negara demokrasi tidak boleh berkompromi dengan pemerintahan otoriter hanya karena proses demokrasi yang melelahkan. Apalagi berilusi bahwa supremasi militer akan jauh lebih baik dibandingkan supremasi sipil. Harus diinggat, demokrasi tak pernah bisa dicapai dengan cara instan. Begitu juga, menunggu tanpa melakukan apa-apa bukanlah solusi. Pertentangan sipil menjelang Pemilu 2009 jangan diteruskan, jika tak ingin mengundang militer masuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Kepemimpinan Indonesia ke depan tidak hanya membutuhkan pilar ekonomi dan politik yang kukuh, tapi juga pembangunan kesadaran demokrasi sejati di kalangan masyarakat sipil. Sebuah kesadaran politik yang bisa menjadi kontrol terhadap derap roda penyelenggara negara yang meliputi yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Para pemimpin sipil semestinya mulai menyadari, mengawal agenda reformasi tidak mungkin terjadi hanya dengan iktikad baik. Iktikad tersebut harus diimplementasikan ke dalam pemerintahan yang adil di bidang ekonomi, sosial, dan politik, tanpa harus melakukan gaya militer (military style). Lalu, apakah Anda masih merindukan gaya kepemimpinan otoriter militeristis? Bukankah pembajakan reformasi di alam demokrasi akan mengamputasi hak-hak sipil? Patut kita renungkan! Dr Ali Masykur Musa, wakil ketua umum DPP PKB dan anggota DPR                                                             Rakyat Pun Dijadikan Alat     INILAH.COM, Jakarta - Pihak yang berseberangan dengan pemerintah terus mengeksploitasi kenaikan harga BBM. Kesenjangan sosial-ekonomi dipolitisasi atas nama rakyat. Ajakan menentang, bahkan isu SARA, mulai pula diletupkan. "Ini jelas sangat berbahaya. Kerusuhan bisa meledak jika pemerintah tidak cepat mengantisipasinya dengan langkah menyeluruh untuk meredam dampak dari kenaikan harga BBM," kata Yudi Latif, Direktur Reform Institute. Hal yang tidak bisa dilupakan adalah konflik SARA, konflik yang nyaris sama tuanya dengan kelahiran bangsa ini. Beberapa sejarawan dan pengamat sosial-humaniora menyebutkan, konflik SARA di negara-negara rumpun Melayu terjadi sebelum pra-kolonial. Konflik SARA tampaknya jadi bagian dari kehidupan masyarakat multietnis, multireligius, dan multikultur seperti Indonesia. Sebagaimana dicatat Dr Zuly Qodir, konflik SARA merebak pada rezim Orde Baru. Di era Orba, kerusuhan akibat SARA bisa dikatakan sebagai 'juara dunia'. Eskalasinya melampaui rezim sebelumnya, yakni awal kemerdekaan dan Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno. Menurut Qodir, perlu diteliti berapa jumlah perusakan rumah ibadah, apa motifnya, siapa pelakunya, dan bagaimana peran negara, aparat keamanan, masyarakat setempat, masyarakat Indonesia, dan masyarakat internasional. Kekerasan yang mengakibatkan adanya pembakaran atau perusakan rumah ibadah adalah hal yang sangat sensitif di Indonesia. Ada yang menyebutnya konflik itu sebagai missing link karena dimensi agama terlalu 'suci' untuk membuat emosi masyarakat sehingga akan dengan mudah masyarakat terprovokasi. Dengan isu berdimensi agama, apalagi dibumbui 'janji' mendapatkan kebaikan, provokasi itu memang sangat mudah menyulut emosi. Janji surga dan mati syahid adalah yang paling populer di dalamnya. Kurun 1997-2003 disebut Qodir sebagai titik potong untuk masuk pada pasca Orba. Menjelang berakhirnya Orba sampai lima tahun pertama, konflik kekerasan kolektif memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Kurun 2002-2003 baru terlihat penurunan signifikan. "Tapi, perlu saya tekankan bahwa konflik kekerasan kolektif mulai terlihat menanjak grafiknya ketika rezim Orba mulai limbung karena gempuran rapuhnya fondasi ekonomi Indonesia," ungkap Qodir. "Hal itu menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah 1996-1997 ekonomi nasional babak belur akibat menggilanya nilai tukar dolar AS," ungkap Qodir.


































"TANTANGAN PANCASILA  PRA DAN  PASCA  REFORMASI"
(Memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 1999)

Oleh: Augustinus Simanjuntak, S.H

BANGSA Indonesia kembali diingatkan kepada peristiwa berdarah 34 tahun
lalu.  Pemberontakan PKI yang biasa disebut sebagai G 30/S/PKI 1965 telah
mengakibatkan tujuh perwira TNI terbunuh, gugur sebagai Pahlawan Revolusi.
Tragedi ini disusul kemudian dengan lahirnya suatu rezim yaitu rezim Orde
Baru,
yang ditandai dengan "lengser"-nya  Soekarno dari jabatan Presiden
digantikan oleh Soeharto (melalui SUPERSEMAR 1966).  Sejak itulah
pemerintah Orde Baru menganggap bahwa pemberontakan G 30/S/PKI sebagai
suatu ancaman serius terhadap
Pancasila.  Pemberontakan PKI di bawah pimpinan Aidit tersebut dinilai
bertujuan untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.
Akan tetapi pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh TNI dengan
dukungan penuh dari masyarakat waktu itu.  Keberhasilan ini membuktikan
bahwa Pancasila sebagai "jiwa" bangsa mampu menghadapi segala tantangan
(Pancasila Sakti). Oleh karena itulah setiap tanggal 1 Oktober diperingati
sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Lepas dari persoalan yang muncul akhir-akhir ini mengenai siapa sebenarnya
tokoh yang mendalangi tragedi 30 September kelabu tersebut, seolah-olah
sudah menjadi konsensus nasional untuk menghapuskan paham komunis dari bumi
Indonesia. Dengan demikian setiap tindakan pemerintah terhadap oknum yang
terlibat PKI mendapat "legitimate" dari rakyat. Orang-orang yang dianggap
terlibat G 30/S/PKI  langsung diadili dan banyak menjadi narapidana politik
(napol) maupun tahanan politik (tapol).  Bahkan,  selama Orde Baru hak-hak
keturunan para pihak yang terlibat dimatikan oleh negara, seperti larangan
masuk Pegawai Negeri Sipil maupun ABRI.

Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.
Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua.
Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat
perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan
kekuasaan.

Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang
berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan
persoalan ideologi.  Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh
bertentangan dengan ideologi yang resmi yaitu Pancasila yang sudah
direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru. Disinilah terjadi penafsiran
sepihak terhadap Pancasila oleh rezim Orde Baru. Ideologi yang bertentangan
akan berada dalam kategori yang harus dimusnahkan atau ditindak.
Pengasastunggalan Pancasila merupakan cara rezim Orde Baru untuk menyatukan
pandangan-pandangan, tetapi akhirnya menjadi penindasan ideologis, sehingga
orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut.  Belum
lagi penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di
Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung Priok,
pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan seterusnya.

Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non
pribumi (keturunan) dan masyarakat golongan minoritas.  Mereka merasa
diasingkan, bahkan acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam
jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi. Sedangkan orang-orang yang
dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat
bagaimana kalau mereka tidak tunduk kepada penguasa. Inilah salah satu
contoh bentuk kekerasan politik.

Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi
merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi
hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK,
PKI, OTB, dan sebagainya.  Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas
kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai
bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya,
penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah
perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya
masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu.
Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru.

Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde
Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri.  Antara lain;
dengan proses  departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan
kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa
politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya.  Di bidang hukum,
penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa
keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian
Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan
lain-lain.

Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak
ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah
Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai
peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita
sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara.

Pertama, munculnya beberapa kasus menyangkut teritorial, yakni beberapa
wilayah di Tanah Air menuntut terpisah dari negara kesatuan RI
 Timor-Timur, Aceh dan Irian Jaya). Ibarat sebuah penjajahan, negara RI
dianggap sebagai penjajah dan mereka sebagai pihak yang terjajah. Mereka
merasa rugi menjadi bahagian dari negara RI dengan alasan sumber daya alam
setempat dikuras habis-habisan tetapi tidak tampak peningkatan
kesejahteraan rakyat.  Pembagian pendapatan Pemerintah Pusat dan daerah
selama Orde Baru dianggap tidak proporsional. Rakyat di daerah tidak
diberdayakan, atau memang disengaja tidak diberdayakan supaya mudah untuk
dieksploitasi.  Hal ini jelas sungguh tidak adil.  Selain alasan keadilan
ekonomi, faktor pendekatan militer yang dilakukan oleh pemerintah dengan
menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur
sehingga sering terjadi pelanggaran HAM.  Masyarakat setempat merasa tidak
aman dan selalu dihantui oleh rasa ketakutan.  Jadi, tuntutan merdeka itu
wajar bagi rakyat yang tidak bisa menikmati hak-hak dan kebebasan.
Persoalan teritorial memuncak ketika rakyat Timor Timur akhirnya lebih
memilih lepas dari negara kesatuan RI. Hasil jajak pendapat di Provinsi
termuda itu terbukti  menunjukkan 79 % memilih merdeka,  sedangkan 21%
lainnya pro integrasi.  Itu berarti secara otomatis Pancasila tak berlaku
lagi di Timor Timur.

Kedua, munculnya berbagai peristiwa yang berbau SARA, diawali dengan
kejadian di Sidotopo (Surabaya), peristiwa Situbondo, Ketapang,
Tasikmalaya, Poso, Palu, peristiwa kelabu di Bulan Mei 1998, kerusuhan
antar suku di Sambas, hingga kerusuhan Ambon.  Rentetan peristiwa SARA ini
bukan lagi sekedar mengarah kepada bahaya disintegrasi bangsa, tetapi lebih
jauh lagi telah merusak sendi-sendi peri kemanusiaan. Peristiwa-peristiwa
itu telah menelan banyak korban jiwa dan harta.  Para pengamat  dan para
tokoh pun mensinyalir bahwa kasus-kasus SARA itu sarat dengan kepentingan
politik golongan tertentu dengan mengabaikan kepentingan nasional.

