Islam dan Negara: Sebuah Pengalaman Indonesia Suryadharma Ali
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 5809 views
Pengantar      Islam Indonesia telah lama dipinggirkan dalam bidang kajian Islam (dirasat islamiyyah) apalagi terutama yang berkaitan dengan politik Islam (al-siyasah al-islami). Observasi dari Wilfred Cantwell Smith,[1] William R. Roff,[2] dan Robert W. Hefner[3] hampir secara similar menegaskan bahwa dalam kajian Islam, baik sarjana Barat atau Timur Tengah cenderung menempatkan Indonesia dan Asia Tenggara dalam wilayah intelektual pinggiran dalam peta dunia Islam. Marjinalisasi ini boleh jadi dikarenakan Asia Tenggara secara geografis adalah wilayah pinggiran yang jauh dari pusat Islam, Timur Tengah, sehingga Islam di Asia Tenggara, termasuk didalamnya Indonesia, mendapatkan hanya sedikit liputan dalam media internasional. Hal ini tentu merupakan sebuah ironi karena realitas kekinian menandaskan bahwa Indoneisa tidak hanya di Asia Tenggara bahkan di seluruh dunia, adalah Negara dengan populasi Muslim terbesar. Dan konsekuensinya Islam Indonesia justru sesungguhnya merepresentasikan bagian terbesar dari ‘wajah’ Islam itu sendiri. Disamping itu, dalam pengalaman berpolitik dan berdemokrasi, Indonesia dan juga Turki dianggap contoh terbaik dari eksperimentasi demokratisasi politik dalam dunia muslim modern saat ini[4]. Berkenaan dengan karakteristik Islam Indonesia, beberapa sarjana telah mengklaim bahwa Islam Indonesia memilki ciri dan karakter spesial yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah kendati perkembangan Islam di Timur Tengah pada tingkat tertentu juga turut mewarnai dan memberikan pengaruh religius, intelektual dan politis terhadap Islam di Indonesia. Bubalo and Fealy menggambarkan secara menarik bahwa Islam Indonesia adalah semacam campuran dari ‘varian Islam tropis dan gurun pasir kering dari Timur Dekat (tropical variant of Islam and the desert-dried from the Near East)’.[5] Inilah keunikan dan sekaligus keunggulan dari islam Indonesia karena ajaran islam berhasil dibumikan dan mengalami proses kontekstualisasi yang adaptif terhadap lingkungan social politik yang berbeda.  Proses adaptasi dengan lingkungan setempat dan pembumian ajaran Islam itu pada akhirnya sebagaimana ditegaskan oleh Bahtiar Effendy (2006) telah membuat Islam di Indonesia pada taraf tertentu berbeda dengan wajah dan orientasi partikular dan detail dari Islam yang berkembang dibelahan negeri manapun termasuk negeri asalnya (Timur Tengah)[6]. Dari sudut inilah pengalaman Muslim Indonesia dalam berpolitik dan bernegara menjadi menarik dan signifikan untuk dibagi dan ditelaah secara serius. Dalam ranah Islam politik, hal yang menarik perhatian adalah bahwa aspirasi politik Islam di Indonesia tidak pernah benar-benar berakhir dalam lanskap sejarah sosial politik di Indonesia baik melalui jalur parlementer atau non parlementer. Tarik ulur dan kontestasi antara kelompok Islamist--yang lebih menekankan formalisasi syariah dan formasi negara Islam—dengan kelompok substansialist--yang lebih moderat dengan mengedepankan implementasi nilai essensial ajaran islam yang universal dalam tubuh negara dan masyarakat dari hanya sekedar perjuangan formal—terus menerus sengit diperdebatkan. Pertarungan ini pada gilirannya melahirkan dinamika dan berujung kepada sebuah titik konvergensi yang merupakan ikhtiar ummat Islam Indonesia didalam membangun negaranya yang plural baik dari etnisitas, bahasa, dan juga agama. Didalam spektrum politik yang lebar tersebut, secara mengagumkan kaum Muslim di Indonesia didalam membangun negaranya, akhirnya berkompromi dan menghasilkan solusi bersama (baik bagi ummat Muslim dan non-Muslim) yang dikenal dengan “Negara Pancasila’ yang lebih jauh akan dijelaskan secara lebih detail dalam subtopik di bawah.   