MANHAJ TARBAWI MENYIAPKAN GENERASI ULUL ALBAB
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 21129 views
Pendahuluan Semua lapisan masyarakat, baik orang tua, pendidik, agamawan kini tengah menghadapi dilema besar dalam pendidikan, yaitu tentang “bagaimana cara terbaik untuk  mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan global di masa mendatang”. Sebagian kalangan coba memberikan jawaban dengan kembali ke masa lalu, sementara yang lain hendak menoleh ke masa depan. Namun di atas semua itu sesungguhnya semua orang membutuhkan perbaikan dan rekonstruksi konsep tarbiyah menuju masa depan generasi yang gemilang. Dilema tentang bagaimana memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita sekarang membutuhkan penilaian yang jujur dengan menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Di mana posisi kita sekarang? (2) Di mana seharusnya kita berada? (3) Bagaimana perencanaan kita? Dengan kata lain, masa depan anak-anak dan masyarakat kita sangat tergantung pada bagaimana kita mampu menjawab pertanyan-pertanyaan tadi secara tepat dan sejauh mana kita mampu mentransfer visi dan misi kehidupan kita kepada generasi mendatang. Model Tarbiyah Isla>miyah ini merupakan usaha menyikapi berbagai isu fundamental pendidikan kontemporer dan sekaligus memberikan usulan kerangka reformasinya. Model ini mengusulkan sebuah visi dan pendekatan terhadap pendidikan yang tetap memelihara karakter dan sesuai fitrah peserta didik serta memberikan kemampuan untuk melakukan  penemuan jati diri (self discovery), kesempurnaan, dan juga kesadaran sosial, yang berangkat dari tradisi dan modernisasi yang terseleksi (al-muhafadhah ala ‘l-qadim al-shalih wa ‘l-akhzu bi ‘l-jadid al-ashlah). Prinsip Tarbiyah Isla>miyah Berbicara mengenai pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyyah), maka harus dimulai dari cara pandang kita (world-view) tentang manusia. Bagaimana filsafat kita memandang manusia? Bahwa paradigma filsafat kita adalah teo-antroposentris, artinya dalam memandang manusia, kita harus memandangnya secara utuh tentang sosok dan fungsi manusia itu sendiri. Lantas bagaimana Islam memandang manusia? Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk mukallaf, yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab. Dengan akal pikirannya ia mampu menciptakan kreasi spektakuler berupa sains dan teknologi. Manusia juga bagian dari realitas kosmos yang menurut para ahli pikir disebut sebagai  al-kain an-natiq,  “makhluk yang berbicara” dan “makhluk yang memiliki nilai luhur”[1]. Menurut Al-‘Aqqad,[2] manusia lebih tepat dijuluki “makhluk yang berbicara” dari pada sebagai “malaikat yang turun ke bumi” atau “binatang yang berevolusi”, sebab manusia lebih mulia ketimbang semua itu. Alasan ‘Aqqad ini tidaklah berlebihan, sebab menurutnya, “malaikat yang turun ke bumi“ tidak mempunyai kedudukan sebagai pembimbing ke jalan yang baik maupun yang buruk, demikian pula “binatang yang berevolusi”. Hanya manusialah yang mampu memikul beban dan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Allah kepadanya. Oleh sebab itu, tidak heran pula jika ada yang mengatakan, bahwa manusia adalah “pencipta kedua” setelah Tuhan. Hal ini dapat kita pahami, betapa manusia yang dianugerahi rasio oleh Tuhan itu mampu menciptakan kreasi canggih berupa sains dan teknologi, sementara malaikat diperintah sujud kepadanya karena tak mampu bersaing secara intelektual. Kelebihan intelektual inilah yang menjadikan manusia lebih unggul dari pada makhluk lainya, tetapi ia pun akan menjadi dekaden, bahkan lebih rendah nilainya dari binatang jika melakukan tindakan yang destruktif, melepaskan imannya.[3] Dalam al-Qur’an istilah manusia disebut dengan kata-kata: al-Insan, al-Basyar dan Banu Adam. Sebagian ulama berpendapat, al-Insan diambil dari kata nasiya-yansa nasyan yang berarti lupa, maksudnya manusia sering melupakan janjinya kepada Tuhan. Manusia disebut al-Insan diambil dari kata nasa-yanusu yang berarti bergoncang. Al-Insan diambil dari kata ins yang berarti jinak. Sedangkan disebut al-Basyar berarti tampak baik dan indah, gembira. Kata al-Basyar disebut dalam al-Qur’an Sebanyak 123 kali, dan pada umumnya bermakna gembira, 37 kali bermakna manusia dan 2 kali berkaitan dengan hubungan seks. Kata al-Insan mengandung pengertian manusia sebagai makhluk sosial dan kultural/ keilmuan. Al-Basyar mengandung pengertian realitas manusia sebagai pribadi yang kongkret, manusia dewasa yang sedang memasuki kehidupan bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi.[4] Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Dia adalah unik, tidak ada makhluk seunik dan seajaib manusia. Manusialah yang mampu menguasai alam semesta ini. Binatang sebuas apapun dengan kreativitas akalnya bisa ditaklukkan. Dialah manusia ajaib. Dalam pandangan kita (baca: Islam), bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur tidak saja jasmani, tetapi juga ruhani dan nafsani. Aspek terakhir inilah yang kurang menjadi concern, atau sering dilupakan oleh pengelola (designer) pendidikan. Di samping itu, manusia juga memiliki kedudukan sebagai ‘abid (makhluk yang menyembah Tuhan, Allah), juga berkedudukan sebagai khalifah (pemimpin dan manajer di muka bumi). Ini yang harus kita pahami. Jika kita berbicara pendidikan Islam, maka aspek ini tidak boleh dilupakan. Sebagaimana umumnya para filosuf beranggapan --termasuk Ibn Sina, al-Farabi dan juga al-Ghazali-- bahwa jiwa itu tersusun dari tiga jenis: jiwa nabatiyah, jiwa hayawaniyah dan jiwa insaniyah. Jiwa nabatiyah adalah jiwa yang berfungsi untuk makan, tumbuh dan melahirkan, jiwa hayawaniyah adalah jiwa yang berfungsi mengetahui hal-hal kecil dan bergerak sesuai iradah dan jiwa insaniyah adalah jiwa yang melakukan perbuatan dan mengatahui hal-hal yang bersifat umum. Menurut Iqbal, insan kamil adalah puncak dari perkembangan ego manusia, yang memiliki kekuatan berhadapan dengan Tuhan. Dari kekuatan ego tersebut juga menyebabkan manusia terangkat menjadi khalifah Tuhan. Menurut Iqbal, insan kamil adalah manusia yang mampu menyerap kebaikan-kebaikan Tuhan dalam dirinya. Tuhan dan manusia menurut Iqbal adalah dua entitas yang berbeda. Relasi Tuhan dengan manusia menurut Iqbal bersifat bottom up, artinya bergerak dari manusia menuju Tuhan (At-Tafkir fi Khalqil-Llahi Ilat-Tafkir fi-llah) . Ini diambil dari hadis: Tafakkaru fi Khalqi-llahi wa La Tafakkaru fi Zatihi dan Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu. Bagaimana manusia mampu berhubungan dengan Tuhan-nya, juga mampu berhubungan dengan sesama manusia dan alam semesta? Di sinilah sebetulnya al-Qur’an surat al-Qashash: 77 sudah memberikan penjelasan yang gamblang.  Sebetulnya 14 abad yang silam Islam sudah berbicara mengenai regulasi relasi antarmakhluk. Inilah etika Islam (al-akhlaq al-karimah) itu. Konsep Al-akhlaq al-Karimah atau akhlaq karimah --bukan akhlaqul karimah-- sering dipahami secara simplistik, artinya bahwa akhlak itu hanya dipahami sebatas sopan santun saja. Padahal al-akhlaq al-karimah itu mencakup berbuat kebajikan kepada semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta ini (mencakup persoalan ekologi, HAM, keadilan, demokratisasi, ketimpangan sosial dsb.). Jika ini yang dipahami, maka kurikulum akhlak karimah menjadi wajib di semua lembaga pendidikan (apapun jenis dan jenjangnya). Sebagaimana kata adab, atau al-adab sering dipahami secara sederhana, tata karma atau sopan santun murid dengan guru atau anak dengan orang tua. Padahal al-adab itu memiliki ekstensi makna ta’dib yang berarti mengembangkan peradaban. Maka tidak mungkin seorang Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak, kalau akhlak ini hanya bermakna sopan santun. Apa mungkin itu? Bukankah menyederhanakan makna nubuwwah dan risalah-nya? Inilah akhlaq karimah yang sepadan dengan Ihsan, yang merupakan kelanjutan dari Islam dan Iman. Kurikulum sebetulnya juga tidak saja yang verbal, yang tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, tetapi lebih dari itu ada kurikulum non-verbal (hidden curriculum) yang berupa uswah dan qudwah para pendidik, guru (termasuk pemimpin bangsa). Maka hakikat guru, pendidik dan pemimpin itu seharusnya semua ucapan, perbuatan dan ketetapannya menjadi panutan orang lain (murid, siswa dan yang dipimpinnya). Adanya anggapan, bahwa pendidikan Islam masih merupakan subsistem dari sistem pendidikan secara umum haruslah dilihat dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar pendidikan Islam untuk melakukan rekonstruksi pendidikan Islam tersebut. Apa sebenarnya konsep pendidikan Islam untuk mengantisipasi masa depan? Merumuskan konsep pendidikan Islam memang bukanlah pekerjaan yang ringan, sebab rumusan tersebut harus mengkaitkan Islam sebagai disiplin ilmu. Antisipasi Masa Depan Dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam, kita perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi: (1) pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya, (2) pendidikan Islam merupakan sesuatu yang integrated artinya ia memiliki kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3) pendidikan Islam merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia, (4) pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik, (5) pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-pesan moral pada peserta didik. Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi fondasi bagi terciptanya konsep pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islam lebih pas apabila diletakkan dalam kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga untuk melihat perubahan-perubahan sosial dalam perspektif transedental, dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern. Ini  berarti bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung upaya kemampuan mengintegrasikan akal dengan nurani dalam menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi perkembangan sosial, apabila dalam proses belajar-mengajar menggunakan pola pengajaran innovative learning, yakni: (1) berusaha memupuk motivasi yang kuat pada peserta didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha memupuk sikap berani menghadapi tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadap kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu proses perubahan sosial. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18). Pesan Tuhan ini bisa dipahami bahwa untuk menuju ke masa depan yang lebih baik, seseorang haruslah memperhatikan apa yang telah dan sedang terjadi di masyarakat. Tentu ini terkait dengan upaya menyadap sebanyak mungkin informasi, kemudian menganalisisnya. Aneka ragam informasi yang telah disadap yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengolahan dan interpretasi akan menumbuhkan kemampuan berpikir secara holistik dan integratif. Bila kemampuan ini telah dimiliki seseorang, maka untuk mengantisipasi perubahan yang menumbuhkan kesadaran internal dan keterampilan memecahkan masalah bukannya sesuatu yang memberatkan. Adalah bukan tidak mungkin, bahwa persoalan informasi mempunyai korelasi akseptabilitas dengan dunia pendidikan (baca: pendidikan Islam), bahkan dengan fungsi informasi, pendidikan Islam akan mampu mengimbangi kemajuan zaman. Korelasi ini terletak pada persoalan substansi materi pendidikan Islam itu sendiri. Dalam spektrum yang lebih makro, seberapa jauh alih nilai moral mampu membekali peserta didik untuk menghadapi sekaligus memecahkan persoalan secara proporsional sekaligus mampu mengembangkan budaya religius. Spektrum tersebut menuntut peran pendidik (guru, dosen) untuk mampu tampil lebih profesional di hadapan peserta didik dengan menyertakan menu-menu materi yang bersifat kontekstual, dinamis dan berorientasi ke masa depan. Semua ini akan didapatkan jika tradisi menyadap banyak informasi menjadi tuntutan setiap saat bagi para pendidik. Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan hari ini dan esok harus dilihat dari dimensi informasi ini. Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan dicapai hanya melalui intensitas mencari, mengolah dan mengintepretasikan informasi. Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi hari esok. Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan hari esok. Sekarang dan esok sebenarnya bersifat saling berkaitan dan merupakan mata rantai yang kompleks meski dengan tingkat kompleksitas yang beragam.   Konsep Tarbiyah Ulul Albab Tarbiyah merupakan salah satu term dalam bahasa arab yang mempunyai banyak arti. Biasanya kata ini diartikan pendidikan. Menurut  Raghib al-Asfahani, kata Tarbiyah berarti menyebabkan sesuatu berkembang dari satu fase ke fase selanjutnya sampai mencapai titik puncak potensi’. Hal ini mengindikasikan bahwa fitrah manusia memang telah ada dalam diri anak, dan pendidikan merupakan proses mengembangkan fitrah tersebut, yang lebih dari sekadar mengisi dan menanamkam sesuatu. Kalau dipahami secara luas, maka arti Tarbiyah adalah sutau disiplin ilmu Islam bagi pembentukan dan pengembangan jiwa manusia. Adapun kata Tarbiyah berarti meningkatkan dan mengembangkan. Arti riba’ (meningkat dan berkembang) berasal dari akar kata linguistik yang sama. Dan menurut Asfahani, kata rabb (Lord) secara linguistik juga berhubungan dengan kata tarbiyah, sebuah pengertian bahwa Tuhan atau Rabb memelihara dan mengembangkan kita dalam setiap fase kehidupan sampai kita mencapai potensi puncak. Oleh karena itu, konsep peningkatan, peninggian, pengembangan, pengasuhan dan pemeliharaan adalah aspek Tarbiyah. Dalam hal ini juga termasuk wawasan tentang sifat pendidikan Islam  yang bisa dikombinasikan dengan praktik pendidikan modern. Secara etimologis, ulul albab (ulu> al-alba>b) berarti orang-orang yang memiliki akal, yaitu daya ruhani yang dapat memahami kebenaran baik yang fisik maupun yang metafisik. Sedangkan secara terminologis, ulul albab adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri pokok antara lain: beriman, berpengetahuan tinggi, berakhlak mulia, tekun beribadah, berjiwa sosial dan bertakwa. Sosok ulul albab dalam mencari ilmu pengetahuan melalui sumbernya yang khas islami, yaitu wahyu (al-Qur'an dan al-Sunnah), alam semesta (afa>q), diri sendiri (anfus) dan sejarah. Sedangkan cara yang ditempuh meliputi: pengetahuan inderawi, pengetahuan akal dan pengetahuan intuisi (ilham). Dalam perspektif Islam, kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum (generik) yang mencakup spektrum arti yang telah digunakan dalam sunnah Nabi. Bahwa seorang Muslim tidak akan pernah akan keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya sendiri; karena ilmu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu dianggap tercela karena akibat-akibat tercela yang dihasilkan. Bahwa ilmu yang wajib dicari oleh setiap Muslim adalah ilmu yang bermanfaat dan yang dituntut oleh agama dan dunianya. Persoalan apakah jenis ilmunya, adalah hal baru yang tidak membawa segi ibadah, yang terpenting sesungguhnya adalah essensinya, label dan nama bukanlah persoalan. Bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai berikut ini: “Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9). “Dia (Allah) mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui” (QS. Al-‘Alaq: 5). “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat dan berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang yang benar”  (QS. Al-Baqarah:31). Lihat juga misalnya surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70. Nabi bersabda: “Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga”. “Orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya…..”."Carilah ilmu meski di negeri Cina". Nabi Sulaiman memandang bahwa pengetahuan bahasa burung (binatang) sebagai rahmat atau kemurahan Allah (lihat Q.S Al-Naml: 15-16). Dan sangat jelas bahwa Cina pada saat itu bukan pusatnya studi ilmu agama Islam, akan tetapi lebih terkenal dengan industrinya. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam sebagai suatu agama menuntut agar setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai bagian dari kelompok “ilmu agama”.Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya (ilmu sihir, forkas dan sebagainya), sebagaimana sabda Nabi: “sebaik-baik  ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”. Kata ulul albab disebut dalam al-Qur'an mencapai 16 kali yang tersebar dalam 10 surat dalam konteksnya yang berbeda-beda, yaitu dalam surat al-Baqarah (2):179, 197; dan 269; Ali Imran (3): 7, 190; al- Maidah (5):100; Yusuf (12): 111; al-Ra'd (13):19; Ibrahim (14): 52; Shad (38): 29, 43; al-Zumar (39): 9, 18, 21; al-Mu'min (40): 54; al-Thalaq (65):10. Jika dikaji dalam berbagai surat dan ayat dalam al-Qur'an tersebut, maka ulul albab adalah sosok yang memiliki kualifikasi: beriman, berpengetahuan tinggi, berakhlak mulia, tekun beribadah, berjiwa sosial dan bertakwa. Dalam konsep Islam, kehidupan praktis seseorang dinilai berdasarkan penggabungan prinsip iman/ide dan amal/ tindakan secara bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa keimanan seseorang harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Nabi Muhammad saw. menjelaskan bahwa secara empirik agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (vertikal/ hablun min Allah) saja, melainkan juga terkait dengan hubungan antarsesama manusia atau alam semesta (horizontal/ hablun min al-nas). Namun demikian, fenomena yang  muncul adalah, bahwa mayoritas umat Islam kurang menghargai nilai-nilai Islam itu sendiri, misalnya menepati janji, waktu, ketertiban, dan hal-hal lain yang mestinya harus diperhatikan oleh umat Islam itu sendiri. Kemudian, kenapa terjadi keterputusan antara nilai dan praktik  dalam masyarakat Muslim saat ini? Dan peran apa yang bisa diberikan oleh pendidikan dalam konteks ini?  Hal inilah yang merupakan pertanyaan besar bagi masyarakat Muslim saat ini. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat Muslim saat ini tidak lepas dari faktor modernisasi dan globalisasi yang berdampak pada semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan juga pendidikan. Pengaruh modernitas telah mempunyai andil besar dalam merubah gaya dan pola hidup pada hampir semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat Muslim. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak kita belajar nilai kebanyakan dari budaya populer dan media massa. Pengaruh kolonialisme yang membawa budaya materialisme, sekularisme dan individualisme selama berabad-abad telah meninggalkan bekas yang tak bisa dihapus  pada pola pikir dan sistem nilai di dunia Muslim saat ini. Lantas apa saja yang perlu dipersiapkan oleh masyarakat dalam menghadapi globalisasi materialisme dan sekularisme? Problem-problem di atas juga memperlemah perkembangan karakter  generasi Islam saat ini. Oleh karena itu, intelektual Muslim sekarang harus melakukan reorientasi dalam menatap persoalan pendidikan (tarbiyah), sehingga mereka mampu survive dalam setiap zaman. Reorientasi atau rekonstruksi konsep pendidikan ini penting, karena tanpa itu maka kita tidak akan pernah mampu memebesarkan generasi kita sesuai dengan zamannya. Para ilmuwan Islam dan pengelola lembaga pendidikan di dunia Islam memiliki tanggung jawab dalam mengatasi masalah keterputusan antara nilai dan praktik yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Selama berabad-abad, dunia pendidikan selalu dipahami sebagai proses transmisi dari pada sebagai proses transformasi. Pengajaran hanya difokuskan pada mentransfer informasi dan harus dihafal dari pada dilaksanakan atau diinternalisasi. Dalam era informasi dan meluasnya dunia multi media sekarang ini di mana internet dan komunikasi global menjadi trend, pendekatan Islami harus tetap dijadikan sebagai sistem nilai baik secara individual maupun sosial, khususnya dalam menghadapi masyarakat modern  dan sekuler saat ini. Kegagalan pendidikan Islam kontemporer secara umum juga disebabkan oleh perumusan visi dan misi yang tidak kompatibel dengan konsep ideal dan kondisi empiriknya. Setidaknya hal ini disebabkan oleh --paling tidak-- lima alasan berikut: Pertama, secara fundamental pengajaran kita tidak fokus pada pengembangan karakter dan kepribadian, tidak sejalan dengan apa yang menjadi garapan  Nabi saw. Malah pengajaran kita lebih mengfokuskan pada fakta dan informasi seperti nama, tanggal, peristiwa dan lain-lain. Kedua, kebanyakan yang diajarkan adalah sesuatu yang yang tidak relevan dengan kehidupan riil siswa seperti kebutuhan, urusan, dan tantangan yang akan mereka hadapi. Ketiga, metode pengajarannya lebih cenderung terpusat pada pengajaran (teaching)  bukan pada belajar (learning). Masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu. Keempat, Adanya pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum). Kelima, pengajaran kita tidak mempersiapkan anak-anak kita dengan keterampilan riil (real life skills) yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat modern saat ini.  