Ketiga, krisis moral yang dialami oleh para pejabat Orde Baru telah ikut
andil besar di dalam proses ambruknya ekonomi negara dan munculnya
disintegrasi bangsa.  Krisis moral menjadikan pembangunan di negeri ini
diwarnai dengan berbagai bentuk praktek-praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) membuat pondasi ekonomi negara menjadi kropos. Kasus mantan
Presiden Soeharto, kasus Tukar Guling PT. Goro Sakti, kasus Andi Ghalib dan
kasus Bank Bali merupakan  beberapa bukti betapa bobroknya pemerintahan
Orde Baru.

Ambruknya perekonomian yang dibangun oleh rezim Orde Baru banyak disebabkan
oleh karena merosotnya kesadaran moral para pemimpin pemerintahan, yang
ditandai dengan munculnya banyak praktek KKN di hampir semua bidang. Di era
Orde Baru telah terjadi kesenjangan antara pemerintahan dan moralitas.
Bobroknya sistem pemerintahan yang dibangun oleh rezim ORBA tidak lepas
dari faktor para pemimpin saat itu.  Ibarat sebuah bola salju yang pada
awalnya kecil, namun ketika menggelinding kian lama semakin besar.  Para
penguasa ORBA yang mengabaikan aspek etis dan moral dalam pemerintahannya
telah membentuk aparatur pemerintah yang tidak bermoral pula, diikuti oleh
sebagian masyarakat mengingat masyarakat kita masih cenderung
paternalistik. Selanjutnya apartur yang bobrok itu telah melahirkan
aparatur yang kian bobrok, sehingga praktek KKN menjalar mulai dari tingkat
pusat hingga di daerah-daerah. Bahkan, warga yang semula mempunyai moral
yang baik telah terdorong untuk melakukan penyelewengan karena ia berada
dalam sistem yang bobrok itu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguasa rezim Orde Baru-lah
yang membuat seolah-olah Pancasila tak sakti lagi, sehingga mereka
seharusnya bertanggungjawab atas berbagai bentuk penyelewengan terhadap
Pancasila selama Orde Baru hingga era reformasi (era Habibie).  Sebab,
selama ini Pancasila hanya dipakai secara simbolik semata sebagai alat
retorika untuk kepentingan penguasa.  Berbagai kebijakan pemerintah Orde
Baru juga telah membuat citra bangsa Indonesia sangat jelek di mata dunia
Internasional.   Indonesia yang pretensinya menjadi bangsa yang ramah,
bangsa yang baik, dan jujur, ternyata semuanya itu gagal dibuktikan dalam
kenyataan oleh rezim Orde Baru.
Oleh karena itu, jika kita masih menginginkan negeri ini tetap bersatu dan
citranya pulih kembali di dunia Internasional maka seluruh masyarakat
bertanggung jawab untuk memperjuangkannya. Harapan kita masih ada pada
Sidang Umum MPR 1999 ini. Semoga SU MPR ini dapat membentuk suatu
pemerintahan yang berwibawa dan dipercaya oleh rakyat.  Marilah kita berdoa
agar Sidang Umum MPR tersebut dapat berjalan dengan aman dan lancar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERS BEBAS, KONFLIK SOSIAL, PENDIDIKAN POLITIK

