MAKNA PERALIHAN KEKUASAAN
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 5540 views
Peralihan kekuasaan dari Presiden Gus Dur ke Megewati Soekarno putri telah usai. Kini  pejuang demokrasi dan hak-hak asasi manusia secara politis harus menyerah. Puaslah sudah para lawan politik Gus Dur karena mereka telah berhasil  menjatuhkan dari kursi kepresidenannya yang sah dan legitimate.  Pemandangan sidang istimewa MPR yang baru saja disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia telah berhasil mengubah kepemimpinan nasional Indonesia. Gus Dur yang digadang-gadang oleh legislatif waktu itu untuk memimpin negara yang mampu memecahkan persoalan bangsa dan bebas dari KKN  ternyata dianggap malah membuat persoalan baru yang tidak kalah peliknya. Akhirnya mereka pun mengantarkan Gus Dur ke sidang sitimewa dan secara politis Gus Dur harus menerima pergantiannya. Sekarang dengan duet Megawati-Hamzah, masih bisakah kita berharap banyak dengan cita-cita reformasi? Inilah pertanyaan beberapa kalangan setelah Gus Dur dilengserkan. Sebab bagaimanapun, tanpa mengelak dari kekurangannya, Gus Dur sangat potensial untuk melakukan reformasi sesuai yang diharapkan para mahasiswa dan banyak pihak. Lantas, apa makna peralihan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati Soekarnoputri sekarang ini? Ada tiga hal yang perlu direnungkan oleh kita semua: Pertama, kemenangan poros tengah dan sekelompok partai Islam garis keras yang secara ideologis tidak sejalan dengan Gus Dur.  Oleh sebab itu tak heran jika mereka tetap kompak untuk menggoyang selama pemerintahannya; Kedua, bangkitnya kembali kekuatan militerisme yang selama pemerintahan Gus Dur  menjadi sasaran reformasinya.  Maka di saat Gus Dur dihimpit  oleh kelompok-kelompok kepentingan itulah TNI-POLRI tak ketinggalan untuk ikut memanfaatkan situasi. Dengan dalih mengamankan sidang istimewa, mereka menggelar apel dan konvoi lengkap dengan segala persenjataannya, bak hendak berperang melawan penjajah, mereka show of  force ingin menunjukkan semua mata, bahwa merekalah yang berjasa menenangkan dan mengamankan negara. Jika kita melihat sejarah militerisme di Indonesia, sebetulnya puncak politisasi TNI (dulu ABRI) terjadi pada masa Orde Baru yang ditandai dengan implementasi konsep dwifungsi, dimana tentara selain memainkan peran pertahanan dan keamanan juga memainkan peran sosial-politik. Anehnya, pengembangan peran sosial-politik tentara tersebut kemudian tampail sebagai sosok yang menakutkan (monster politik, menurut Mahrus Irsyam). Pada saat itulah kemudian TNI menjadi dominan, bahkan repressif. Dan inilah salah satu faktor mengapa pada masa Orde Baru  rakyat menjadi apatis dan tidak peduli dengan partisipasi politiknya. Terjadi apa yang disebut dengan floating mass yang  berlangsung lama. Tetapi kemudian, begitu ada indikasi melemahnya kekuatan Soeharto, terutama ketika terjadi krisis moneter pada akhir tahun 1997, maka bak kur bersama, kegelisahan rakyat selama bertahun-tahun itu pun akhirnya meletus dalam  bentuk gerakan reformasi. Ketika genderang reformasi ditabuh oleh kelompok elit –mahasiswa, intelektual, politisi, profesional muda—pada demonstrasi Mei 1999, salah satu tuntutannya adalah menghapuskan dwifuingsi ABRI. Memenuhi tuntutan berbagai kalangan, terutama mahasiswa, Deklarasi Ciganjur, 10 Nopember 1998, yang disepakati empat tokoh (Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati Soekarnoputri dan Sri Sultan Hamengkubuwono X), menetapkan  keanggotaan ABRI di DPR, DPRD I, DPRD II dan MPR berakhir pada tahun 2004. Begitu Gus Dur menjadi Presiden, maka dominasi TNI segera diruntuhkan dengan cara reposisi besar-besaran. Inilah keberanian sipil yang diwakili Gus Dur dalam pemerintahan nasional. Reposisi ini kemudian diterima ABRI dan mereka berniat membuat paradigma baru  serta bersedia melakukan  role sharing dengan komponen bangsa lain. Secara aklamasi, eksistensi TNI-Polri di DPR dan DPRD I/II akan berakhir sampai 2004. Sementara eksistensinya di MPR masih kontroversial. Sebagian menghendaki dihapuskan peran mereka di MPR, sebagian lain tetap menghendaki TNI-POLRI diberi hak untuk menentukan kebijakan makro politik negara dan bangsa. Memang reformasi menuntut iklim demokrasi termasuk menciptakan institusi militer berada pada posisi perannya yang seimbang dan proporsional, artinya kepentingan politik dan kepentingan pertahanan (yang asasi) harus berjalan seimbang. Peran asasi militer adalah mempertahankan negara, kedaulatan bangsa dan menjaga integritas bangsa. Maka benar apa kata pengamat politik Arbi Sanit (Duta Masyarakat, 24/7/2001), bahwa pergantian kekuasaan yang dipaksakan oleh MPR sama sekali menyedihkan, karena Mega menjadi lokomotif yang membawa gerbong militer dan kekuatan ORBA.  