Teori Politik Islam: Eksplanasi historis singkat Sebelum menjelaskan tipe politik Islam Indonesia didalam mengawinkan antara Negara dan agama (Islam), teori dan sejarah politik Islam menjadi penting untuk diintroduksi secara singkat guna memperlihatkan upaya dan ijtihad yang bersifat manusiawi didalam pembentukan politik Islam dalam sejarah. Hal ini dirasa amat krusial untuk memahami bahwa politik didalam Islam pada dasarnya hanyalah sebuah produk yang bersifat manusiawi dan tidak sepenuhnya ilahiyah dan suci. Politik Islam sesungguhnya bahkan baru dikonseptualisasikan semenjak kemunduran Khilafah Abbasiyyah diabad ke-10. Sepanjang masa dinasti Umayyah (661-750M) tidak terdapat teori politik Islam yang bersifat definitif yang dikenalkan oleh sarjana Muslim. Ulama Islam hanya mulai menulis teori politik Islam setelah lebih dari tiga abad dari keberadaan negara-kota Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa teori politik Islam sudah terlalu jelas dan sudah difahami secara baik hingga kemudian tidak membutuhkan konseptualisasi seperti halnya isu isu Islam lainnya yang berkaitan dengan akidah (teologi) dan ibadah (ritual) yang sudah definif dan pasti.[7] Fauzi M. Najjar (1967) dalam The Islamic State: a Study in Traditional Politics bahkan lebih jauh berani menyatakan bahwa produksi teori politik Islam hanyalah merupakan sebuah usaha apologetik dari ahli hukum dan teolog Islam didalam menubuhkan teori Islam tentang Negara.[8] Ahmad Syafi’i Maarif juga menyatakan konsepsi teori politik Islam sebenarnya hanyalah respon atas kemunduran dinasti Abbasiyyah dan serangan efektif didalam bidang teologi dan politik dari sekte-sekte Muslim lainnya seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah.[9] Apa yang menarik untuk ditekankan disini adalah ketiadaan konseptualisasi teori politik Islam dimasa-masa awal mengindikasikan bahwa teori dan ilmu itu sesungguhnya dengan sendirinya memiliki elastisitas dan fleksibilatas untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana ia akan diimplementasikan. Oleh karenya ketika sesuatu itu belum atau tidak definif semestinya juga tidak dibatasi didalam sebuah matriks yang pasti dan tidak pernah berubah. Latar inilah yang menyebabakan alasan sikap pro dan kontra terhadap keberadaan konsep politik Islam. Ali Abd al-Raziq  misalnya dalam buku kontroversialnya Islam wa ushul al-Hukm (Islam dan pokok-pokok pemerintahan) adalah salah satu contoh diantara sarjana[10] muslim yang percaya akan ketiadaan teori politik dalam Islam. Meskipun terdapat penolakan teori politik Islam oleh beberapa sarjana Muslim namun fakta bahwa kata-kata kunci dalam wilayah sosial politik seperti imarah, khilafah, malik, hukm, ‘adil, syura, dan derivasinya tersebar dalam al-Quran dan hadits adalah tidak dapat terbantahkan. Kata-kata tersebut dapat ditemukan secara mudah dan tentu saja memastikan keberadaan konsep atau setidaknya nilai-nilai politik Islam meskipun sebagai teori dan konsep politik, ia baru muncul diabad ke-8 melalui karya  Ibn Abi al-Rabi’, Suluk al-Malik Fi Tadbir al-Mamalik . Fakta ini mengantarkan kepada sebuah konklusi bahwa politik Islam sebagai sebuah konsepsi teoritis  sebelum abad ke-8 dapat dikatakan belum ‘exist’ didalam dunia Islam namun aktivitas politik sudah dari sejak awal masa kenabian dapat tergambar dengan amat jelas terutama dari eksperimentasi politik Nabi di Medinah dengan membangun negara-kota ‘Madinah al-Nabi’ dengan piagam Madinah-nya (Madinah Charter). Aktivitas politis Nabi ini kemudian dalam kajian politik Islam dikenal dengan istilah al-siyasat al-rasul (politik Rasul). Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep politik Islam yang ditulis oleh sarjana Islam seperti al-Farabi dalam Ara>’ Ahl Madi>nah al-Fad}i>lah, Al-Baqillani dalam Kita>b al-Tamhi>d fi> al-Radd ‘ala> al-Mulh}idah wa al-Rafid}ah wa al-Khawa>rij wa al-Mu’tazilah[11] and  Kita>b Mana>qib al-A’immah al-Arba’ah[12], Ibn Taymiyyah dan Al-Siya>sah Al-Shar’iyyah Fi> Is}la>h al-Ra>’i wa al-Ra>’iyyah[13], dan Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah[14] dll bukanlah sebuah konsep yang semata-mata diderivasikan dari dua sumber otoritatif Islam (Al-Qur’an and Hadith), akan tetapi ia juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial-politik yang ada  serta disertai dengan pemikiran logis yang bersumber dari rasio (dalil aqli). Tiga elemen tersebut saling berkaitan erat didalam proses produksi teori politik Islam. Nilai dasar dari politik Islam yang ditemukan dalam text al-Quran dan hadits dibarengi dengan contoh aktual dari aktivitas politis Nabi (sunnah fi’liyyah) diimplementasikan dalam konteks local dengan menggunakan interpretasi dan pertimbangan-pertimbangan adaptif dan rasional.   Fondasi Analisis Sebagai sebuah disiplin teoritis dalam Islam, makalah ini menggunakan pengalaman Nabi di Madinah sebagai fondasi dalam membangun teori politik Islam. Dalam taraf tertentu, ekperimentasi Madinah dipilih karena terlihat kesamaan sedikitnya dalam spirit atau motif inti antara pengalaman Madinah dan Ummat Islam di Indonesia. Ketika Nabi dipaksa melakukan migrasi ke Madinah, populasi Madinah adalah sebuah “campuran” dari beberapa suku (terutama Arab dan Yahudi) yang terus menerus berperang hampir seabad yang menyebabakan ‘cekcok sipil (civil strife)’ dan karena alasan inilah Nabi dipanggil sebagai mediator untuk melahirkan rekonsiliasi[15]. Perang suku dan ketiadaan pemerintahan di Madinah menyebabkan perselisihan diselesaikan ‘dengan pedang’ dalam banyak kesempatan, yang makin memperdalam perpecahan dan mengobarkan konflik. Sekitar dua tahun setelah migrasi (hijrah),Nabi mengumumkan aturan dan relasi diantara kelompok-kelompok sosial yang hidup di Madinah. Deklarasi ini dikenal dengan piagam Madinah (Charter of Medina). Piagam ini adalah sebuah hukum untuk regulasi politik dan sistem social bagi penduduk Madinah baik Muslim atau non-Muslims yang terdiri dari kaum Musyrik dan Yahudi. Melalui konstitusi Madinah ini, Nabi Muhammad mencoba untuk mengenalkan konsep Negara ideal yang dicirikan dengan keterbukaan (politik), partisipasi, kebebasan (khususnya dibidang agama dan ekonomi) dan tanggung jawab sosial-politik. Piagam ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam Islam dan juga tak dapat dipungkiri merupakan juga hukum konstitusional pertama yang pernah ada ditengah masyarakat didunia. Metode yang dipakai oleh Nabi dengan membuat sebuah piagam Madinah adalah mirip dengan tren yang muncul dalam teknik resolusi konflik di dunia modern saat ini. Piagam Madinah ini menguraikan hak dan kewajiban warganya, memberikan perlindungan kolektif untuk semua warga Madinah, dan memberikan cara pertama untuk mencari keadilan melalui hukum dan masyarakat, bukan melalui aksi militer dari kesukuan. Pancasila: Solusi Indonesia Sejarah politik Islam di Indonesia dalam taraf tertentu juga telah memperlihatkan eksperimentasi keterkaitan antara Islam dan negera. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (sebelum keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara) telah mengadopsi shari’ah (Islamic law) sebagai hukum positif, sebagaimana yang dipraktekkan di kerajaan Banten, Peureulak (893 CE), Ternate (1440 CE), Tidore, Bacan, Demak, Goa dan lain lain [16]. Berbagai usaha untuk menggabungkan agama dan politik sesungguhnya terlihat juga sejak awal kemerdekaan Idnonesia. Bahkan sampai tahun 1970an, penolakan terhadap sekulerisasi di Indonesia masih cukup kuat yang ini merupakan gambaran karakter (politik) umum Muslim Indonesia.