Budiman S. Hartoyo

  MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini — dan bersamaan dengan itu juga sering terjadinya konflik sosial — rupanya membentuk asumsi di kalangan beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid, sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang ‘keras’. Maka, tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta menuding pers ‘memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar’ situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai ‘akar rumput kering’ itu? Sesungguhnyalah, peran pers pertama-tama ialah (sekedar) memberitakan fakta, ‘memotret’ situasi, untuk disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pers haruslah bersikap independen, menyampaikan fakta secara obyektif, jujur, adil, berimbang. Sejalan dengan itu, pers juga berperan untuk melakukan social control dan oleh karena itu harus independen, dan cukup bijak. Di samping itu, pers juga berperan mensosialisasikan gagasan untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Artinya, pers harus berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik. Jika pers mengkhianati publik, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca. Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara kurang benar) sebagai ‘zaman liberal’. Ketika itu, sebagian (besar) pers merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung Karno disebut gontok-gontokan. Wajah pers bebas ternyata cukup membikin keder sebagian kaum birokrat sebagai wakil kekuasaan negara. Dan anehnya, bahkan penyelenggara sebuah diskusi publik di Jakarta, beberapa waktu lalu juga khawatir kalau-kalau kebebasan pers saat ini, sebagaimana tertulis dalam acuan diskusi, “menimbulkan bayang-bayang yang mengancam proses pendidikan politik masyarakat ke arah yang tidak edukatif”. Benarkah pers bebas saat ini membahayakan pendidikan politik, bahkan mungkin punya andil dalam memperkeruh keadaan hingga mendorong timbulnya konflik? Seperti halnya masa kini, di tahun 1950-an juga merupakan era multipartai. Ketika itu perbedaan pendapat, bahkan juga konflik antarpartai, cukup tajam. Partai oposisi sering mampu menggoyang dan menjatuhkan kabinet (yang didominasi oleh partai yang berkuasa), hingga Bung Karno menjuluki zaman itu (secara salah kaprah) sebagai zaman ‘demokrasi liberal’. Sejalan dengan itu pers, baik yang independen maupun yang berafiliasi kepada partai politik, ikut meramaikan konflik politik. Menjelang tahun 1960-an, tepatnya memasuki zaman ‘demokrasi terpimpin’, yang lahir berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, dan sebagai jawaban Bung Karno terhadap ‘demokrasi liberal’, pers tak lagi bebas. Seperti halnya semua parpol dan ormas, ketika itu media massa diwajibkan menjadi ‘alat revolusi’, dan harus berpedoman kepada Manipol-Usdek, yaitu tafsir Pancasila ajaran ‘Pemimpin Besar Revolusi’ Bung Karno. Persis seperti P4 yang merupakan tafsir Pancasila ala Soeharto. Bung Karno menganjurkan agar semua kekuatan politik, termasuk media massa, saling jorjoran manipolis. Yang tidak manipolis digulung dan dituding sebagai ‘musuh revolusi’, ‘reaksioner’, ‘kontra revolusi’ — seperti halnya stempel ’subversif’ di zaman Orde Baru. Di era Orde Baru di tahun 1970-an, pers yang mulai bangkit dari trauma ‘demokrasi terpimpin’ benar-benar ingin bebas. Hal itu, misalnya, tercermin dari upaya sejumlah tokoh pers, antara lain (almarhum) H. Mahbub Djunaedi, yang berhasil merumuskan UU Pokok Pers (1966). Dalam UU tersebut tercantum satu ayat yang sangat penting (”bagi pers nasional tidak dikenai breidel”), dan sebagai konsekwensinya dicantumkan pula satu ayat pendukungnya yang menyebutkan bahwa SIT (Surat Izin Terbit) hanya berlaku selama masa transisi. Yang dimaksud dengan masa transisi ialah sampai dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum 1971. Celakanya, rezim Orde Baru telah mengkhianati UU yang telah dilahirkannya sendiri. Himbauan telepon, briefing dan peringatan kepada pemimpin redaksi, bahkan breidel tetap saja berlangsung. Bahkan SIT bukannya dicabut, tapi justru dilestarikan bahkan diperkuat sebagai lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) oleh mantan Menteri Penerangan Harmoko — yang ironisnya tetap mengaku ‘berjiwa wartawan’ dan ‘kerakyatan’. Di lain pihak, pers yang semula merupakan ‘pers perjuangan’ kemudian menjadi ‘pers partisan’ (kalau bisa disebut demikian), di era Orde Baru — sejalan dengan pertumbuhan konglomerasi bidang ekonomi — tumbuh menjadi ‘pers industri’. Pers berusaha menggeliat menggapai kebebasan, tapi tetap saja terbentur pada ketentuan SIUPP.Yang menarik, baik di era tahun 1950-an (’demokrasi liberal’), tahun 1960-an (’demokrasi terpimpin’ alias Orde Lama), maupun di tahun 1970-1980-an (Orde Baru), hampir tidak ada konflik sosial secara horisontal dan spektakuler seperti sekarang. Tak ada konflik SARA (suku-agama-ras-antargolongan), tidak ada kerusuhan disertai pembakaran pusat-pusat perdagangan, tak ada ancaman bom di masyarakat. Apa yang disebut Bung Karno sebagai gontok-gontokan tak sampai berdampak secara luas. Hal lain yang juga menarik, di tahun 1950-an dan 1960-an hampir tak ada pejabat yang menuduh pers ikut ‘memanas-manasi’ atau ‘memancing-mancing’ situasi, seperti halnya di zaman Orde Baru dan di zaman transisi sekarang.Kini, untuk kedua kalinya — setelah berjarak hampir satu generasi — kita kembali mengalami sistem multipartai. Dan buat kedua kalinya pula kita menikmati kebebasan pers. Bedanya, jika di zaman ‘demokrasi liberal’ (sebagian besar) pers cenderung partisan, sementara di zaman ‘demokrasi terpimpin’ dan di zaman Orde Baru pers kurang bebas karena represi kekuasaan, di era reformasi ini pers tampil (relatif) lebih independen, dan benar-benar bebas. Saat ini, tidak ada satu pun pers yang tampil sebagai pers partisan murni. Memang (dulu) ada Harian Duta Masyarakat (NU), Tabloid Amanat (PAN), Tabloid Demokrat (PDI), dan Harian Abadi (PBB). Tapi, keempat media massa tersebut tidak murni pers partisan, sebab pemilik modalnya bukan 100% partai yang bersangkutan, melainkan Grup Jawa Pos. Berbeda dari ‘zaman liberal’ yang tidak melahirkan konflik horisontal, mengapa di era reformasi ini konflik horisontal seolah-olah merupakan ‘anak zaman’? Beberapa orang, umumnya para pejabat dan juga politisi yang tidak mengerti demokrasi, menuduh konflik horisontal tersebut gara-gara pers yang ‘memanas-manasi’, yang ‘ngipas-ngipasi’. Padahal, konflik tersebut sudah terjadi sebelum pers memberitakannya. Pers sekedar meliput, memotret, memberitakan fakta sebagai fakta. Kecuali jika menyiarkan berita tentang konflik dan kerusuhan sudah dilarang, sementara yang diizinkan hanyalah peristiwa yang ‘baik-baik’ saja. Tulis saja semua hal yang serba baik, dan jangan harap publik akan membacanya. Satu hal yang selama ini dilupakan ialah, konflik yang merebak di masyarakat sekarang ini sangat jelas merupakan letupan dari kemampetan yang selama ini diderita oleh manusia Indonesia. Selama 32 tahun terkungkung tanpa penyaluran, ketika kran dibuka air bah pun membludak tak terbendung. Dan yang disalahkan (lagi-lagi) pers. Sangat tepat penyair Taufiq Ismail yang menulis puisi yang hanya terdiri dari satu baris yang berbunyi: Buruk muka pers dibelah. Memang ada kambing hitam yang dengan mudah dan aman dituding-tuding, yaitu provokator (sementara pers dituding ‘manas-manasi’), tapi sang provokator tak kunjung tertangkap. Entah bersembunyi di balik azimat apa, Allahu a’lam bish-shawab. Konflik sosial, sesungguhnya semata-mata merupakan ‘buah’ dari penyakit kronis yang diidap masyarakat yang selama 32 tahun terinjak hak-haknya. Yang tumbuh hanyalah apatisme, sementara nalar kritis terpasung secara perlahan-lahan. Sebagian besar pelajar, mahasiswa dan pemuda yang kini berusia 25 sampai 30 tahun — yang secara kodrati progresif dan memiliki daya nalar kritis — merupakan korban represi tersebut. Dan merekalah pula yang kini tampil sebagai pelopor pendobrakan untuk membuka kran reformasi. Tapi, dengan atau tanpa pers bebas, mereka niscaya akan bangkit membebaskan diri. Bahkan sebagian besar pers terkesan konservatif, takut, tidak kritis, satu dan lain hal karena ingin ‘menjaga harmoni’ dengan kekuasaan. Dan kini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi, kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.Pers bebas merupakan salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik. Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat — yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah sekalipun — bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat (common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan ditinggalkan oleh pembacanya.Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen? Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen (dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream. Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah 32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru. Sangat ironis, bahwa dewasa ini upaya ‘perjuangan’ untuk kebebasan pers (kalau bisa disebut demikian) justru datang dari pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah. Barangkali, setelah Menteri Penerangan Mohamad Natsir di tahun 1950-an, adalah Yunus Yosfiah yang dalam konteks pers bebas berpikiran sangat progresif. Ia merancang UU Pokok Pers yang sangat progresif, jauh lebih liberal ketimbang rancangan DPR-RI, bahkan dari rancangan PWI (Orde Baru) sendiri. Dan kini, meskipun SIUPP masih dipertahankan, tidak ada pembatasan memperolehnya. Juga tidak ada breidel. Sangat menarik, bahwa Yunus Yosfiah pula — dan justru bukan para tokoh pers yang terhormat — yang menyatakan, bahwa pers kita saat ini belum kebablasen, bahwa ratusan media massa yang terbit saat ini belum memadai bagi rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta, bahwa pers bebas merupakan tolok ukur bagi demokrasi. Dalam konteks pers bebas, seringkali orang berasumsi bahwa pengertian ‘bebas’ seolah-olah bebas sebebas-bebasnya. Padahal, dengan singkat bisa dijelaskan, bahwa di dalam kebebasan itu sendiri secara implisit ada rasa tanggung-jawab. Tak perlu disebutkan ‘pers yang bebas dan bertanggung-jawab’, sebab dalam pengertian ‘bebas’ sudah terkandung rasa ‘tanggung-jawab’. Cuma yang jadi masalah bertanggung-jawab kepada siapa? Yang pasti bukan kepada penguasa, melainkan kepada nilai-nilai: kebenaran, keadilan, hukum, moral, kepentingan umum. Bagaimana dengan si wartawan? Mereka tak cukup hanya belajar jurnalistik hingga mampu trampil dan lihai mewawancarai, memotret, melakukan investigative reporting, dan menulis dengan bahasa dan gaya yang memikat. Tapi, mereka juga harus independen, memiliki dedikasi dengan integritas tinggi, termasuk keberanian untuk menolak amplop, belajar menimbang dan mengukur tulisan dengan nilai dan moral, dan memiliki idealisme untuk membela kepentingan publik.
MELAMPAUI KERUKUNAN INKLUSIF Oleh Saidiman Bagaimana menjadikan keragaman yang ada di Indonesia sebagai kekayaan dan modal sosial adalah persoalan utama bangsa Indonesia. Rumusan tentang bagaimana hidup bersama terus dibuat dan coba diterapkan. Tetapi, keragaman ini tak kunjung bisa benar-benar menjadi modal sosial bagi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Saban hari, masyarakat Indonesia terus dihantui oleh bahaya kerusuhan sosial, disintegrasi, rasialisme, dan hegemoni serta monopoli kekuatan budaya tertentu atas yang lain. Sejak awal, para pendiri bangsa melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi potensi konflik yang setiap saat mengancam kekayaan keragaman yang ada di Indonesia. Itulah sebabnya, ketika beberapa perwakilan kelompok Kristen Indonesia Timur meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, karena dianggap tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat nonmuslim, para pendiri bangsa dengan sangat sigap menghapus tujuh kata dalam dasar negara tersebut. Saat itu, persatuan adalah persoalan utama yang mendapat perhatian serius. Para pendiri bangsa seperti hendak menegaskan bahwa sebelum melangkah jauh membahas bagaimana mengatur interaksi kehidupan bernegara, yang paling utama yang perlu dibenahi adalah pengakuan terhadap kedaulatan negara. Tanpa ada prasyarat itu, mustahil rasanya membayangkan sebuah tatanan masyarakat di mana semua kepentingan bisa hidup dan berkembang. Tanpa itu pula, maka penegakan hukum juga tidak terbayangkan. Sejarah mencatat bahwa Orde Lama gagal membangun tatanan masyarakat yang cukup rukun dan terhindar dari bahaya konflik. Pendekatan Pancasilais model Orde Lama tidak bisa banyak memberikan suara karena masalah kedaulatan bangsa masih belum jelas. Hal ini ditandai dengan banyaknya pemberontakan. Masyarakat pun mudah terpola dalam banyak kelompok yang saling mencurigai. Stabilitas politik dan keamanan menjadi tidak terkendali. Akhirnya, fenomena ini membawa gejolak sosial yang lebih jauh, dan yang paling utama adalah gejolak ekonomi. Menjelang akhir Orde Lama, Indonesia benar-benar berada dalam titik rawan kehancuran ekonomi. Menutup Komunikasi Akhir tahun 1965 dan 1966, terjadi kerusuhan paling berdarah dalam sejarah Indonesia yang diwarnai dengan pemusnahan massal anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun awalnya adalah konflik kepentingan politik, tetapi kemudian membawa-bawa nama agama. PKI diidentifikasi sebagai kaum atheis dan para penyerangnya adalah orang beriman. Orde Baru muncul dengan kekuatan militer dan teknokrat untuk mengatasi masalah instabilitas ekonomi, politik, dan keamanan. Pendekatan sta-bilisasi tersebut juga menyentuh masalah keragaman. Keragaman dipandang sebagai sumber konflik yang sangat sensitif dan berbahaya. Mengangkatnya ke ruang publik adalah tabu. Orde Baru merumuskan empat hal yang sangat tabu dibicarakan, yakni suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dalam pandangan mereka, membicarakan SARA sama dengan menanam benih-benih perpecahan dan konflik. Perbedaan adalah sumber konflik. Kebijakan nasionalisme diterapkan secara ketat melalui pemerintahan yang sentralistik. Bukan hanya sistem politik dan bentuk pemerintahan yang diseragamkan, tetapi juga kebudayaan. Istilah kebudayaan nasional pun dikenal sebagai puncak kebudayaan daerah. Cara Orde Baru menghadapi bahaya konflik dari keragaman tentu berhasil menciptakan stabilitas. Tetapi stabilitas itu tampak rapuh karena ia mencoba memberangus keragaman. Konflik memang berhasil dieliminasi, tetapi bahasa budaya lokal tidak mampu bersuara bahkan terancam punah. Dan yang paling berbahaya dari pendekatan Orde Baru ini adalah keragaman cenderung distigmatisasi sebagai bahaya. Dengan demikian, dalam kerukunan semu Orde Baru, tersimpan bara kecurigaan terhadap “yang lain” (the others). Kerukunan model Orde Baru dibangun atas dasar prinsip “tenggang rasa”, koeksistensi yang terisolasi. Prinsip tenggang rasa tercermin dalam kebijakan penghormatan terhadap pemeluk dan rumah ibadah agama lain, tetapi tidak membuka komunikasi intersubjektif. Kebijakan untuk menjauhkan masyarakat dari garis “tabu” masalah “suku, agama, ras, dan antargolongan” (SARA) menunjukkan dengan tegas, bahwa perspektif kerukunan yang umum dipahami pada masa Orde Baru sampai sekarang adalah perspektif kerukunan yang bersifat statis. Ditutupnya ruang komunikasi dan interaksi di wilayah SARA malah menyebabkan masing-masing anggota kelompok sosial keagamaan saling mengisolasi diri. Model Inklusif Model kerukunan Orde Baru tersebut bisa juga disebut sebagai model pendekatan inklusif. Keberagaman sebatas diakui keberadaannya, tetapi tidak coba disapa dan diangkat secara langsung. “Yang lain” sebatas diandaikan keberadaannya, tetapi tidak pernah benar-benar mau melibatkan diri dalam sebuah interaksi. Akhirnya, rasa percaya dan sikap menghargai antarpelbagai kelompok tidak pernah benar-benar bisa tercipta. “Yang lain” memang diakui keberadaannya, tetapi tetap dipandang sebagai “yang aneh” dan berbeda. Bisa dipahami kemudian bahwa ketika rezim itu sudah tidak cukup memiliki kekuatan untuk merepresi keragaman, mendadak muncul penegasan diri dari banyak kelompok yang selama ini tidak tersuarakan. Pada tingkat yang ekstrem, penegasan diri mewujud dalam bentuk konflik antarkelompok masyarakat, baik dalam bentuk konflik antarsuku, antaragama maupun antarkelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang terjadi dalam banyak bentuk kerusuhan bernuansa SARA di akhir tahun 1990-an. Ekses kebijakan kerukunan model Orde Baru kemudian memuncak ketika orde itu runtuh oleh rezim reformasi. Reformasi bahkan dimulai oleh sebuah kerusuhan besar yang terjadi di pelbagai kota di Indonesia. Korbannya adalah warga keturunan China. Reformasi yang diharapkan bisa memecah kebuntuan interaksi keragaman yang dibekukan Orde Baru ternyata, setidaknya sampai saat ini, tidak mampu berbuat banyak. Konflik bernuansa SARA justru tampak semakin marak di era keterbukaan ini. Banyak kalangan, kemudian, menilai bahwa represi di masa Orde Baru justru menemukan akibatnya di masa reformasi. Justru era keterbukaan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi munculnya pelbagai identitas yang selama bertahun-tahun terkungkung. Ada semacam euforia atau perayaan identitas yang berlebihan. Belajar dari masa lalu, rumusan kerukunan di masa depan tidak harus merepresi keragaman, melainkan membiarkan keragaman itu dirayakan dan dihayati oleh komunitasnya. Dengan demikian, tidak ada yang harus merasa terdiskriminasi dan terepresi. Merayakan keragaman tentu tidak serta merta berarti merayakan kekacauan atau chaos. Pengakuan terhadap keragaman justru akan mendekatkan setiap entitas dengan entitas lain. Semua entitas harus tampil dalam kehidupan publik agar mereka bisa berinteraksi dengan yang lain. Dari sana kemudian akan muncul sikap saling pengertian, bahwa beragam adalah sebuah keniscayaan.  
   