Selain itu, pendidikan Muslim kontemporer  (dan juga pendidikan pada umumnya) secara tipikal tidak memiliki pemahaman yang benar tentang perkembangan anak  baik secara moral, sosial, psikologis maupun pedagogis. Subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual. Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip: tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam; Pada sebagian besar masyarakat kita sekarang ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama” dan “ilmu” merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa ditemukan, keduanya dianggap memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing.   Pemahaman yang Salah Kaprah Sampai saat ini masih terdapat beberapa kesalahpahaman umum (salah kaprah) tentang pendidikan yang terus mempengaruhi pemikiran banyak pendidik profesional  dan berkontribusi pada kegagalan yang terjadi di dunia pendidikan. Kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh adanya pemahaman parsial dan mekanistik  tentang anak dan proses pendidikan. Pada sebagian pendidik kita masih beranggapan bahwa  semua anak adalah sama dan dapat diinjeksi informasi secara berlebihan. Karena mentalitas inilah, banyak anak-anak yang gagal dalam proses pendidikan tanpa adanya beban kesalahan yang mereka lakukan. Para pendidik dan orang tua seharusnya mengenal dan menerima fakta bahwa setiap anak itu unik dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan terhadap pemahaman yang lebih natural, menyeluruh, dan ramah (humanis) tentang anak, pendidikan dan proses pembelajaran. Berikut ini adalah beberapa kesalahpahaman umum tentang pendidikan dan sekaligus pandangan alternatifnya:
Komponen Senyatanya Seharusnya
Visi Pendidikan dianggap sebagai disiplin yang terpisah; partikularistik, masih memakai paradigma mekanistik (model perusahaan) Pendidikan dipandang  secara holistik dan menyeluruh berparadigma rekonstruktif.
Isi Pembelajaran bersifat  tradisional; sekadar   informatif, tidak relevan dengan kehidupan riil siswa, fokus pada instruksi/ pengajaran textbook. Pembelajaran bersifat modern,  transformatif,  realistik, kurikulum berbasis kehidupan riil
Struktur Struktur tidak koheren atau disusun oleh disiplin akademik yang rigid. Gagasan bersifat powerful (powerful ideas); mampu memberi inspirasi dan transformasi, mampu membangun kepribadian,
Metode Didaktik (ceramah dan kuliah); guru sebagai pusat, satu model untuk semua siswa, tidak menarik dan tidak inspiratif. Discovery learning; terpusat pada siswa, pengajaran bervariasi, gaya pembelajaran yang variatif, guru sebagai penunjuk (guide), modellling dan mentoring, model pembelajaran terpadu/ integrated learning model (ILM)
Program Terfokus pada masa lampau ‘tentang Islam’ sebagai agama, ritual-ceremonial. Life mastery; terpusat pada hal-hal kekinian ‘tentang menjadi Muslim’; Islam sebagai gaya hidup; Islam untuk pemahaman atau penguasaan hidup/ Islam for Life Mastery (ILM)
Tujuan Perolehan informasi ansich, pengetahuan dan keterampilan hanya untuk  perolehan pekerjaan Beyond schooling; bagaimana belajar (how to learn), pembelajaran seumur hidup, pengembangan manusia seutuhnya
Penilaian Tes formal berdasarkan buku, benar atau salah, lulus atau tidak lulus, tes standar. Authentic assessment; tugas otentik, berhubungan dengan dunia riil, penilaian bersifat multi intelligensi
  Di Mana Seharusnya Kita Berada? Seorang Muslim bertanggung jawab untuk mengabdi sebagai khalifah di bumi ini dan mememelihara ekosistem dunia dengan penuh amanah. Untuk memenuhi tanggung jawab ini, membutuhkan sebuah sistem pendidikan bagi mencetak generasi yang profesional dalam mengidentifikasi, memahmi, dan bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan manusiawi yang ada secara menyeluruh. Namun demikian dunia ini tidak akan terpelihara dengan sendirinya. Oleh karena itu, pembangunan karakter adalah hal yang esensial dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Kini trend pembaruan lagi gencar-gencarnya digaungkan, sehingga Muslim yang tercerahkan (enlightened Muslim) menemukan solusi riil terhadap permasalahan-permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi komunitas Muslim, dan bahkan sudah sampai pada evaluasi terhadap paradigma tradisional dalam masyarakat Muslim –termasuk bagaimana dan apa yang kita ajarkan pada anak-anak kita. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pembaharuan visi pendidikan dibutuhkan, salah satunya adalah mencetak generasi yang mempunyai tingkat pemahaman, komitmen, dan tanggung jawab sosial yang nantinya akan menggerakkan mereka mengabdikan diri pada kemanusiaan dan sosial  secara efektif. Adapun visi pendidikan di sini bukanlah visi yang baru, tetapi lebih merupakan visi pendidikan yang diperbarui (renewd). Pada zaman Nabi pendidikan merupakan sesuatu yang dinamis, praktis dan relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat riil. Sehingga pendidikan di kala itu mempunyai kekuatan dalam hal memberi inspirasi dan mentransformasikan kehidupan manusia menyeluruh. Model pendidikan profetik ini mempunyai substansi pengalaman kehidupan sehari-hari dan permasalahan-permasalahan komunitas Muslim pada awalnya dari masa ke masa.  Pendidikan tersebut tidak seperti pendidikan Islam yang ada sekarang –yang stagnan dan tidak responsif. Mengapa? Dan bagaimana kita menjadikan pendidikan benar-benar bermakna dalam kehidupan anak-anak kita? Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, diperlukan adanya usaha terpadu dan tepat guna.  Para pendidik dan orang tua seharusnya meningkatkan usaha mereka dalam menemukan solusi-solusi alternatif yang bisa menjembatani adanya kesenjangan antara nilai dan praktik pada generasi yang akan datang. Tentu saja, sekolah mempunyai peranan yang krusial dalam hal ini, khususnya program yang sudah maju untuk mempercepat sosialisasi pemahaman pendidikan dan mempromosikana peran keluarga  dalam proses pengembangan karakter. Tarbiyah  adalah hal yang sangat dibutuhkan hari ini oleh generasi kita, dan merupakan fokus pendidikan modern dalam dunia Muslim saat ini. Investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia adalah investasi yang paling menjanjikan yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Sejarah telah memperlihatkan bahwa mesin dan teknologi  tidak  bisa menyerang jiwa manusia ketika jiwa tersebut sudah dipenuhi oleh tujuan hidup yang jelas dan ketekunan diri. Tujuan inti dari pendidikan sebetulnya adalah untuk mencetak orang-orang yang punya komitmen yang jelas dalam hidup. Adapun visi pendidikan telah membuat perbedaan yang jelas antara mengajarkan “hal-hal tentang Islam” (informatif) dan mengajarkan tentang “bagaimana menjadi Muslim sejati” (transformatif). Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk memberi informasi tentang Islam kepada anak-anak didik saja, tetapi lebih menekankan bagaimana menjadi seorang Muslim  dan memberi mereka inspirasi sehingga ilmu tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan mereka. Adanya perubahan paradigma dari pendidikan yang berorientasi pada informasi ke pendidikan yang berorientasi pada transformasi adalah esensial untuk dilakukan jika kita benar-benar berharap membangun paradigma baru pendidikan bagi pembangunan masyarakat Muslim ideal. Bagaimana Kita Seharusnya? Bahwa reformasi yang menyeluruh amatlah dibutuhkan dalam sistem pendidikan di dunia Muslim. Adapun pendekatan ini berdasarkan pada empat komponen inti: Pertama, kerangka konseptual terpadu tentang pendidikan  yang berdasarkan prinsip Tauhid dan pendidikan holistik. Kedua, tinjauan ulang terhadap tujuan pendidikan dan komponennya bagi pengembangan karakter (character development). Ketiga, merekonstruksi kurikulum atau gagasan-gagasan besar (powerful ideas) yang mempunyai kekuatan untuk mentransformasikan kepribadian. Keempat, penetapan ulang pengalaman mengajar dan belajar  ke arah proses pembelajaran penemuan/ pencarian (discovery learning). Jika kita menginginkan posisi yang penting dalam percaturan dunia saat ini, maka reformasi pendidikan mesti dilakukan. Reformasi akan membutuhkan pemikiran ulang dalam penstrukturan ulang elemen-elemen kunci dari sebuah lembaga pendidikan seperti kerangka konseptual, isi, struktur dan proses pendidikan. Perlu dicatat juga di sini bahwa usaha reformasi serupa juga sekarang lagi dilakukan oleh duni pendidikan Barat. Tuntutan untuk menerapkan pendidikan yang holistik, pengajaran terpadu, pembelajaran kooperatif, pendidikan karakter, pembelajaran penemuan (discovery learning),  dan penilaian otentik  sangat banyak ditemukan di literatur pendidikan. Adapun konsep Tarbiyah merupakan usaha untuk melakukan reformasi modern yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan tersebut (dari model industri ke model humanis) yakni lebih natural, otentik, dan efektif.   Kerangka Pendidikan Holistik Wilayah pertama yang perlu direformasi adalah visi atau kerangka konseptual terhadap pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid  (keutuhan dan keterpusatan pada Tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip tauhid mencakup konsep  filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan. Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial. Sehingga, siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar umur 13–17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas –bahkan yang mereka pikirkan  hanya mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip tauhid  menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep tauhid  harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2) bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan (struktur), (3) bagaimana kita mengajarkannya (proses). Akhirnya, tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik pendidikan kita. Oleh karena itu, konsep tarbiyah merancang sebuah pendekatan pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur, dan proses dan terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum  (baik bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Konsep ini menegaskan bahwa aspek-aspek integratif secara signifikan akan meningkatkan kekuatan, relevansi, dan keefektifan pengalaman belajar dan mengajar. Konsep Tarbiyah ini mengadvokasikan pendekatan holistik dalam pendidikan.     Aspek Holistik Pendidikan (Tarbiyah)