[17] Ditengah kegentingan dan tarik ulur tersebut pilihan menjadi negara Pancasila akhirnya menjadi solusi kreatif yang melahirkan perdamaian bagi seluruh elemen bangsa Indonesia. Mayoritas umat Islam Indonesia, bagaimanapun, menunjukkan moderasi mereka dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim yang mengakui semua agama. Dengan pilihan menjadi negara Pancasila dengan memiliki Depatemen Agama, Indonesia menurut BJ Boland telah memilih jalan tengah antara jalan Turki dan pendirian sebuah Negara Islam. Sebuah 'negara sekuler' mungkin tidak akan sesuai dengan situasi Indonesia, dan sebuah 'Negara Islam', seperti yang diusahakan di tempat lain, memang akan cenderung untuk membuat daripada menyelesaikan konflik.  Untuk alasan inilah ekperimentasi Indonesia layak mendapatkan penilaian posistif. [18] Orientasi politik islam pasca kemerdekaan kemudian juga mengalami perubahan serius dari tipe legal-formal dimasa Orde Lama menjadi tipe politik islam yang lebih akomodatif di dekade kedua era Orde Baru. Perubahan ini sungguhnya adalah merupakakan konsekuensi dari perpindahan kebijakan politik Suharto di awal tahun 1980an terhadap kaum Muslim. Kebijakan positif dari rejim Suharto seperti pendirian Bank Islam, ICMI dan yang lain lain juga turut merubah orientasi politik Islam masyarakat Muslim Indonesia. Perjuangan politik dengan pola akomodatif  ini terus berlangsung hingga kini paska tumbangnya rejim Suharto ditahun 1998. Kasus Indonesia untuk taraf tertentu sangat relevan dengan kondisi Muslim Rusia hari ini. Hal ini juga penting untuk dipahami setidaknya karena dua alasan. Satu, Pengalaman Indonesia dengan solusi “Negara Pancasila” merupakan ikhtiar kontekstualisasi ajaran atau konsep politik Islam profetik dalam membentuk negara di zaman modern. Dua, solusi ‘Negara Pancasila” muncul di Indonesia ditengah kontestasi keras antara kecenderungan formal-legalistik dan substansialis-moderat akan ajaran Islam yang berkaitan dengan politik dan tata negara. Kondisi sosial politik Russia hari ini terutama pasca runtuhnya Uni Soviet menunjukkan kecenderungan yang sama.  Pertengkaran bahkan berujung pada pembunuhan di daerah –daerah Muslim seperti di Volga-Urals dan North Caucasus seperti pembunuhan mursyid Thariqah Said Afandi al-Chirkawi (2012) dan Valiulla Yakupov yang kemudian berujung dengan pelarangan aktivitas Wahabisme sebagai kelompok puritan yang memiliki kecendurangan legal-formal di Dagestan (1999) and Tatarstan (2012). Selain itu keragaman pemeluk agama di federasi Russia juga memiliki kedekatan konteks kultural dengan Indonesia. Apa yang menarik untuk dicatat adalah bahwa pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa sampai batas tertentu meniru dan merefleksikan Piagam Madinah dalam konteks lokal Indonesia dengan memproduksi dasar negara yang mengikat dan menyatukan semua perbedaan di dalam masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Indonesia bukan negara Islam, ia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila-- yang terdiri dari dua kata Jawa Kuno (berasal dari bahasa Sansekerta), 'panca' yang berarti lima dan sila yang bermakna prinsip terdiri dari lima prinsip yang tak terpisahkan dan saling terkait yakni 1) Ketuhanan Yang Maha Esa 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab 3) Persatuan Indonesia 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia---dimaksudkan untuk menjadi solusi dari friksi dan kontestasi antara afiliasi yang berbeda agama, budaya, dan suku-suku pada waktu itu dan ikhtiar itu