                            Pidato Politik Partai Amanat Nasional

 
Sebagaimana dikatakan dalam prinsip dasarnya, Partai Amanat Nasional adalah partai politik yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-cita partai ini berakar pada moral agama, kemanusiaan dan kemajukkan. Lima puluh tiga tahun sudah kita memproklamasikan kemerdakaan dan kedaulatan Indonesia. Akan tetapi dalam kurun waktu setengah abad lebih itu, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa itu tidak kita tunaikan sebagai amanat dalam arti kata sebenarnya. Malahan seringkali kemerdekaan itu kita isi dengan penegakkan otoriterisme, pembudayaan feodalisme, pengingkaran terhadap keadilan sosial, proses pembodohan rakyat dan penyuburan berbagai borok nasional yang sekarang dikenal sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saudara-saudara sekalian yang berbagia, Pada kurun waktu orde lama, yakni antara 1959 - 1966, bangsa Indonesia terjerembab ke dalam sistim politik otoriter yang disebut sebagai orde lama, dengan Demokrasi Terpimpinnya. Pada masa itulah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk membangun masa depan yang mantap dan sejahtera. Seluruh enerji nasional diboroskan untuk menghantam Barat sambil bercumbu-rayu dengan komunisme. Politik megalomaniak menjadi ciri Orde Lama itu. Pemimpin Besar Revolusi mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan PBB; Malaysia harus diganyang lewat politik konfrontasi; negara-negara Barat disumpah-serapah dengan slogan "go to hell with your aids." Ekonomi Indonesia hancur karena kebijakan politik sebagai panglima. Dan akhirnya bangsa Indonesia terjungkal kedalam peristiwa berdarah Gestapu PKI yang merupakan lembaram hitam kelam di akhir orde Lama itu. Saudara-saudara sekalian, Setelah itu muncul harapan di seluruh Indonesia agar Orde Lama segera ditinggalkan dan Orde Barupun segera didirikan. Para pemimpin partai Orde Baru kemudian menghujat Orde Lama yang ditandai dengan kultus individu - dengan memilih Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup dan penyelewengan terhadap jiwa dan aksara atau amanat UUD 1945. Oleh karena itu, Orde Baru bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun kita menyaksikan bersama bahwa Orde Baru telah menyeleweng sangat jauh dari UUD 1945. Orde baru telah melaksanakan konstitusi secara sangat tidak murni dan tidak konsekuen. Bahkan seorang pakar menyebut bahwa Orde Baru, yang sama gawatnya dengan Orde Lama, telah melanggar 22 dari 37 pasal UUD 1945. Bukan itu saja. Bahkan ke dua orde yang rusak itu telah menyalahgunakan Pancasila secara semena-mena sekedar alat pelestarian kekuasaan demi kekuasaan. Karena itu saya setuju sepenuhnya pendapat seorang petinggi yang menyatakan bahwa kita harus mampu meletakkan orde Soekarno dan orde Soeharto ini di belakang kita dan tidak boleh kita mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu kita. Proses pembodohan rakyat harus kita hentikan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme harus kita berantas secara bertahap dan sistimatik; keadilan sosial harus kita tegakkan. Rakyat kecil dan lemah harus kita berdayakan dengan menerapkan rumusan-rumusan kebijakan ekonomi baru yang benar-benar membela kepentingan rakyat banyak. Saudara-saudara yang terhormat, Kini kita hidup di alam reformasi. Sejarah modern Indonesia mencatat dengan tinta emas peranan terbesar yang diambil adik-adik kita para mahasiswa Indonesia dalam menumbangkan rezim Soeharto atau rezim Orde Baru. Kita berharap mahasiswa Indonesia, sebagai kekuatan moral dan kekuatan politik tanpa pamrih, terus tetap berada di garda terdepan di dalam menarik kereta reformasi total: reformasi ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Di bidang ekonomi, InsyaAllah, PAN akan berjuang keras untuk memberantas setiap bentuk monopoli yang telah menyengsarakan rakyat banyak. Sebuah strategi dan kebijakan ekonomi baru akan diciptakan untuk memihak mereka yang lemah. Strategi dan kebijakan ekonomi itu harus menjamin kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan umum. Di sebelah itu usaha-usaha mengurangi pengangguran akan terus diupayakan sambil membudayakan usaha berskala kecil dan menengah. PAN sangat memahami arti globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang tidak mungkin dielakkan lagi oleh Indonesia. PAN akan mengundang modal asing untuk datang ke Indonesia sebanyak-banyaknya, akan tetapi tentu dengan syarat-syarat yang menjamin keuntungan bagi ke dua belah pihak. Kekayaan alam sebagai karunia Ilahi harus dipelihara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Perusahaan dan modal asing dipersilahkan untuk beroperasi di seluruh nusantara, tetapi, sekali lagi, atas dasar saling menguntungkan dan berlandaskan asas kepantasan dan keadilan. Di bidang politik, pertama-tama PAN akan berusaha agar masa jabatan presiden dibatasi, maksimal dua kali periode jabatan. Tidak boleh lagi ada seorang presiden yang memegang kekuasaan sampai lebih dari dua kali karena presiden yang berkuasa terlalu lama ternyata menjadi salah satu sumber kehancuran bangsa Indonesia. Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak melakukan korupsi mutlak, sebagaimana dikatakan seorang pemikir. Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah harus diatur tegas supaya daerah mempunyai otonomi cukup luas, guna mengurus dirinya sendiri dan ikut menikmati kekayaan alamnya secara adil dan wajar. Selama ini sering muncul ketidakpuasan daerah yang menimbulkan kerawanan terhadap keutuhan Republik Indonesia yang kita cintai bersama. Saya yakin ketidakpuasan itu terutama timbul gara-gara pembagian rezeki nasional yang kurang adil antara pusat dan daerah. Untuk itulah wacana perbincangan plus-minus negara kesatuan dan plus-minus negara federal perlu terus kita pelajari agar dapat ditemukan solusi terbaik dalam hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain rezeki nasional perlu kita bagi antara pusat dan daerah dengan adil dan wajar. Sementara itu pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif harus dapat terselenggara dengan baik. Dominasi eksekutif pada hakekatnya bertentangan dengan demokrasi. Lembaga legislatif tidak boleh lagi menjadi tukang stempel bagi kemauan eksekutif . Hal ini hanya bisa terjadi bila para anggota lembaga legislatif semua dipilih oleh rakyat lewat sistim pemilu dan kepartaian yang sehat. PAN akan berusaha sekeras mungkin agar kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan dari rasa takut dan rasa lapar dapat menjadi kenyataan. Kebebasan-kebebasan demokrasi itu tidak boleh lagi dipasung seperti pada masa Soekarno dan masa Soeharto kemarin. Setiap usaha yang menggunakan manajemen ketakutan dan psikologi ketakutan harus kita hancurkan beramai-ramai, karena manajemen, psikologi dan rekayasa ketakutan itulah yang pernah dipakai oleh Orde Lama dan Orde Baru untuk merampok hak-hak asasi rakyat Indonesia. Saudara-saudara sekalian yang berbahagia, Di bidang sosial, PAN akan terus berusaha memerangi gejala dan bentuk feodalisme, neofeodalisme, dan paternalisme. Budaya dan alam pikiran feodalistik dan paternalistik itulah yang dulu yang menyebabkan seorang Presiden bertingkah laku seperti raja, atau seorang gubernur dan bupati berperilaku bagaikan tuan-tanah yang memperlakukan rakyat kecil sebagai wong cilik yang tidak berdaya dan harus tunduk pada perintah semata. Pada gilirannya sang raja tersebut lantas menikmati segala macam upeti dan "glondong pengareng-areng" dari para gubernur dan bupatinya. Mari kita bangun menjadi Indonesia modern yang benar-benar tidak perlu menyisakan unsur-unsur feodalisme dan paternalisme yang anti-kemajuan, bahkan bersifat destruktif. Di bidang hukum, tentu PAN akan berupaya sekuat tenaga agar ketentuan-ketentuan hukum diberlakukan dan diimplementasikan bagi setiap warga negara tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada diskriminasi pemberlakuan hukum. Semua warga negara dari lapisan paling rendah sampai Presiden harus berdiri sama tinggi di depan hukum nasional. Oleh sebab itulah kekayaan pribadi mantan Presiden Soeharto dan keluarganya perlu segera diusut secara hukum sesuai tuntutan masyarakat luas. Hal ini diperlukan supaya ada kepastian hukum terhadap kekayaan mantan Presiden tersebut, berhubung pada suatu saat ia pernah berkata bahwa ia, "tidak punya apa-apa." Terhadap masalah yang satu ini, tampaknya rakyat Indonesia tetap menunggu-nunggu. Dan percayalah, proses penantian yang bekepanjangan dalam masalah ini dapat menimbulkan kerawanan baru di tengah masyarakat. Saudara-saudara sekalian yang terhormat, Saya akan segera mengakhiri pidato singkat saya ini, tetapi ada beberapa hal penting yang saya ingin sampaikan dalam kesempatan ini. Pertama, peristiwa traumatik yang terjadi pada pertengahan Mei lalu, yang berupa pembakaran, penjarahan dan bahkan perkosaan terhadap hak milik dan martabat saudara-saudara kita dari kelangan etnis Cina tidak boleh - sekali lagi, tidak boleh - atau haram berulang kembali. Demikian juga ketegangan dan konflik SARA sebagai akibat politik pemerintah yang salah, plus kesenjangan sosial yang mengganggu antara kaya dan miskin, harus benar-benar kita hindarkan. InsyaAllah dengan PAN yang bersifat lintas agama, lintas suku, lintas ras dan lintas golongan, masalah-masalah yang bersumber pada kesenjangan sosial dan perbedaan SARA dapat kita atasi secara dini dengan sebaik-baiknya. PAN merupakan forum yang jitu untuk melakukan proses asah, asih dan asuh di antara sesama anak bangsa yang percaya pada bhineka-tunggal-ika. Kedua, PAN mengajak seluruh kekuatan sosial dan politik untuk mendorong terus proses reformasi yang tampaknya masih harus melewati jalan panjang berliku. Jangan lupa, kita bisa menjadi kekuatan reformasi yang andal bila kita telah melakukan reformasi diri sendiri. Dalam kaitan ini secara tulus PAN mengharap ABRI, sebagai salah satu kekuatan tulang punggung bangsa, juga terus melakukan proses reformasi internal, agar seluruh kekuatan reformis di negeri ini dapat berjalan bergandengan tangan dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Ketiga, PAN mengajak seluruh kekuatan bangsa untuk melakukan reformasi atau rekonstruksi mental. Semua keinginan reformasi total tidak mungkin berhasil menjadi kenyataan, kecuali bila kita juga melakukan perbaikan sikap mental kita. Mentalitas yang korup, kolusif, nepotistik, egoistik, malas, dan suka jalan pintas - menerabas, suatu mentalitas hipokrit atau mental kelelawar - harus kita buang jauh-jauh. Sebagai gantinya, kita perlu membangun mental yang sehat, jujur, terbuka, meritokratik atau anti nepotistik, lugas dan bertanggung jawab. Keempat, PAN ingin mengingatkan bahwa pada era globalisasi dewasa ini, Indonesia harus waspada terhadap tekanan-tekanan eksternal yang menggunakan berbagai jalur dan saluran, yang dapat mengurangi kemerdekaan dan kedaulatan kita untuk bebas mengguratkan masa depan kita sendiri. Jangan sampai krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini memerosokkan Indonesia ke sebuah jurang yang makin dalam sehingga kita akan menjadi bangsa yang tergantung pada belas kasihan kekuatan-kekuatan asing. Kelima, PAN menilai bahwa pemerintahan Habibie sekarang ini adalah sambungan belaka dari rezim Soeharto kemarin, sekalipun telah ada perbaikan di sana-sini. Namun PAN terpaksa menerima, karena memang tidak ada alternatif lain. Membentuk kepemimpinan nasional yang baru lewat MPR yang ada sekarang tentu merupakan sebuah lelucon politik. Mengapa? Oleh karena DPR dan MPR sekarang adalah institusi-institusi ciptaan rezim lama. Mudah dimengerti bila produk baru kepemimpinan nasional jenis apapun yang keluar dari MPR sekarang ini akan menjadi bahan pertentangan politik yang tidak ada habis-habisnya dan hanya akan memperparah keadaan. Keenam, PAN menuntut pada pemerintahan Habibie agar bekerja keras menanggulangi krisis ekonomi, terutama memperhatikan dan mencari pemecahan atas harga-harga sembako yang tak kunjung turun dan supaya bekerja keras pula untuk menghentikan inflasi dan meluasnya pengangguran. Di samping itu PAN menuntut agar segera diselesaikan undang-undang politik yang sedemokratis mungkin mengenai sistim kepartaian baru, pemilihan umum, serta susunan dan kedudukan DPR/MPR. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Akhrinya marilah kita tundukan kepala kita seraya memohon pertolongan Allah Yang Maha Esa agar sebagai bangsa besar kita tetap diberi petunjukNya. Perjalanan dan perjuangan reformasi masih panjang. Namun dengan kejujuran, kebersamaan, keterbukaan dan kerja keras, tidak ada kiranya masalah-masalah bangsa yang tidak dapat kita tanggulangi, InsyaAllah. Ya Allah, ya Tuhan kami semua, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jauhkanlah kami semua dari siksa neraka. Amien, ya Rabbal 'Alamin.                                                           MULTIKULTURAL DAN REKONSILIASI MENGHINDARI KONFLIK GENERASI KETIGA*)