Aspek Holistik

Contoh

Tujuan

Pembelajaran seumur hidup, bersifat komprehensif, menjadikan anak didik sebagai khaira ummah.

Pandangan Terhadap Anak

Pemahaman anak secara utuh; pikiran, tubuh, jiwa, multi intelegensi, dan juga gaya belajar.

Apa yang harus diajarkan

Gagasan yang powerful dan pertanyaan-pertanyaan brillian terhadap dunia secara utuh (multikultural).

Bagaimana mengorganisir

Kurikulum terpadu; pembelajaran integrated.

Bagaimana mengajarkannya

Sesuai dengan kemampuan anak didik, pengajaran yang bervariasi, pemanfaatan lingkungan.
  Metafor Sebuah Pohon Adapun prinsip tauhid  (holistik, terpadu, terpusat pada Tuhan) adalah prinsip dasar dari pendekatan Tarbiyah. Selain itu, terdapat sejumlah prinsip lainnya yang mendukung terbentuknya kerangka teoretis dari pendekatan tersebut. Beberapa prinsip ini berasal dari adanya perenungan terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan alam. Al Qur’an memerintahkan kita untuk memperhatikan dengan teliti (misalnya menyelidiki, mengamati dengan cerdas, menguraikan, menemukan dan dan merenungi) ‘Tanda-Tanda’ Tuhan di alam ini dalam rangka mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang jati diri kita sebagai manusia. Dengan berdialog dengan alam kita bisa memahami adanya  hukum alam yang tak terelakkan, yakni tentang pertumbuhan dan perkembangan. Siang, malam, langit, bumi, bulan dan matahri, dan kejadian konsmik lainnya, kesemua ini berkembang sesuai dengan pola terpadu. Memahami pola pertumbuhan dan perkembangan kosmik ini sangatlah penting bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pengajaran dan pendidikan. Dengan kekuatan dan kebijaksanaannya yang brillian, Allah telah menciptakan makhluk dengan cara gradual, dan proses perkembangan yang lebih dari sekadar satu babak. Hal ini membutuhkan adanya waktu panjang,  komitmen, dan konsistensi. Proses ini tidak hanya terjadi pada makhluk hidup tapi juga kepada makhluk lainnya; bahkan hal ini juga terjadi pada sejarah dan beberapa proses alam. Ini adalah merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri dan diganggu gugat. Untuk meraih kesuksesan, para pendidik haruslah memahami hukum pertumbuhan dan perkembangan ini karena hal ini juga terjadi pada anak didik secara langsung. Lebih dari itu, mereka harus menggabungkan hukum ini secara filofofis pedagogis dan praksisnya. Jika tidak demikian secara alami mereka akan menentang arus hukum alam dan akan bertentangan dengan perkembangan anak didik. Dengan cara memperhatikan faktor-faktor tersebut, para pendidik akan sangat mengerti keinginan anak didik dan cara mendidiknya. Pendidik haruslah memahami prinsip ini dengan baik. Fenomena alam semesta ini haruslah kita pahami sebagai  tanda-tanda (ayat) kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan dan harus kita kaitkan dengan dunia pendidikan kita. Pohon misalnya, merupakan metafor sempurna dalam proses ‘perkembangan ‘ yang dikenal dengan Tarbiyah. Misalnya al Qur’an dalam surat 14 ayat 24, Allah menggunakan metafor pohon untuk menjelaskan superioritas kebaikan atas kejahatan. "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit"? Adapun pohon dan poroses pertumbuhannya merupakan tanda atau titik renungan yang sangat menakjubkan bagi mereka yang membesarkan anak. Para orang tua mapun pendidik harus merenunginya secara mendalam untuk menemukan hubungan yang bervariasi sehubungan dengan cara mengasuh dan membesarkan anak secara benar tepat. Penggunakan metafor pohon sebagai cara untuk menjelaskan sifat tarbiyah dan tahap-tahapan pertumbuhan anak. Prinsip-Prinsip Kunci Tarbiyah Beberapa prinsip tarbiyah tentang pendidikan berasal dari metafor pohon. Adapun pendekatan Konsep Tarbiyah juga secara umum sangat berkaitan dengan prinsip-prinsip ini. Dewasa ini pandangan-pandangan penting telah dicetuskan tentang bagaimana seorang anak didik bisa belajar dengan sangat baik. Khususnya pandangan modern yang mengakaji tentang otak dan pendekatan yang diperbaharui ke arah psikologi holistik dan pembelajaran terpadu. Di bawah ini adalah deskripsi tentang prinsip-prinsip kunci yang membentuk dasar-dasar model pendidikan tarbiyah. Ketika beberapa prinsip ini berasal dari wawasan  atau pandangan modern  dalam rangka meraih pembelajaran yang efektif, tetapi pada saat yang bersamaan kita juga bisa mencatat bahwa banyak juga dari prinsip tersebut yang ada korelasinya dengan pemikiran Islam klasik. Pandangan-pandangan tersebut penulis gabungkan dalam konsep ini karena mempertimbangkan implikasi penting yang ditimbulkan dalam perencanaan pendidikan dan pengembangan kurikulum.
  1. Fitrah. Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Seperti halnya biji pohon, biji itu sudah terisi bahan dasar yang penting untuk pertumbuhannya. Fitrah ini akan terbuka dan berkembang secara alami ketika ada pada lingkungan yang tepat.
  2. Unik. Setiap anak adalah unik. Hal ini berdasarkan adanya genetik yang unik, bakat yang alami yang dipunyai setiap anak. Tiap anak mempunyai kepribadian, temperamen, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini merupakan bagian fitrah anak, salah satu yang membuat  mereka unik. Pendidikan harus memelihara keunikan setiap anak (dengan mengingat bahwa anak bukanlah objek yang bisa dididik secara seragam).
  3. Holistik. pendidikan bermula dari prinsip Tauhid  (keutuhan dan keterpusatan pada Tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan.
  4. Integratif. Pembelajaran efektif haruslah terpadu; mendidik anak secara spiritual, moral, intelektual, fisik, emosi, dan sosial. Integrasi haruslah mencakup topik, integrasi waktu, tempat, dan budaya; inetgrasi dalam kurikulum; integrasi antara pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai dan aplikasinya dan aksi. Aspek-aspek inetgrasi ini lebih mempunyai potensi yang kuat untuk mencapai pembelajaran efektif. Selain itu, pembelajaran juga harus memadukan antara pikiran dan fisik. Semua pembelajaran  tergantung pada penilaian fisiologis badan anak didik. Gizi, hormon, lingkaran perhatian, dan waktu  adalah bagian terpadu dalam pembelajaran (tauhid )
  5. Bertahap. Tahap-tahapan perkembangan antaranak sangat bervariasi. Anak-anak berkembang melalui tahapan-tahapan sesuai genetik dan lingkungan. Oleh karena itu pola pendidikan anak harus mengacu pada makna tarbiyah yang  berarti  mengembangkan dari tahapan satu ke tahapan berikutnya sampai meraih potensi optimalnya.
  6. Mempertimbangkan Emosi. Emosi menyebabkan adanya perhatian, motivasi, makna, dan memori. Pengalaman-pengalaman emosional membuat pembelajaran menjadi sangat penting. Untuk alasan inilah (sebagaimana yang juga disarankan Al-Qu’ran), kekaguman, keingintahuan, dan penemuan adalah titik awal proses pembelajaran. Sebaliknya, perasaan stress dan ancaman menghalangi pembelajaran normal dan keefektifannya (ayat-ayat Allah)
  7. Pola dan Pencarian Makna. Kita mengetahui makna dari pola atau contoh, sementara  makna berasal dengan memahami pola yang lebih besar. Dalam pencarian makna, otak kita mencari pola, dengan asosiasi dan koneksi antara data baru dengan pengetahuan sebelumnya. Pencarian makna ini sangat halus. Intelegensi dan pemahaman adalah kemampuan untuk membuat koneksi atau hubungan  dan mengkonstruksi pola.  Al Qur’an meminta kita untuk menemukan ‘pola’ yang sering muncul di alam dan sejarah manusia, atau yang dikenal sebagai sunnatullah.