dianggap oleh mayoritas ulama Indonesia sebagai ijtihad (produk intelektual) yang sejalan dengan ajaran Islam meskipun Indonesia bukanlah negara Islam. Pancasila kemudian menjadi landasan filosofis resmi negara Indonesia. Indonesia merupakan model untuk agama dan komunitas etnis-budaya yang berbeda untuk hidup bersama dalam damai dan saling menghormati. Sistem politik di Indonesia menjamin kedudukan yang sama dari semua lima agama utama di negara tersebut. Muslim, mewakili 85 persen dari 280 juta penduduk, hidup di 6.000 dari total 16.500 pulau. Di Jawa saja hidup 40 persen penduduk Indonesia. Empat agama lainnya- Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu - ditetapkan pada tingkat yang sama dengan Islam. Di Indonesia, non-Muslim tidak dianggap sebagai warga "dzimmi" tapi dikukuhkan sebagai warga yang sama dan berdiri sama. Dalam jargon politik Indonesia, negara Indonesia adalah negara Pancasila, yang berarti bahwa, meskipun hukum agama bukanlah dasar negara, pemerintah memiliki kewajiban moral untuk mendorong dan mempromosikan kehidupan beragama rakyatnya. Pemerintah harus mendorong kehidupan beragama rakyatnya, karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Dan karena itu agama merupakan bagian integral dari warisan leluhur dan budaya Indonesia. Hal ini dalam kerangka politik bermakna bahwa kesatuan bangsa dapat dijamin, karena memenuhi aspirasi nasional Indonesia, terlepas dari keyakinan agama mereka, asal-usul etnis dan kecenderungan politik. Sesungguhnya terdapat dua jenis pemikiran politik Islam: yang idealis dan realistis. Negara-bangsa Indonesia dapat menjadi model negara untuk pemikiran politik Islam yang realistis. Negara Indonesia adalah pemerintah yang terbaik untuk masyarakat Indonesia dan bahwa negara Pancasila merupakan yang terbaik dari tiga pilihan utama. Pertama, negara Islam di mana Islam dan pemerintah yang terintegrasi (misalnya Arab Saudi, Iran, Pakistan). Kedua, keadaan di mana Islam menjadi agama resmi, namun negara itu sendiri bukan negara Islam (misalnya Malaysia). Ketiga , sebuah negara di mana Islam dan pemerintah tidak secara resmi terkait tetapi hak untuk menerapkan Islam dihormati (misalnya Indonesia). Ketiga alternatif tersebut adalah hasil dari perkembangan sejarah dan sewajarnya karena negara bangsa Indonesia telah didirikan, umat Islam di Indonesia harus menerima alternatif ketiga, negara Pancasila, sebagai keharusan sejarah.   Kesimpulan Perdebatan politik atas dasar agama dan hubungan antara negara dan agama (Islam) telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan lebih permanen dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, bukan Islam atau sekularisme. Meskipun Islam tidak diakomodasi sebagai dasar negara, hal yang sama terjadi juga pada sekularisme. Pilihan terhadap pancasila menjadi semacam ‘jembatan’ yang mengaitkan dua ujung kecenderungan yang saling kontradiktif tersebut. Pancasila meski pada dasarnya juga sekuler, tapi itu tidak bermakna sekularisme yang kuat, melainkan ─ menggunakan Abdurrahman Wahid[19] (2001) istilah ─’sekularisme ringan’ (mild secularism). Pancasila menunjukkan “pemisahan ringan antara negara dengan agama,” karena nilai-nilai agama bisa menginspirasi negara. Pancasila juga mendorong ‘privatisasi ringan’ karena negara bisa mempublikasikan nilai-nilai agama tertentu (berbarengan dengan nilai-nilai adat dan sekuler) untuk mendukung kepentingan nasional seperti ‘pembangunan karakter bangsa’ selama era Soekarno, ‘pembangunan’ selama rezim Soeharto , dan ‘reformasi demokratis’ selama era paska-Soeharto. Negara juga dapat mempromosikan ‘diferensiasi ringan,’ karena negara juga bisa mendukung hukum yang terinspirasi agama tertentu (seperti hukum keluarga Islam) dan lembaga-lembaga ekonomi religius yang diilhami nilai agama (seperti bank dan sistem keuangan syariah). Dalam situasi saat ini, tampaknya bahwa konflik antaragama telah membuat orang berpikir ulang tentang common denominator atau bahasa bersama di mana mereka mempertahankan hidup berdampingan secara damai. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa Pancasila adalah dekat dengan kehidupan mereka dibandingkan ideologi lain, karena bukan saja ia telah lama menjadi ideologi negara, namun lebih dari itu itu Pancasila terbukti menjadi semen yang mengutuhkan elemen bangsa Indonesia yang multikultural. Apa yang telah dialami oleh masyarakat Muslim di Indonesia harus digunakan sebagai pelajaran penting dan berharga bagi Muslim di Russia bahwa perjuangan dan misi Islam di tingkat negara tidak selalu dalam bentuk kemenangan politik dan keberhasilan membangun secara formal negara Islam. Negara Islam hanyalah sebuah bentuk yang akan menjadi sia-sia ketika ajaran dan nilai nilai Islam yang lebih substansialis tidak ditemukan dan diupayakan di dalam negara itu sendiri seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, dan kerjasama dalam kebaikan dan kebenaran. Berjuang untuk aspek formal legalistik dari Islam politik yang akan menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah di negara tertentu tidak akan ditoleransi oleh ajaran Islam jika pilihan untuk berjuang untuk menjaga persatuan dan perdamaian di antara warganya justru tersedia dan dapat dipilih. Prinsip menghilangkan kejahatan lebih didahulukan dari membawa manfaat (dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih) menemukan relevansinya dalam kasus ini. Menjaga keutuhan masyarakat dan menghindari pertumpahan darah juga harus diprioritaskan atas perjuangan untuk pendirian negara Islam atau shariatization di tingkat negara. Eksperimentasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan Piagam Madinah atau Muslim Indonesia dengan Pancasila sebenarnya adalah upaya nyata dan substansial didalam membangun masyarakat dan negara. Pesan utama yang harus diikuti dari keberadaan piagam Madinah atau Pancasila di Indonesia adalah bahwa dalam proses pembentukan masyarakat dan negara yang majemuk, keutuhan dan kesatuan masyarakat merupakan syarat utama yang harus dijaga. Oleh karena itu upaya serius untuk menemukan nilai-nilai bersama dan platform umum bersama yang menyatukan warga negara amat sangat signifikan diperjuangkan yang pada akhirnya masyarakat akan menjadi seperti istilah Bennedict Anderson sebuah komunitas imajiner yang memiliki platform yang sama dan berjuang untuk tujuan bersama yang juga sama. Negara bagi umat Islam juga harus dipertimbangkan sebagai daerah dakwah dimana mereka menerapkan nilai-nilai dan ajaran Islam di tingkat negara tidak hanya untuk umat Islam saja tetapi juga kepada penganut agama lain. Perjuangan formal-legal dalam bentuk pembentukan sebuah negara Islam juga semestinya mempertimbangkan dan melihat konteks masyarakatnya. Pluralitas masyarakat Russia harus menjadi pertimbangan utama dan penting bagi umat Islam di Russia sehingga perjuangan lebih substansial harus dipilih yang menekankan perjuangan nyata ditengah komunitas lintas etnis, budaya dan agama. Sehubungan dengan hal ini, Al-Quran menegaskan, "kalian adalah komunitas (ummah)- terbaik karena kalian mengajak kepada kebaikan dan mencegak kepada keburukan dan beriman kepada Tuhan. (Qs. Ali Imran: 110)”. Sebagai kata akhir, sebagaimana mayoritas Muslim di dunia, Muslim Russia hanya lah juga merupakan kelompok yang cinta damai, moderat dan toleran terhadap pluralisme. Oleh karena itu kesalahan besar untuk menganggap pengikut Islam sebagai teroris. Sebaliknya, saya percaya