Oleh : Usman Pelly

Universitas Negeri Medan (Unimed)

 

Sejarah panjang perjuangan masyarakat pluralis di dunia pada penghujung abad XX akhirnya memproklamirkan diri? : ?We are all multiculturalist now !? (Glazer 1977). Multilkulturalisme adalah sebuah ideology dan pengakuan terhadap keragaman (pluralitas) dalam kesederajatan, untuk menegakkan demokrasi, keadilan, HAM dan kesejahteraan masyarakat (Rex 1985; Reed 1991; Jary 1991; Fay 1996; Banks and banks 1997). Secara konseptual, model budaya multikultural ini, telah dikemukakan oleh ?founding father? (pendiri republik) Indonesia dalam mendesain pengembangan budaya Indonesia dimasa depan, sebagaimana terungkap dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 (asli), yang berbunyi : ?Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah? (Suparlan 2002).

Oleh karena itu, seharusnya dalam membangun masyarakat dan kebudayaannya tidak ada dominasi kelompok? masyarakat atau budaya tertentu terhadap yang lain. Dalam suasana keragaman (pluralitas), kesederajatan dan keadilan, puncak-puncak budaya daerah yang dirajut dan dirangkai, itulah yang akan menjadi cikal bakal budaya nasional. Akan tetapi apa yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan di republik ini adalah dominasi kelompok masyarakat budaya tertentu kepada yang lain. Sementara itu, secara politis dan ekonomis terjadi proses marginalisasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap secara potensial akan menjadi ancaman terhadap kekuasaan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Keadaan itu telah menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku dan intensitas yang berbeda. Makalah ini akan melihat bagaimana masyarakat multikultural dapat dijadikan sebuah kerangka pengelolaan (a framework for managing plural society) antar kelompok ertnis, agama, antar masyarakat dan pemerintah, dan antar pemerintah daerah dan pusat, agar konflik generasi ketiga tidak terjadi di Indonesia. Otonomi daerah yang sekarang sedang berjalan, dari satu sisi akan dapat dijadikan landasan structural mengembangkan masyarakat multikultural yang sehat. Pada tataran itu, diharapkan proses rekonsiliasi dapat dikembangkan untuk mencegah munculnya konflik generasi ketiga. Akan tetapi apabila otonomi daerah ini tidak berhasil, maka konflik generasi ketiga tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan konflik generasi pertama dan kedua, konflik generasi ketiga akan menggunakan struktur otonomi daerah di tingkat propinsi yang semakin homogen (dari segi agama dan budaya) sebagai senjata ke arah ?balkanisasi? republik ini.  

Konflik Generasi Pertama dan Kedua

 

Dua konflik yang terjadi di nusantara berselang rata-rata satu generasi dibawah dua periode (rezim orde lama dan orde baru) telah berlangsung sebagai berikut :

(1)         (1)         Konflik generasi pertama : era Orde Lama, dibawah pemerintahan rezim Soekarno (1945 ? 1965) :

Berbagai pergolakan daerah muncul dalam bentuk? konflik bersenjata seperti : Jawa Barat (DI/TII Karto Suwiryo), Sulawesi Selatan (DI/TII Kahar Muzakar), Aceh (DI/TII Daud Barureuh), Maluku (RMS),? Sumatera Utara dan Sumatera Barat? (PRRI Syafruddin Prawiranegara-Mohd. Natsir) dan Sulawesi Utara (Permesta V, Samuel) Konflik pusat dan daerah ini diselesaikan dengan kekuatan militer.