  8. Problem Solving. Tahap ini termasuk tingkat tinggi yang mencakup pengolahan informasi dan gagasan dengan melakukan sintesa, genaralisasi, penjelasan atau explanasi, hipotesis, atau bahkan menyimpulkan  yang pada akhirnya bisa menelurkan makna dan pemahaman baru.  Lebih dari itu, nalar bisa mengambil pelajaran dari lingkungan sekitar sebagai bahan pertimbangan. Manusia telah hidup berabad-abad lamanya dengan melakukan problem solving dan pemikiran flexible (ijtihad)
  9. Pengetahuan Mendalam. ‘pemahaman’ dan ‘kebijaksanaan’ adalah tujuan pengetahuan dan pendidikan yang sebenarnya. ‘Pengetahuan yang mendalam’ termasuk memahami topik sentral secara menyeluruh untuk menyelidiki adanya koneksi dan hubungan , dan menghasilkan pemahaman yang tepat. Dalam surat 62 ayat 2, al Qur’an menginformasikan bahwa tujuan sejati dari pendidikan adalah pemahaman yang mendalam dan kebijaksanaan, bukan informasi (hikmah).
10. Pengayaan. Siswa harus ditantang untuk berfikir keras terhadap apa yang sedang mereka pelajari, untuk berpartisipasi secara aktif di diskusi kelompok, untuk berkarya secara produktif dalam kegiatan pembelajaran secara kooperatif, dan juga untuk membahas isu-isu kontroversial. Aktifitas dan pengalaman tersebut sangat membantu ketercapaian keterampilan yang diperlukan untuk mencetak warga yang kompeten dalam mempresentasikan dan mempertahankan kepercayaan dan prinsipnya secara efektif. Pembelajaran yang menantang, dan otentik akan menstimulasi adanya keingintahuan, kreatifitas, dan pemikiran tingkat tingkat tinggi/ problem solving. 11. Hand-on/Aktif. Setiap siswa harus dibuat “tangan mereka kotor” dalam rangka memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Hal ini bisa dilakukan dengan pengalaman pembelajaran yang aktif. Pembelajaran dan pengajaran yang efektif harus menekankan pada aktifitas yang melibatkan gerak tubuh dan otak sehingga anak didik dapat berinteraksi dengan apa yang sedang mereka pelajari dan menggunakannya di dalam kehidupan sehari-hari secara bermakna. Guru harus benar-benar mempersiapkan pengajaran yang aktif dan bermakna. Karena hal ini juga menjadi anjuran al Qur’an antara penggabungan teori dengan praktiknya (iman dan amal). 12. Realistik dan Relevan. Anak didik harus merasa bahwa isi pelajaran yang mereka sedang pelajari memang pelajaran berharga  karena hal itu berguna dan relevan dengan kehidupan mereka secara langsung. Anak didik harus diperlihatkan tentang manfaat dan potensi yang akn muncul dari penerapan pengetahuan yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hubungan dengan dunia secara riil termasuk bisanya membuat koneksi antara pengetahuan yang mereka peroleh lewat partisipasi antara pelajar dengan komunitas dunia yang ada di luar sekolah (din). 13. Berorientasi Pada Nilai. Dengan menfokuskan pada nilai dan menekankan pada dimensi etika dalam setiap topik, maka pendidikan akan menjadi  roda yang kokoh  untuk pengembangan moral dan karakter. Para pendidik perlu menyadari bahwa setiap aspek pengalaman belajar mengajar membawa nilai pada setisap anak didik  dan memberikan kesempatan mereka untuk belajar nilai dari pengalaman belajar tersebut (akhlak). 14. Berorientasi Sosial (perbincangan substantif, pembelajaran kooperatif). Bahasa merupakan kunci dasar komunikasi manusia. Kebanyakan pembelajaran terjadi dengan adanya perbincangan dan interaksi dengan yang lainnya, khususnya dalam komunitas belajar. Perbincangan substantif meliputi dialog, perbincangan dengan teman dan para ahli tentang topik tertentu  dalam rangka memahami suatu konsep.  Pengalaman kooperatif lewat kelompok, team akan sangat bermanfaat bagi pemahaman kita terhadap sesuatu yang baru sekaligus aplikasinya. Secara esensial, Nabi besar Muhammad SAW menggunakan sifat pikiran sosial, perbincangan substantif, dan pembelajaran kooperatif dalam menformulasikan komunitas belajar  pada awal mula Islam (suhbah, ta’a>wun). 15. Pembelajaran dengan Model (Modelling). Pembelajaran yang riil bukanlah dipaksakan akan tetapi diorkestrakan. Hal ini menekankan akan pentingnya asosiasi, role-modelling/ model peran, dan pengawasan (qudwah).   Tujuan-Tujuan Tarbiyah Seiring dengan beberapa prinsip dan kerangka konseptual dari Konsep Tarbiyah, sejumlah tujuan-tujuan pendidikan telah dicetuskan. Menurut pandangan ini, tujuan-tujuan pendidikan adalah untuk mencetak orang yang total dan baik yang juga:
  1. Sadar Tuhan. Sadar akan Tuhan dan keesaan-Nya dalam setiap melihat penciptaan-Nya (tauh>id).
  2. Memiliki prinsip. Mempunyai prinsip-prinsip moral dan komitmen untuk melakukan perenungan diri, pengarahan diri, tindakan bermoral,  dengan menekankan pada integritas, kejujuran, kasih sayang dan adil (tazkiyah).
  3. Berpengetahuan. Mempunyai pengetahuan yang mendalam terhadap subyek yang dipelajarinya, isu-isu kemanusiaan, dan adanya pengaruh-pengaruh kejadian dan penemuan yang signifikan dalam perkembangan jati diri manusia (hikmah).
  4. Seimbang. Memahami wilayah dan pentingnya  keseimbangan dan kebaikan dalam kehidupan pribadi dan kolektif, dan secara kontinu terus berusaha untuk memelihara karakter tersebut (Tawa>zun).
  5. Kooperatif. Mempunyai pemahaman akan pentingnya komunikasi, kooperasi/ kerjasama, keadilan, dan persaudaraan yang baik dalam memelihara kerukunan antar individu maupun maupun sosial (Ihsa>n).
  6. Memiliki Komitmen. Memiliki komitmen untuk selalu konsisten dengan prinsip dan praktek-praktek Islami, khususnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk sosial (Istiqa>mah).
  7. Berorientasi Kepada Kemaslahatan. Mempunyai sifat perhatian, asuh, melayani,  dan aktifitas sosial, dan juga komitmen untuk menciptakan kemaslahatan di dunia. (ama>nah, maslahah).
  Konten Pendidikan Karakter Wilayah kedua yang perlu direformasi adalah isi kurikulum, atau ‘apa yang diajarkan’. Secara umum, tujuan pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan. Namun demikian, tujuan sejati dari pendidikan itu sendiri adalah lebih dari sekadar memberi informasi, melainkan untuk pengembangan manusia seutuhnya. Di dunia Barat sendiri saat ini juga disadari betapa pentingnya pendidikan karakter, misalnya di Amerika, para pendidik, politisi  dan orang tua sekarang mulai sadar bahwa pendidikan karakter sangat urgen dan dibutuhkan sebagai komponen kunci dalam kurikulum sekolah, karena tanpa itu masyarakat tidak mempunyai jaminan untuk merasakan keamanan dan kedamaian seiring dengan banyaknya kemajuan teknologi yang ciptakan dan dimiliki. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat Muslim di abad ke 21 ini. Pertanyaan seruapa yang selalu muncul adalah apa peran  pendidikan bagi peradaban bangsa? Apakah tujuan pendidikan hanya sekadar transformasi? Para perancang pendidikan harus bisa menjawab pertanyaan fundamental tersebut. Melihat pengalaman kita selama bertahun-tahun yang lalu,  bahwa pendidikan tanpa karakter akan mencetak orang-orang yang melakukan eksploitasi, baik pada pada manusia maupun lingkungannya (ekologis). Empat belas abad yang lalu, Nabi besar Muhaammad saw. mengingatkan kita akan hal ini: “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah. Jika ia baik, maka baik pula tubuh itu, tetapi jika ia rusak, maka rusak pulalah tubuh itu, segumpal darah itu adalah hati.  