bahwa semua Muslim yang berjuang untuk penentuan nasib mereka sendiri (self determination) di negara mereka masih menerima kedaulatan pemerintah mereka karena inti dari masalah tidak terletak pada tujuan politik tapi kebanyakan pada keadilan ekonomi dan sosial. Meskipun mereka mengekspresikan harapan mereka untuk sebuah negara Islam, beberapa dari mereka secara pragmatis berbicara tentang ketidakmungkinan mencapainya dan perlahan-lahan meninggalkan ide itu di belakang. Dengan latar belakang ini, adalah sangat penting bagi pemerintah untuk memperlakukan muslim dengan lebih baik. Seperti orang Russia dengan agama dan imannya yang berbeda, Muslim Russia juga layak untuk menjadi sederajat dan sama dengan penganut Kristen atau Katolik, dan seperti kaum miskin di negeri ini, mereka juga layak untuk menjadi sama dengan orang kaya dan kelas menengah dalam hal peluang bagi pembangunan manusia. Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang kita inginkan, tetapi hanya jika kita memiliki keberanian untuk memasuki awal yang baru. Kitab Suci Alquran memberitahu kita, "Hai manusia Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan,!. Dan Kami telah membuat kalian menjadi berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal" (Qs. Al-Hujurat: 13)" .Orang-orang dari seluruh dunia bisa hidup bersama dalam damai. Kita tahu itu merupakan visi ilahiyah. Sekarang, yang tersisa adalah kerjakeras kita untuk mewujudkannya di bumi   Bibliography Abdurrahman Wahid, “Indonesia’s Mild Secularism,” SAIS Review 21 (Summer-Fall) 2001. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985)   Ahmad Sukardja in Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 2002)   Anthony Bubalo and Greg Fealy, Between the Global and the Local: Islamism, the Middle East, and Indonesia, (Washington: The Saban Center for Middle East policy at The Brookings Institution, 2005)   Bahtiar Effendi, Islam: Contemporary Indonesian Politics, (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2006)   Effendy, Bahtiar , Islam and State in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), 2003).   Boland, B. J.,The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Nijhoff, 1982)   Clifford Geertz, The Religion of Java, (Glencoe, The Free Press,1960).   David Martin, A General Theory of Secularization, (New York: Harper & Row, 1979)   Fauzi M. Najjar, The Islamic State: A Study in Traditional Politics (Connecticut: Monographic Press, 1967)   Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, and Abdurrahman Wahid. (Jakarta: Paramadina,, 1999)   Hefner and Horvatics (eds), Islam in  Era of Nation-State, (1997)   HTI, Jejak syariah dan khilafah di Indonesia, (Jakarta: HTI Press, 2007);   Ibn Taymiyyah, Minha>j, Vol I. (nd)   Jose Casanova, Public Religions in the Modern World,(Chicago: University of Chicago Press,1994)   Karen Armstrong, Muhammad: A Prophet for Our Time, (New York: HarperCollins,2006)   Manning Nash, “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia”, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby,Fundamentalisms Observed (Chicago: The University Chicago Press, 1991)   Mark R. Woodward, Towards a New Paradigm: Recent Developmnets in Indonesian Islamic Thought (Arizona: Arizona State University, 1996)   Michael Allen Gillespie, Theological Origins of Modernity, (Chicago: University of Chicago Press, 2008).   Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005);   Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1998).   Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherland East Indies, 1900-1942, (New York: SEAP Cornell University, 1999).   