(2)         (2)         Konflik generasi kedua : era Orde Baru, dibawah pemerintahan rezim Soeharto (1967-1996) :

Selama 30 tahun pemerintahan Soeharto, telah terjadi berbagai penindasan dan adudomba (devided and ruled) kelompok-kelompok etnik tertentu dengan berbagai cara. Reaksi politik represif selama 30 tahun itu sebagian besar muncul pada akhir dan era kejatuhan rezim Soeharto dan bangkitnya gerakan Reformasi. Berbagai peristiwa konflik kelihatannya merupakan konflik horizontal (antar kelompok etnik dan agama), tetapi sebagian besar pada hakekatnya adalah konflik vertikal (antar kelompok tertentu dengan pemerintah yang berkuasa). Peristiwa tersebut antara lain : Pembakaran Pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar). Peristiwa Ambon-Maluku? (Pertarungan antara BBM / Bugis-Buton-Makasar dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa). Adapun peristiwa Aceh pasca Presiden Soeharto (GAM) dapat dianggap peristiwa babak kedua usaha orang Aceh memisahkan diri dari NKRI, yang dianggap sebagai gerakan separatisme bersenjata.   Dewasa ini konflik generasi kedua sedang dijinakkan dengan pemberian otonomi daerah. Akan tetapi otonomi daerah ini sampai sekarang tidak menghasilkan demokratisasi dan efisiensi birokrasi daerah (Jaweng 2003), dan pemerintah pusat menurut Prof. Ryaas Rasyid (2003), tidak ikhlas melaksanakan? otonomi daerah sepenuhnya. Lahirlah UU Otonomi Daerah No. 22/1999 itupun merupakan suatu keterpaksaan demi meredam gejolak bangkitnya era reformasi. Dalam prakteknya, otonomi daerah hanya sekedar mem-?by-pass? ?kekuasaan gubernur di tingkat propinsi dan memekarkan ?hot-line? ?antara bupati atau walikota dengan pemerintah pusat. Pejabat kabupaten dan kota berbondong-bondong ke pusat menghadap dan mengharapkan tambahan dana atau ?rezeki? ?lain. Tambahan rezeki ini disebut oleh pejabat-pejabat pusat sebagai ?perekat wawasan negara kesatuan?. Pusat tetap merupakan pemilik kuasa (power) yang tidak tertandingi. Otonomi daerah yang terkesan sebagai ?otonomi setengah hati? ini telah memarakkan korupsi ?besar-besaran?, baik di tingkat pusat dan daerah. Dewasa ini aktor korupsi itu tidak hanya terpusat di lembaga eksekutif pusat atau? daerah saja, tetapi telah meluas ke lembaga legislatif dan yudikatif. Sementara itu pasca era Soeharto ini, masih menyisakan konflik generasi kedua yang berkepanjangan, seperti di Aceh (Darurat Militer), Maluku, Papua dan Poso.    

Menuju Masyarakat Multicultural yang Sederajat dan Berkeadilan

 

Masyarakat pasca Orde Baru seyogyanya telah menata kehidupan baru dengan bangunan masyarakat yang multikultural. Masyarakat? multikultural tidak hanya mengakui pluralitas kelompok etnik dan budayanya sebagai setumpuk keanekaan, tetapi berusaha merangkai dan merajut keberagaman itu dalam kesederajatan dam keadilan dalam kesejahteraan, sehingga merupakan sebuah permadani mosaik? yang indah. Masyarakat Indonesia yang pluralis itu sejak kemerdekaan telah bertekad untuk hidup bersama dalam sebuah ?nation state? (negara bangsa) Negara bangsa yang bernama Indonesia itu bukanlah ciptaan atau kepunyaan sebuah kelompok etnik majoritas tertentu yang selalu merasa berhak mendominasi kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Ambisi politik pemerintahan pusat yang di dominasi oleh kelompok tertentu pada dua era pemerintahan (Orde Lama dan Orde Baru) telah menuai konflik dua generasi di Indonesia. Pada generasi pertama pergolakan daerah pertama bangkit di Jawa Barat dan disusul oleh Sulawesi Selatan, sebagai aksi protes terhadap kebijakan dan ketidakadilan dalam penentuan kepemimpinan nasional. Konflik kemudian disusul oleh daerah-daerah pinggiran nusantara. Masyarakat Aceh, yang selama revolusi pisik di juluki sebagai ?daerah modal? Republik , merasa dikhianati, karena sesudah kemerdekaan ditanggalkan status propinsinya dan dipaksa bergabung dengan propinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat dan Sumatera Utara merasa disisihkan dalam kepemimpinan nasional dan tidak menyetujui peranan PKI dikembalikan, Sulawesi Utara merasa tidak dihiraukan, Maluku merasa disisihkan dan tidak dihiraukan, adalah contoh-contoh betapa reaksi daerah terhadap pemerintah pusat pada era Bung Karno yang berusaha menguasai secara monolitik.

Sebenarnyalah, menurut paradigma ?indic cosmology? Jawa (Geertz, 1998) kalau seorang raja ingin memperbesar kekuasaan di pinggiran nusantara itu, seperti Aceh, Sulawesi Utara, Maluku atau papua. Oleh karena itu, konflik generasi pertama sangat jelas merupakan ?konflik vertical? yaitu konflik antara masyarakat di daerah dengan pemerintah pusat. Konflik ini berhasil dipadamkan dengan kekuatan militer dan negoisasi yang dipaksakan, sehingga Bung Karno dapat secara leluasa menegakkan kekuasaan absolut.   Pada Era Orde Baru Soeharto, untuk mempermudah menguasai nusantara secara lebih etis, rezim ini menggunakan kebijakan kolonial ?devided and ruled? (pecah dan kuasai), terutama daerah-daerah di luar Pulau Jawa, pemerintah telah melakukan ?bufferages system? (sistim penyangga) (Pelly 2001, 2003). Sistim penyangga ini merupakan semacam ?social engeneering? (rekasaya social) dalam rangka pembangunan piramida social suatu kelompok masyarakat di daerah. Golongan menengah atau masyarakat papan menengahnya diusahakan agar didominasi oleh kelompok etnik yang dianggap dapat berkolaborasi dengan pemerintah pusat (biasanya adalah kelompok etnik migran di daerah itu), sedang kelompok-kelompok etnik asli di daerah itu dibiarkan tetap berada dilapisan papan bawah, terutama kelompok-kelompok etnik yang pernah membangkang atau tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat. Dengan cara ini pemerintah pusat akan aman dan leluasa melakukan kontrol dan menguras kekayaan alam daerah itu..   Dengan kekuasaan politik dan tekanan militer (ABRI), lapisan menengah ini dapat diciptakan seperti di Sumbawa golongan menengah yang rencanakan adalah orang Bali, di Kalimantan Barat dan Tengah orang Madura, di Aceh transmigran Jawa, di Ambon/Maluku BBM (Bugis, Buton dan Makasar), dan Ambon Islam, di Sumatera Utara dan DKI Jakarta, WNI Keturunan Tionghoa. Atau pemerintah Orde Baru dapat tetap menghidupkan ketegangan antar agama seperti di Poso dan Ambon. Transmigrasi, juga dijadikan alat untuk mengembangkan kelas menengah baru, dan kelak akan berfungsi sebagai ?koloni-koloni? pemerintah pusat di daerah tertentu. Seperti yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam kasus Aceh dan papua, Jakarta telah berhasil mendominasi populasi Lampung dan Kalimantan Timur dengan mendatangkan tranmigran Jawa. Hal ini diakui oleh Siswono Hudohusono, yang menjadi Menteri Transmigrasi pada periode rezim Soeharto, bahwa salah satu tujuan transmigrasi di zaman Soeharto adalah dalam rangka ?kolonisasi? Jawa terhadap penduduk asli setempat (Newsweek, 2000). Oleh karena itu, proyek transmigrasi sesudah jatuhnya Soeharto dihentikan.   Sesudah era Soeharto dan bangkitnya era reformasi dimana kekuasaan tangan besi Soeharto berakhir, maka ledakan konflik terjadi di mana-mana. Dari segi antropologis konflik yang terjadi seperti di Aceh, Kalimantan, Sumatera Utara, Jakarta, Sumbawa, Poso, Maluku dan Timika (Papua), adalah akses politik ?bufferages? dan kolonisasi? rezim Soeharto. Konflik yang ditanam di zaman Soeharto dan meledaknya pada era kejatuhannya, pada hakekatnya adalah konflik vertical (konflik antara kelompok masyarakat etnik tertentu dengan pemerintah pusat-Jakarta). Orang-orang Madura di Kalimantan Barat atau orang Bali di Sumbawa, orang Jawa di Aceh dan keturunan Tionghoa telah dijadikan instrumen (alat) politik ?bufferages? rezim Soeharto.  

Apa yang menyebabkan rangkaian mosaik masyarakat multikultural Indonesia itu terkoyak dan bolong disana sini, adalah karena dampak konflik di dua generasi tersebut. Konflik generasi kedua di Poso, Ambon, Timika (Papua), Sambas dan Aceh masih tersisa sampai sekarang ini telah menjadi beban pemerintahan Megawati. Lebih dari setengah abad masyarakat Indonesia berusaha merajut mosaik budaya multikulturalisme, tetapi kedua rezim Orde Lama dan Orde Baru, karena ambisi politik dan keserakahan untuk menguras kekayaan alam daerah-daerah telah merusak dan mencabik-cabiknya rangkaian mosaik itu.