Oleh karena itu, krisis yang dialami masyarakat Muslim saat ini  adalah hasil dari gagalnya mendidik hati/nurani sehingga implikasi pendidikan yang ada kurang berhasil secara optimal. Adapun Konsep Tarbiyah adalah berlandaskan kepercayaan bahwa pengembangan dan transformasi manusia, khususnya pengembangan karakter adalah tujuan sentral pendidikan. Oleh karena itu konsep tarbiyah harus mengembangkan program pendidikan yang yang menfokuskan pada karakter dan pengajaran nilai, yang menekannkan pada isu identitas dan jati diri manusia, disamping juga mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam berkomukasi dan hubungan interpersonal, pelatihan pelayanan masyarakat dan kepemimpinan, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, kurikulum Tarbiyah disusun dan distrukturkan untuk memenuhi keseluruhan tujuan-tujuan tersebut di atas. Wilayah Isi Untuk mewujudkan tujuan besar tersebut, konten atau isi kurikulum Tarbiyah diorganisir kedalam tujuh area atau cakupan pengembangan.  Karena hal ini berdasarkan prinsip tauhid (integrasi), maka konten tersebut tidak diorganisir menurut kategori tradisional dari disiplin-disiplin mata pelajaran (misalnya Matematika, Bahasa Inggris, Sejarah, atau bahkan Studi Islam dan lain-lain). Melainkan kurikulum Tarbiyah itu adalah sifatnya interdisipliner  atau bisa disebut transdisiplinir dalam desain dan pendekatan.  Dalam hal ini ketujuh cakupan tersebut sangat bertkait satu sama lain, dan setiap bagian saling dilengkapi oleh bagian yang lain.  Pendekatan ini melahirkan dasar-dasar yang kokoh untuk eksplorasi interdisipliner ilmu dan pembelajaran terpadu. Menurut hemat penulis, inilah yang menjadi sifat dari kurikulum Islam terbadu sebenranya (dan mungkin bisa diartikulasikan dengan Islamisasi pengetahuan). Pendekatan tersebut mengikat kurikulum secara bersamaan menjadi kerangka tunggal dan menjadikannya lebih koheren. Yang tak kalah pentingnya lagi, pendekatan ini juga menyajikan konsruksi mental  dan pemetaan dalam mengembangkan pemahaman anak didik baik akan dunia maupun dirinya.  Hal ini bukanlah hal yang signifikan. Melalui kerangka terpadu ini, kita secara ipso facto bisa menambahkan konsep-konsep Islam yang esensial dalam rangka pembentukan anak didik yang berkarakter dan Islami. Di bawah ini adalah gambaran jelas tentang ketujuh wilayah acuan isi kurikulum Tarbiyah. 1. Kedalaman Spiritual (Tauhid)             Tauhid adalah titik awal dan fondasi kurikulum Tarbiyah. Hal ini menfokuskan pada aspek-asoek spiritual  terhadap pengembangan anak-didik. Dari sejarah kita juga tahu bahwa spiritualitas bisa menjadi elemen penting dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dengan adanya spiritualitas tersebut, negara dan orang-orang besar dunia lahir dan karena spiritualitas  pulalah para individu maupun sosial mengalami keruntuhan. Adapun tujuan komponen kurikulum ini adalah kesadaran akan Tuhan (God-consciousness), atau menjadi manusia yang secara terus menerus sadar akan Tuhan  dalam setiap pikiran, perasaan dan tindakan mereka. Tujuan di sini adalah untuk memelihara pemahaman anak didik akan Tuhan, ke-Esaannya dan kekuasaanya dalam setiap diri manusia, dan juga tujuannya adalah untuk mengembangkan komitmen personal terhadap Tuhan dan kedisiplinan dalam kehidupan spiritualnya. Ke-taajub-an dan keingin tahuan adalah langkah awal perjalanan ini ke arah penemuan atau pencarian spiritual.  Ilmu atau ‘tanda-tanda Tuhan’  di muka bumi ini adalah alat penting dalam melakukan eksplorasi ini. Tauhid  adalah prinsip dasarnya. Kepercayaan dan kealiman adalah elemen dasar dari pengembangan kepribadian anak didik. Dalam hal ini juga, elemen-elemen tersebut memberikan anakdidik kita berupa gizi spiritual (atau makanan jiwa) yang secara otomatis akan dibutuhkan manakala mereka memulai perjalanan pribadi mereka kearaah pengembangan manusia seutuhnya. 2. Keluhuran Moral (al-akhla>q al-kar>imah) Al-akhla>q al-kari>mah adalah merupakan komponen kedua  dari kurikulum Tarbiyah  dan menfokuskan pada pengembangan aspek moral dari anak didik. Nabi Besar Muhammad saw. menegaskan bahwa biar keimanan menjadi berarti maka hal itu harus diterapkan dalam bentuk tindakan. Akhirnya, inilah bagaimana cara kita untuk memperlakukan orang lain (mu'a>mala>t) berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang benar menurut agama (di>n). Adapun tujuan komponen kurikulum ini adalah karakter yang mulia. Al Quran menegaskan pula bahwa setelah kesadaran akan Tuhan sudah mantap, maka yang perlu dikembangkan adalah  karakter dalam rangkan pengembangan manusia seutuhnya. Fokus bagian kurikulum ini  adalah mengembangkan pemehaman yang solid tentang apa karekter yang baik itu dan membantu anak didik untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka  dengan cara mengadopsi gaya moral agama. Hal ini termasuk wilayah pengetahuan moral  dan logika nurani, dan tindakan atau karakter bermoral.  Komponen-komponen ini membahas isu-isu klarifikasi nilai, penetapan tujuan dan pembuatana keputusan (decision making),  dan juga mencakup konsep-konsep  seperti tradisi moral, etika, nurani, pengawasan diri, empati, kebebasan berkehendak,  dan isu-isu penting lainnya. 3. Kematangan Intelektual (al-hikmah)             Hikmah adalah komponen ketiga dari kurikulum Tarbiyah.  Ini menfokuskan pada pengembangan aspek-aspek inteltual anak didik. Dalam pandangan Islam, pengetahuan sangat lah erat hubungannya dengan karakter, dan secara ideal keduanya adalah inklusif satu-sama lain. Dengan kata lain, pengetahuan membantu kita memahami persyaratan dan keuntungan apa saja  memilki karakter yang mulia, sedangkan karakter yang mulia akan memudahkan kita memperoleh pemberian pengetahuan suci (‘ilm) dan kebijaksanaan (hikmah). Pengetahuan yang bermanfaat adalah tujuan komponen pengethuan ini. Pengetahuan yang berguna adalah semua pengetahuan yang menggiring kita lebih dekat dengan Tuhan, dan bisa digunakan dalam tindakan positif  untuk kepentingan manusia dan alam dunia. Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Komponen ini menfokuskan akan pengembangan anak didik kita akan kecintaan belajar  dan melatih mereka tentang bagaimana belajar yang tepat  dan kebiasaan kerja otak lainnya. Pengetahuan isi terpadu dari berbagai disiplin pengetahuan  seperti Matematika, Bahasa Inggris,  dll.,  dan latihan dalam berfikir kritis dan problem solving adalah elemen penting lainnya dari segmen kurikulum ini. Lebih dari itu, elemen-elemen tersebut memberikan anak didik dasar pengetahun dana keterampilan-ketarampilan intelektual/ berfikir  yang sangat dibutuhkan untuk sukses secara akademis dan dalam rangka menghadapi berbagai tantanagan-tantangan yang akan mereka hadapi di masa-masa mendatang. 4. Hidup Sehat  (aljism al-Sali>>m) Aljism al-Sali>>m adalah komponen keempat dari kurikulum Tarbiyah yang  menfokuskan pada pengembangan aspek-aspek fisik dari anak-anak didik. Bagaimanapun juga, dalam kerangka Tarbiyah, ini bukanlah bagian pendukung kurikulum, melainkan bersifat esensial dan terpadu  dari kurikulum, karena seluruh aspek pengembangan manusia sangat terkait dengan kesehatan. Pengembangan  spiritual, moral dan intelektual tidak lepas dari tubuh atau badan yang sehat. Hal ini merefleksikan adanya keterpaduan dalam sifat pengembangan manusia. Adapun tujuan komponen ini adalah hidup sehat.  