Senada dengan Arbi, pengamat militer Salim Said juga menegaskan, bahwa  Mega adalah sosok simbolis (boneka, manekein) yang memang dikehendaki oleh para jenderal, sehingga reformasi di tubuh militer tak bakal tercapai. Oleh karena itu Said meragukan kemampuan Mega untuk melakukan amanah reformasi rakyat.   Indonesianis terkemuka dari University of Washington,  Prof. Dr. Daniel S. Lev  adalah salah satu dari sekian pakar di Amerika Serikat yang ragu akan komitemen reformasi dari Presiden terpilih Megawati Soekaroputri.  Menurut Lev, Mega dan PDIP tidak memiliki greget untuk melakukan reformasi yang mendasar di tubuh tentara, bahkan yang terjadi mereka main mata dengan tentara (Jawa Pos, 27/07/2001). Inilah yang juga dipesankan Mahfud MD, mantan Menhan pemerintahan Gus Dur, bahwa siapa pun presidennya nanti (pasca SI), TNI harus disingkirkan dari kepentingan politik. Tidak salah jika jauh sebelum Gus Dur diturunkan oleh MPR secara tidak fair, Indonesianis kawakan dari Amerika,  Prof Dr. Clifford Geertz wanti-wanti kepada bangsa Indonesia untuk waspada terhadap bangkitnya militerisme. Geertz menilai, bahwa desakan emosional dari sejumlah kalangan untuk menjatuhkan Gus Dur  saat itu menunjukkan adanya irrasionalitas massa dan akan melahirkan kembali Orde Baru  dalam gabungan nasionalisme radikal, Islam radikal dan militerisme radikal untuk mengeroyok demokrasi yang tengah diperjuangkan Gus Dur dalam pemerintahannya (Kompas, 18/03/2001). Ketiga, bangkitnya kembali sistem pemerintahan ORBA yang penuh dengan praktik KKN. Karena Megawati telah bersekongkol dengan kekuatan GOLKAR yang selama ini justru dijadikan sasaran reformasi. Ini juga sekaligus memangkas gerakan civil society yang selama pemerintahan Gus Dur tengah diberdayakan. Melihat indikasi pemerintahan sekarang ini rasanya sulit untuk bisa melakukan pemberantasan KKN, sebab orang-orang di sekitar Mega, bahkan designer politik Mega adalah orang-orang yang terlibat KKN di masa ORBA seperti Arifin Panigoro yang tengah diproses secara hukum dalam pemerintahan Gus Dur. Bahkan pidato Megawati setelah pelantikan dengan gamblang menyatakan, bahwa dirinya siap bersekutu dengan siapa pun termasuk dengan GOLKAR yang telah menjadi mesin politik Orde Baru. Padahal reformasi yang diidam-idamkan rakyat Indonesia selama ini  diantaranya adalah pemberantasan KKN, dan demiliterisme. Prediksi Geertz tepat, bahwa sekarang memang kita sedang menyaksikan ending drama politik yang melahirkan tiga aliansi kelompok, yaitu: Pertama, Islam radikal dibawah sekenario poros dan sejumlah Islam garis keras lainnya; Kedua, nasionalisme radikal yang direpresentasikan oleh Megawati dan PDIP-nya, yang didalamnya juga himpunan dari kelompok-kelompok kepentingan. Oleh sebab itu kelompok ini tidak  sejalan dengan PDI-Marhaen-nya Rahmawati Soekarnoputri yang menyatakan sebagai anak biologis sekaligus ideologis Bung Karno;  Ketiga, militerime radikal, yang memang selama pemerintahan Gus Dur merasa khawatir akan dibongkar skandal korupsinya selama masa Orde Baru. Dengan begitu maka mereka ikut mendukung  Megawati, sementara Mega sendiri juga memiliki kepentingan yang sama. Walhasil, ujung dari semua rekayasa politik untuk menjatuhkan Gus Dur adalah akumulasi dan persekongkolan kepentingan yang mengkristal menjadi satu. Sayang Gus Dur kurang peduli dan kurang perhitungan dengan semua ini. Akhirnya ia harus menyerah “kalah”, seperti yang ia akui sendiri, bahwa  ternyata mereka kuat. Tapi, apapun resikonya  ibarat main sepak bola, Gus Dur telah melakukan tendangan finalti yang maksimal, soal meleset itu sebuah resiko bermain bola (bola politik), dan sebuah resiko pula, jika wasitnya (Bagir Manan) sudah sejak semula memihak lawan Gus Dur. Pupuslah sudah reformasi yang hendak di-goal-kan Gus Dur. Dan bukti terkini dari itu semua adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa  GOLKAR tidak terlibat dalam kasus korupsi dan oleh karena itu tidak bisa dibubarkan. Tragis, dan sepontan para pengunjung yang terdiri dari elemen mahasiswa dan masyarakat langsung melemparkan ayam betina di tengah persidangan sebagai bentuk dari rasa  kekecewaan mereka yang amat berat. Lantas, indikasi lain dari bangkitnya kembali militerisme ini adalah suasana yang semakin mencekam di beberapa daerah dengan tindakan para aparat keamanan yang semakin represif tidak lama setelah dijatuhkannya Gus Dur. Pupuslah sudah reformasi yang hendak kita idam-idamkan bersama. Kondisi semacam ini akan terulang  seperti masa pemerintahan Soeharto yang menjadikan rakyat semakin apatis dan kembali pada kondisi floating mass.                                 -------------- *Drs. M. Zainuddin, MA. adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam  Negeri Malang dan Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Umat (LSPU-Gnosis) di Malang.  

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up