 Multikulturalisme dan Otonomi Daerah

  Sebagai sebuah ideology dan wahana, multikulturalisme bertujuan untuk meningkatkan derajat dan kemanusiaan masyarakatnya, maka budaya multicultural seperti yang dicita-citakan oleh ?founding father? (1945) harus dilihat dalam perspektif fungsinya dalam masyarakat (Suparlan 2002). Berbagai aspek kebudayaan nasional seperti aspek politik, ekonomi dan organisasi social kemasyarakatan bukanlah hasil dominasi satu kelompok etnik tertentu terhadap kelompok budaya lainnya seperti yang diinginkan oleh rezim Orde Baru. Setiap budaya kelompok etnik atau agama dapat memperkaya budayanya dengan puncak-puncak kebudayaan lainnya yang ada di nusantara secara sukarela (voluntary innovation).   Sungguhpun orang Jawa misalnya, menganggap budayanya ?adiluhung? (sangat tinggi), tetapi tidak ada hak mereka untuk memaksakan sikap etnosentrik itu kepada orang lain. Dalam masyarakat multikulturalis, disamping pengakuan terhadap pluralitas, keanekaan budaya kelompok-kelompok etnik, tetapi juga ada pengakuan kesederajatan antar kelompok dan budayanya itu. Dan hal ini sangat penting dalam usaha merajut kebudayaan nasional yang mosaik itu. Sayangnya, kriteria kesederajatan ini telah hilang dikorup oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru. Karena itu sikap merendahkan, meminggirkan, atau menjadikan sekelompok masyarakat etnik tertentu seperti orang Aceh, orang Dayak atau Papua untuk menerima posisi sebagai kelompok orang yang ?kalah abadi?? (under-dog), sangat bertentangan dengan ideology multikulturalisme. Oleh karena itu pula orang-orang yang merasa telah disingkirkan atau dikalahkan di zaman Orde Baru ini bangkit, mendobrak tatanan yang ada dan berusaha agar tatanan baru yang adil dibangun kembali (Pelly 1998).   Sebagai sebuah ideology (way of life), multikulturalisme harus terserap secara operasional ke dalam semua pranata kehidupan, terutama dalam interaksi bersama di berbagai struktur kehidupan. Implimentasi multikulturalisme ini seharusnya mendapat dukungan dari semua pihak terutama dari pemerintah daerah dan pusat, karena mereka berfungsi sebagai manager masyarakat yang bertanggung jawab untuk tidak terulangnya lagi konflik pada generasi ketiga yang akan datang. Penerapan multikulturalisme sangat penting diprioritaskan terutama dalam struktur kehidupan ekonomi (persamaan akses terhadap semua sumber ekonomi), dalam struktur sosial (menghormati martabat semua orang termasuk dari kelompok etnik yang dianggap sangat minoritas), penegakkan HAM, politik pemerintahan dan dalam bidang pendidikan.   Dalam kehidupan politik, dengan adanya otonomi daerah masyarakat multicultural akan memiliki wadah untuk mengembangkan diri, terutama dalam kehidupan demokrasi yang sehat, penegakkan HAM dan kesederajatan dihadapan hukum serta kekuasaan. Akan tetapi, sebagaimana diutarakan dimuka otonomi yang sekarang sedang berjalan adalah ?otonomi setengah hati?, berbagai kelemahan masih menjadi kendala dalam usaha untuk mengembangkan masyarakat dan budaya multicultural. Kelemahan otonomi daerah terletak setidaknya pada tiga pokok persoalan yang cukup mendasar, yakni sebagai berikut : (1)         (1)         Desentralisasi kekuasaan (dalam UU No. 22/99) tidak simentris (berat sebelah) dengan desentralisasi keuangan (dalam UU No. 34/2000), sehingga terjadi ketimpangan. Umpamanya tentang pajak retribusi, pemerintah kabupaten/kota hanya kebahagian jenis pajak kurus yang tidak banyak membantu peningkatan PAD mereka. Begitu juga dengan dana perimbangan, melalui UU No. 25 dan PP No. 104/2000, pusat dengan cerdik telah memainkan psikologi angka presentase bagi hasil pajak negara yang tidak signifikan (seperti PBB) dibuat besar untuk jatah daerah, sedangkan bagi hasil pajak gemuk (PPh perorangan) dan sumber daya strategis (seperti migas) untuk daerah sangat kecil. Banyak mandat atau kekuasaan yang diberikan kepada daerah otonomi tidak terbiayai (unfounded mandate), kemudian mandat tersebut menjadi beban daerah. (2)         (2)         Secara keseluruhan UU No. 22/1999 hanya mengatur ?Pemerintah Daerah? dan bukan mengatur ?Otonomi Daerah? . Pemerintah daerah merupakan sebahagian dari otonomi daerah, sehingga tidak ada pengaturan partisipasi warga dalam segala aktifitas lokal dan pusat. Menurut Robert E. Jaweng (2003), hal ini berakibat serius ?Transfer kewenangan macet ditangan lokal dan elite, menurutnya, mandat ?mengatur sendiri kebijakan?, menjadi? ?sendirian mengatur ?. Dan amanah ?mengurus pelayanan masyarakat? menjadi ?mengurus diri sendiri?, dan atau ?ingin dilayani masyarakat?. Kelemahan ini menyebabkan sampai sekarang kita tidak menggapai target utama dari otonomi daerah itu, yaitu demokrasi politik dan efisiensi birokrasi di daerah. (3)         (3)         Lemahnya perwakilan daerah di pusat. Dalam UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR/DPRD, dan DPD yang disyahkan pada bulan Juli 2003 yang lalu, menunjukkan betapa sedikitnya jumlah anggota DPD dan kecilnya perannya dalam percaturan nasional. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya representasi masyarakat lokal yang memiliki otonomi itu sangat diabaikan.   Dalam kapasitas dan kualitas otonomi daerah seperti sekarang ini sangat sulit bagi masyarakat untuk mengimplimentasikan ide multikulturalisme baik dalam hubungan perorangan maupun dalam kelembagaan. Apalagi dalam kaitan hubungan masyarakat lokal dengan pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat.  

Konflik Generasi ketiga

  Seperti dinyatakan dalam pengantar makalah ini berbeda dengan konflik generasi pertama dan kedua, pada konflik generasi ketiga para aktornya telah ?berdomisili? pada wilayah-wilayah nusantara yang berstatus otonomi. Sungguhpun daerah otonomi tidak ditekankan pada propinsi, tetapi pada tingkat kabupaten, tetapi baik pemekaran propinsi maupun kabupaten sangat didasarkan pada ?homogeneous? unsur-unsur primodial masyarakat daerah itu ketimbang ekonomi. Seperti propinsi-propinsi yang lahir setelah UU No. 22/1999, Maluku Utara (majoritas Islam) memisahkan diri dari Maluku Selatan (majoritas Kristen), Gorontalo (majoritas Islam) memisahkan diri dari Sulawesi Utara (majoritas Kristen), atau Banten (majoritas kelompok etnik Banten), memisahkan diri dengan Jawa Barat (majoritas kelompok etnik Sunda) dan Tapanuli (majoritas Batak-Kristen) sekarang ingin memisahkan diri dari Sumatera Timur (majoritas Islam), menunjukkan bahwa propinsi-propinsi makin lama makin homogen dari segi budaya dan agama.   Keadaan homogenitas ini akan membangunkan ?link? (hubungan yang terkait erat) antara identitas diri (etnik dan agama) dengan politik (Jacobson 2003). Mobilisasi politik dimasa yang akan datang di propinsi-propinsi itu akan menggunakan semangat dan sentimen identitas diri (loyalitas primodial) sebagai ideologi politik propinsi, terutama dalam menghadapi pemerintah pusat (Jakarta). Situasi konflik pada generasi ketiga akan lebih berbahaya dibandingkan dengan konflik pada generasi sebelumnya.  

Kesimpulan

  Apabila kebijakan strategis untuk mengisi dan memperbaiki ketimpangan Otonomi Daerah terutama di bidang ekonomi dan politik tidak dapat dilakukan, maka proses kearah implikasi multikulturalisme dan rekonsiliasi (rujuk nasional) sangat sulit untuk dilakukan. Bahwa republik ini bukan lagi sebuah ?given? yang berada pada tataran motologi, tetapi dia sebuah realita yang harus diperjuangkan dan diberi makna bersama. Adalah kenyataan yang harus dihadapi dengan mawas diri dan penuh waspada.   Bahkan apabila tidak terjadi perobahan pada UU No. 22/1999 dan UU lainnya yang mengatur Otonomi Daerah serta kebijakan pemerintah pusat dalam mendorong multikulturalisme, maka konflik yang tersisa (Aceh, Maluku, Poso, dan Papua) serta konflik yang akan muncul, seluruhnya akan dialamatkan kepada pemerintah pusat. Apa yang terjadi adalah munculnya generasi ketiga di Indonesia yang mengarah pada balkanisasi?.                                          

SERIKAT JESUIT DAN CSIS

 

 