Hal ini menekankan bahwa kesehatan adalah bagian penting dari upaya pengembangan manusia seutuhnya  dan  bahwa tubuh kita adalah sistem yang dirancang secara sempurna  dan merupakan salah satu mukjizat tuhan kepada makhluknya. Lebih dari itu, hal ini juga menekankan adanya tanggung jawab bagi kita sebagai individu untuk menjaga kesehatan tubuh kita sebagai kepercayaan yang diberikan Tuhan (ama>nah). Kecakapan, kesehatan dan keseimbangan (tawa>zun) adalah kunci utama dari komponen utama kurikulum ini. Selain itu, hal ini juga mengekslorasi siswa akan adanya pandangan-pandangan Islam terhadap topik-topik ini seperti halnya kebersihan pribadi, kelebihan makan, makanan kotor, merokok, obat-obat terlarang, konsumerisme,  dan topik-topik penting lainnya. Akhirnya, rekreasi, kreatifitas, peremajaan lagi, kesenangan adalah elemen-elemen pentinglainnya akan adanya gaya hidup yang seimbang  dan dalam rangka tercapainya pengembangan manusia seutuhnya. 5. Hubungan Sosial (Ihsa>n) Ihsa>n  adalah komponen kelima dari kurikulum Tarbiyah, yang menfokuskan pada pengembangan aspek-aspek emosi dan interpersonal anak didik. Hubungan manusia  adalah merupakan fokus semua agama dan filsafat.  Setiap penganut agama mempunyai prinsip ‘perlakukan yang lain dengan baik seperti keinginanmu diperlakukan oleh orang lain juga dengan baik’. Hal ini adalah kunci inti dari hubungan manusia.  Ini merupakan prinsip  yang mengajarkan kita untuk berprilaku standar dan paling baik ketika berhubungan dengan manusia lainnya. Adapun tujuan komponen ini adalah ‘hubungan manusia’ yang baik. Bagaimanapun juga, hubungan manusia ayang baik tidak secara langsung terjadi.  Namun hubungan yang baik itu adalah hasil dari kesadaran spiritual, moral dan nurani, pengethuan akan hubungan yang baik antar sesama. Bagian kurikulum ini menyoroti perkembangan keterampilan –keterampilan komunikasi  dan kemampuan untuk hidup dan bekerja secara kooperatif sebagai bagian dari sebuah kelompok.  Juga, hal ini menfokuskan akan berbagai isu-isu identitas, rasa kepemilikan terhadap keluarga, komunitas, dan masyarakat umum. 6. Kepekaan Sosial (Amal Saleh) Kepekaan sosial adalah komponen keenam dari kurikulum Tarbiyah, yang menfokuskan pada gaya hidup dan budaya sebagai bagian perkembangan manusia. Bagaimana kita hidup, apa gaya hidup kita adalah refleksi yang jelas makan siapa kita sebenarnya, dan apa yang sebenarnya kita yakini, baik dalam hubungannya secara pribadi maupun sosial. Usaha untuk menyatukan kehidupan kita dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang kita anut adalah tujuan penting pendidikan. Adapun tujuan dari bagian kurikulum ini adalah iman dalam tindakan (faith in action). Tujuannya adalah untuk menuntun dan membantu anak didik menterjemahkan nilai-nilai mereka ke dalam jalan hidup (way of life) sehari-hari. Hal ini juga membantu anak didik memahami isu-isu kemanusia yang sering terjadi  dan bagaimana generasi sebelumnya menyelesaikan masalah tersebut. Ini juga memberikan anak didik pemahaman bahwa Islam itu sendiri adalah jalan hidup yang komprehensif dan memiliki peran atau kontribusi yang sangat besar dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan hidup yang dihadapi manusia hari-hari ini maupun masa yang akan datang. Komponen kurikulum ini meliputi budaya, tradisi, gaya hidup, integritas, perubahan, masa lampau, dan juga masa depan. 7. Pelayanan Publik (ama>nah)             Ama>nah adalah komponen kurikulum yang ketujuh sekaligus terakhir dari Konsep Tarbiyah. Hal ini menfokuskan pada pengembangan aspek-aspek sosial anak didik, merepresentasikan puncak pembelajaran anak didik di seluruh wilayaha pendidikan karakter, hal ini merupakan aplikasi nilai-nilai yang pernah diajarkan.  Karena anak dan orang dewasa berkembang secara spiritual sekaligus moral, mereka percaya bahwa melayani publik atau masyarakat lainnya adalah sama saja dengan melayani Tuhan. Merancang Kurikulum Tarbiyah Dengan perkembangan pengetahuan dan informasi yang amat pesat saat ini, maka pendidikan dihadapkan pada tantangan dahsyat tentang apa yang harus diajarkan dan bagaimana mengorganisirnya. “Apa yang sangat bernilai untuk diajarkan” dan “Bagaimana cara terbaik untuk menyusunnya” adalah menjadi perhatian inti para perencana pendidikan hari ini. Di dunia Muslim saat ini, tuntutan akan pendidikan modern dan sekuler  dan praktik pembelajaran tradisional pada satu sisi telah menimbulkan tekanan yang kuat baik positif maupun negatif terhadap isi dan struktur kurikulum. Adanya tuntutan tersebut membutuhkan prinsip yang bisa mengcover dan pada akhirnya bisa membentuk kurikulum yang utuh dan koheren. Aspek lain yang menjadi fokus reformasi pendidikan yang berhubungan dengan struktur adalah pertanyaan: “Bagaimana seharusnya  kurikulum disusun?” Tujuan inti dari pendidikan adalah memberikan anak didik sebuah kerangka konseptual dalam rangka memahami dunia dimana mereka hidup dan peran yang bisa mereka lakukan di dalamnya. Hal ini lebih dari sekadar topik-topik yang bermacam-macam atau hanya menghafal informasi sekilas. Sedangkan kurikulum harus disusun untuk memberikan makna dan koherensi  terhadap pandangan akan jati diri anak didik, dunia, dan peran mereka di dunia tersebut.  Hal ini berarti pembelajaran harus menggiring anak didik menemukan koneksi atau hubungan dan makna yang lebih luas  yang selalu muncul dalam pembelajaran mereka.  Ini merupakan sifat desain inti. Oleh karena itu, kurikulum Tarbiyah harus disusun sesuai dengan perkembangan alami anak didik daripada sekadar disiplin-disiplin akademik dan norma-norma ansich . Sehubungan dengan itu, maka kurikulum Tarbiyah juga harus disusun berdasarkan kerangka pedoman besar. Kerangka tersebut merepresentasikan pertanyaan-pertanyaan besar  dan komponen-komponen esensial dalam membentuk kepribadian yang kokoh dan seimbang yang merepresentasikan konsep pendidikan inti dan kritis yang selayaknya memang dikembangkan dalam sebuah kurikulum. Lebih lanjut perhatikan struktur kurikulum Tarbiyah sebagaimana berikut : Struktur Kurikulum Tarbiyah 1. Kedalaman Spiritual (Tauhid)
  • Kekaguman dan Kehebatan (menemukan kehebatan Tuhan)
  • Keseluruhan dan pandangan dunia (Tuhan, dunia, dan saya)
  • Keimanan dan kesalehan (membangun keimanan)
2. Keluhuran Moral (al-akhlaq al-karimah)
  • Nilai-nilai dan identitas (mengetahui jati diri)
  • Nurani dan keyakinan/pendirian (hati emas)
  • Karakter dan tindakan (tindakan lebih berarti dari sekadar bicara)
3. Kematangan Intelektual (al-hikmah)
  • Pembelajaran dan literasi (belajar untuk belajar/learning to learn)
  • Pengetahuan yang bermanfaat (cinta belajar)
  • Problem solving (menemukan solusi)
4. Kesehatan Fisik (aljism al-Sali>m)
  • Sehat dan kesehatan (tempat yang bersih/suci)
  • Olah raga (membentuk dan merawat tubuh)
  • Rekreasi dan refreshing (peremajaan diri)
5. Hubungan Sosial (Ihsa>n)
  • Komunikasi dan pemahaman (memahami dan dipahami)
  • Hubungan dan kerjasama (berhubungan dengan yang lain)
  • Komunitas dan perasaan memiliki (perasaan memiliki)
6. Kepekaan Sosial (Amal Saleh)
  • Budaya dan kepercayaan diri (mengambil hikmah positif dari masa lampau)
  • Gayahidup dan kehidupan modern (Islam sebagai jalan hidup)
  • Perubahan dan tantangan  (menghadapi tantangan, menghadapi masa depan)
7. Pelayanan Publik (ama>nah)
  • Keadilan dan perdamaian (memelihara ciptaan Allah)
  • Pelayanan dan pengasuhan (melakukan yang terbaik)
  • Keteladanan (memimpin dengan teladan)
 