Nurcholish Madjid , Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984)   ________________,Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1988)   ________________, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. (Jakarta: Paramadina, 2002)   Peters, F. E., Muhammad and the Origins of Islam, (New York: SUNY, 1994)   Steve Bruce, God is Dead: Secularization in the West, (Oxford: Blackwell Publishing, 2002)   Sachedina, Abdulaziz, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New York: OUP,2001)   Wilfred Cantwell Smith,Islam in Modern History, (Princeton: Princeton University Press, 1957)   William Roff, Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam and Society in Southeast Asia,” Archipel, no. 29 (1985).    


[1] Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (Princeton: Princeton University Press, 1957), p.295.
[2] William Roff, Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam and Society in Southeast Asia,” Archipel, no. 29 (1985), p.34. See also Mark R. Woodward, Towards a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Arizona: Arizona State University, 1996), p.34.
[3] Hefner,”Islam in an Era of Nation-State’, in Hefner and Horvatics (eds), Islam in Era, p.8.
[4] Lihat Greg Barton,….
[5] Anthony Bubalo and Greg Fealy, Between the Global and the Local: Islamism, the Middle East, and Indonesia, (Washington: The Saban Center for Middle East policy at The Brookings Institution, 2005), p. 15.
[6] See Bahtiar Effendi, Islam: Contemporary Indonesian Politics, (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2006), p. 133.
[7] Ibn Taymiyyah stressed that the problem of caliphate and imamah (leadership) are not similar with the problem of faith (iman and Islam) which are already definitive. He wrote, “…wa min al-ma’lum annahu laysat bayan mas’alat al-imamah fi al-kitab wa al-sunnah kabayan hadzihi al-ushul.” See Ibn Taymiyyah, Minhaj, Vol I, p.50.
[8] Fauzi M. Najjar, The Islamic State: A Study in Traditional Politics (Connecticut: Monographic Press, 1967), p. 11.
[9] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 22-3.
[10] Ahmad Sukardja in Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 2002) P.191.
[11] Editted by Ima>m al-Di>n Ah}mad Haydar, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqa>fah,1987).
[12] Editted by Samira Farhat (Beirut; Da>r al-Muntakhab al-‘Arabi>, 2002).
[13] Interview with Salafi Leader in Yogyakarta, November 2009. See also M. Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyyah (Islamabad: Islamic Research Institute, 1973), p. 271.
[14] Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1960),
[15] Peters, F. E., Muhammad and the Origins of Islam, (New York: SUNY, 1994),p.4.
[16] See HTI, Jejak syariah dan khilafah di Indonesia, (Jakarta: HTI Press, 2007);  Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005);  Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1998).
[17] Nurcholish Madjid is one of Indonesian scholars who realised the collective (political) consciousness of Inddonesian Muslims at that time and tried to counter the discourse by his famous jargon ‘Islam yes polical Islam no”. For a further study see Barton, Greg (1999) Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, and Abdurrahman Wahid. (Jakarta: Paramadina,, 1999); Nurcholish Madjid , Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984), Nurcholish Madjid ,Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1988) , Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. (Jakarta: Paramadina, 2002)
[18] Boland, B. J.,The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Nijhoff, 1982) p. 112.
[19] Wahid, Abdurrahman (2001). “Indonesia’s Mild Secularism,” SAIS Review 21 (Summer-Fall), 25‒28.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up