Ternyata demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa radikal (bukan mahasiswa moderat seperti Forsal, Formasi, KAMMI, HAMMAS, dll) digerakan oleh Serikat Jesuit dan CSIS. Tak heran jika demo anarkis ini dimotori oleh mahasiswa Universitas Katolik Atmajaya dan Universitas Kristen Indonesia dengan UKI dan  dan Unika Atmajaya sebagai basis gerakannya. Memang ada segelintir mahasiswa dari UI yang mengatas-namakan sebagai KBUI, tapi oknum tsb ternyata tidak lebih aktivis mahasiswa Kristen yang sekolah di UI macam Martin Manurung. Dengan menggunakan simbol2 agama Islam seperti Tahlilan di Universitas Katolik Atmajaya (lucu ya, he he he…:), mereka berusaha menarik simpati dari ummat Islam. Memang selain beberapa mahasiswa abangan sekuler, ada juga beberapa Muslim yang awam yang tertipu ikut gerakan mereka, tapi jumlahnya cuma minoritas. Contohnya dari 70 ribu mahasiswa yang digerakan oleh “Snouk Hourgronje” Ratna Sarumpaet (bapaknya adalah Pendeta), cuma sekitar 20 ribu orang yang Muslim, dan mereka secara demonstratif melakukan shalat untuk membingungkan ummat Islam. Tapi jelas dari tayangan di TV kita bisa melihat jumlah mahasiswa yang tidak shalat jauh lebih banyak dari yang shalat. Serikat Jesuit ini sendiri adalah kelompok ekstrim yang mengawinkan agama Kristen dengan ideologi Sosialis (Marxis) yang dikenal dengan Teologi Pembebasan. Memang ide sosialis mungkin cukup menarik bagi pemuda sosialis sekuler, tapi sikap diskriminatif yang ekstrim dari kelompok Jesuit ini sangat menyengsarakan ummat Islam di masa lampau. Pada 25 tahun pertama rezim Orba, ummat Islam benar2 mengalami perlakuan yang diskriminatif. Jenderal Leonardus Benny Murdani umpamanya sengaja melarang ucapan “Assalamu ‘alaikum” di ABRI, sementara lulusan Pesantren dilarang masuk ABRI. Leonardus ini berusaha menyingkirkan prajurit2 Islam dengan cara mengadakan apel yang dimulai sebelum shalat Subuh, sehingga prajurit Muslim tidak bisa shalat Subuh, dan lambat laun akan keluar dengan sendirinya dari ABRI. Benny Murdani sendiri ketika berkuasa banyak mengangkat perwira2 Batak Kristen untuk menjadi pimpinan di Koramil, Korem, maupun di Badan Intelegensi ABRI, dll. Di Asia Week disebutkan bagaimana ummat Kristen yang berjumlah kurang dari 10%, tapi jumlah perwiranya mencapai 50% ketika LB Murdani menjabat sebagai Pangab. Dengan banyaknya perwira2 Kristen yang menjadi komandan, maka dengan mudah Benny Moerdani menginstruksikan perwira2 tersebut untuk membantu kegiatan mereka. Berikut ini tulisan dari Majalah Islam Sabili tentang konspirasi Serikat Jesuit dengan CSIS yang berkolaborasi dengan rezim Orba pada era 70-an hingga 80-an. Sebagai pengantar, majalah Sabili ini pernah dibungkam pada rezim Orba karena liputannya tentang masalah Jilbab, dan sekarang di era Reformasi terbit kembali. PERKAWINAN KATHOLIK JESUIT DENGAN CSIS Di awal Orba, Ali Moertopo sudah didukung oleh 200 sarjana dari kalangan Katholik. Dan, dengan CSIS-nya lahirlah kebijakan-kebijakan Orba yang cenderung merugikan kaum muslimin. Lalu, apa hubungannya dengan Katholik Jesuit? Sebagai penasehat presiden, rupanya Frans Seda belum arif dan bijak. Nasehatnya kepada kaum Kristiani untuk mengadakan perkabungan nasional (Frans Seda menyebutnya pertobatan) di Kupang malahan berbuah bencana. Acara perkabungan yang dimotori Gemakristi dan gereja-gereja di Kupang itu berbuntut dibakarnya sejumlah masjid, sekolah Islam dan asrama haji. Sejumlah tokoh, termasuk Gus Dur, menyebut keruhan itu digerakan dari Jakarta. Beberapa kelompok elit tertentu yang bertarung keras di panggung politik disebut-sebut berada di belakang kerusuhan itu. Dan sebagaimana kasus Banyuwangi dan daerah lainnya, tudingan tak luput juga diarahkan ke ES alias Eyang Soeharto. Tentu boleh-boleh saja menuding Soeharto ada di balik segala aksi kekerasan yang semakin marak belakangan ini. Seperti kata Amien Rais, sebagai orang yang sudah 32 tahun berkuasa bak seorang raja, wajar kalau Soeharto masih bermain. Apalagi banyak petinggi pemerintahan dan militer saat ini adalah murid dan kacung-kacungnya dahulu. Di sisi lain, tekanan keras rakyat kepada Habibie untuk menyeretnya ke Pengadilan, boleh jadi membuat Eyang Soeharto rada gundah. Jadi, mumpung masih punya kekuatan, logis kalau Soeharto mencoba come back. Banyak pengamat menilai, salah satu indikasi kembalinya Soeharto adalah langkah beberapa mantan pejabat tinggi era Soeharto –yang kalah merebut kepemimpinan di Munaslub Golkar Juni lalu- menyatakan diri keluar dari Beringin dan membuat partai baru. Padahal, seperti diketahui, di Munaslub tersebut  para desertir Glokar itu telah menggenggam restu dari Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina. Namun, terlalu naif menuding Soeharto sebagai kekuatan tunggal yang bermain. Menurut KH Yusuf Hasyim, semua kejadian belakangan ini adalah hasil kerja banyak pihak yang sama-sama gerah dengan Habibie dan sama-sama berambisi keras merebut kekuasaan. Mereka bisa jadi berkoalisi, namun bukan mustahil juga jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling bertarung. Selain Soeharto, sesungguhnya ada kekuatan lain yang sama-sama pernah lama berkuasa, punya organisasi rapi dengan jaringan luas, memiliki kekuatan ekonomi yang luar biasa dan mempunyai akses kuat ke teknologi militer. Bahkan, pada dua puluh lima tahun pertama kekuasaan Soeharto, kelompok ini menjadi inner circle elite politik dan membangun simbiosis mutualistis dengan raja Jawa itu. Kekuatan itu adalah persekutuan kelompok intelektual Katholik dan Jenderal anti Islam yang berhimpun di CSIS, sebuah jaringan internasional, yang bermarkas di Tanah Abang. Dalam buku “Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74,” disebutkan bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang kepercayaan Soeharto, bersama sekelompok cendekiawan Katholik dan etnis Cina –umumnya berafiliasi pada Pater Beek- membentuk lembaga studi ini. Pater Beek, seperti disebut Soemitro, adalah seorang pastor Ordo Jesuit yang ditempatkan di Indonesia. Di awal Orde Baru (Orba), tutur Soemitro, Ali Moertopo sudah didukung oleh 200 sarjana Katolik yang kebanyakan Jesuit. Di antara mereka adalah, Soedrajat Jiwandono (mantan gubernur BI), dua bersaudara Sofyan dan Jusuf Wanandi (Lim Bian Koen dan Lim Bian Kie), Harry Tjan Silalahi, Pang Lay Kim dan Cosmas Batubara. Maka, jangan heran, kalau kemudian kebijakan-kebijakan yang ditelurkan Orba sangat menguntungkan kelompok (agama) minoritas dan etnis Cina. Dan sebaliknya, banyak merugikan dan mengharu-birukan perjuangan kaum Muslimin. Pilihan kaum Katholik binaan Pater Beek untuk berkolaborasi di CSIS demi menggapai kekuasaan memang tepat. Dengan posisinya sebagai Aspri (asisten pribadi) presiden, Ali Moertopo dan Sudjono Humardhani boleh dibilang bisa menguasai kekuasaan ekonomi, politik dan militer. Termasuk, seperti kata Prof. William Liddle, menjadikan Golkar sebagai “Partai Tunggal” yang mendominasi kekuasaan politik. Melalui penguasaan jaringan intelijen, Golkar dan sumber ekonomi, proses peminggiran Islampun berlangsung mulus. (Asal mula kolaborasi ini, lihat: Sayap Radikal Militan Gereja Katholik). Selanjutnya Ali dan Soedjono berperan besar membesarkan CSIS. Maka lahirlah berbagai kebijakan ekonomi politik diskriminatif hasil godokan lembaga ini yang bermuara pada peminggiran kekuatan Islam dari panggung politik dan ekonomi nasional. Harus diakui, seperti kata Soemitro, CSIS adalah lembaga yang mumpuni berkat dukungan dapur yang hebat, personalia yang tangguh, dan organisasi relatif rapi dengan dana yang berlimpah ruah. “Data mereka komplit, jaringan komunikasi luas, dan disiplin mereka tinggi,” ujar mantan Pangkopkamtib ini. Karena merasa organisasinya amat berpengaruh, maka mereka penuh rasa percaya diri. “Saking percaya diri, ada cerita, seorang nonpri Cina dari kelompok studi ini berani duduk di atas meja saat berbicara dengan Kepala Bulog. Mangkel betul hati saya mendengar cerita-cerita  semacam itu!” kata Soemitro. Dan lebih menyebalkan lagi tatkala kelompok nonpri di lembaga studi ini menyebut jenderal Nasution sebagai pengkhianat, dengan alasan mantan ketua MPRS ini dinilai menentang Soeharto. “Tambah jengkel saya, bayangkan anak kemarin sore berani menghina Nasution yang jasanya kepada bangsa tidak sedikit. Tak heran mendengar ucapan itu jenderal Suluh Dumadi (Deputi I Kabakin) marah besar seraya menghardik anak buah Ali: “You bilang sekali lagi saya tempeleng nanti!” cerita Soemitro sambil menirukan ucapan Suluh. Peran CSIS yang kian membesar –menurut William R Liddle terjadi pada 1970-an- berdampak pada politik dalam negeri, mengingat Ali Moertopo saat itu ditugasi Soeharto melakukan konsolidasi Golkar. Dengan sendirinya CSIS pun mempunyai peranan sangat besar di Golkar, dan mendominasi penentuan personali kepengurusan Golkar. Menurut Liddle, yang memainkan peranan dalam pembentukan Golkar saat itu di samping Ali Moertopo adalah Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi. (Merdeka, 5/12). Dampak berikutnya seprti dituturkan Soemitro, adlah merenggangnya hubungan antara pemerintah dengan kalangan Islam. Ummat Islam melihat, pemerintah sudah sangat diperngaruhi oleh CSIS. Lembaga studi ini juga dianggap terlalu banyak mempengaruhi atau bahkan mengendalikan Ali Moertopo. Sementara Ali pada saat yang sama banyak mendapat tugas macam-macam, seperti merombak parpol sampai merancang UU Perkawinan –yang kemudian mendapat reaksi keras dari kaum Muslimin. Belum lagi penarapan P4, asas tunggal dan lain-lain. Alhasil kebijakan-kebijakan yang digodok atas pengaruh orang-orang Katholik di CSIS lebih banyak memojokkan Islam. Tapi lucunya, yang sering dikenai isu SARA justru umat Islam. Di era 1970-an sampai ‘80-an, visi atau gagasan yang berbau Islam langsung dicurigai, kalau perlu dicap subversif. Makanya tak aneh, yang namanya pengajian-pengajian, penyelenggaraan pesantren-pesantren kilat, dakwah-dakwah Islam, dan diskusi-diskusi ke-Islaman, sering dicurigai. Sederet tuduhanpun mengalir, seperti: mau bikin ...  

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up