Pendekatan Pembelajaran

(Discovery Learning)

Wilayah keempat yang perlu dilakukan reformasi pendidikan adalah wilayah metodologi atau pendekatan. Pendidikan sejati (yang lebih cenderung mengarahkan anak didik daripada menuangkan informasi) haruslah berdasarkan pendekatan pembelajaran yang menggunakan tanda-tanda Tuhan di dunia ini supaya menumbuhkan adanya proses eksplorasi  dan penemuan atau discovery dan juga pendekatan yang mengakui adanya kompleksitas dalam pembentukan anak didik yang juga berbeda-beda sebagai bagian ciptaan-Nya. Secara esensial, melalui proses pembelajaran pencarian atau penemuan inilah, Nabi Ibrahim diberi petunjuk ke arah pencerahan spiritual. Dengan pembelajaran penemuan ini pulalah para Muslim di awal masa belajar, yang dibuat kagum oleh al-Qur’an untuk mengeksplorasi dunia dan mengembangkan metode inquiry/ penyelidikan  yang metode ini kemudian menjadi landasan utama ilmu pengetahuan modern, yang terkenal dengan metode induktif. Dalam surat al-Jumu'ah dan surat-surat lainnya, al Qur’an menegaskan kunci paradigma pengajaran dan pembelajaran Islam yang terdiri dari empat tahap inti. Pertama adalah tahap kekaguman dan penemuan yang membangkitkan rasa hormat (ayat). Kedua adalah tahapan purifikasi diri dan persiapan (takziyah). Ketiga adalah tahap perolehan pengetahuan (ilm).  Keempat adalah tahap kebijaksanaan (hikmah), yang merupakan aplikasi yang pantas dari pengetahuan tersebut. Konsep Tarbiyah ini menggunakan paradigma al-Qur’an sebagai model pengajaran dan pembelajaran.

Isu Kunci

Sebelum membahasa model instruksional konsep Tarbiyah, sangat penting untuk membahas satu isu kunci. Pendidikan telah lama dihadapkan pada sebuah dilema antara isi/ konten dan proses, atau antara informasi dan transformasi. Di masa lampau, pendidikan lebih menekankan apad infomasi. Hal ini bisa dipahami ketika bodi informasi tersebut sangat sedikit  dan cenderung stabil dan secara umum masyarakat masih bisa menjamin pendidikan moral anak muda masa itu. Tapi sekarang situasinya telah berubah secara drastis.  Informasi berkembang danb berubah dengan cepat, dan masyarakat secara umum bahkan keluarga sudah tidak mampu untuk menjamin pendidikan yang pantas untuk anak mereka.  Lebih dari itu, anak muda saat ini telah mengembangkan ‘subkultur masa muda’ mereka sendiri  yang secara esensial menolak kebanyakan dari praktek normatif dari masyarakat dewasa.  Yang paling buruk, subkultur tersebut telah secara efektif memaksakan dari menjadi budaya anak muda yang juga memaksakan masyarakat luas untuk menerimanya sepertihalnya makanan, baju, musik, gaya hidup, dan sebagainya. Sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan fundamental dalam masyarakat modern ini, para pendidik mulai sadar bahwa mengajarkan ‘keterampilan-ketarampilan proses’ itu ternyata lebih penting dan esensial darpada hanya memberikan ledakan informasi semata. Oleh karena itu, tren pendidikan saat ini menyarankan adanya perubahan fundamental dari pembelajaran konten atau nisi per se ke arah pembelajaran proses dan tarnsformasional (kadang-kadang disebut pendidikan baru/ new education). Memang, pendidikan selalu dimaksudkan ke arah sebuah proses daripada isi. Sebagaimana yang dikemukakan diawal bahwa mkata pendidikan sendiri lebih memiliki makna proses darpada isi. Bahwa al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW dan budaya Islam secara umum selalu menandang pendidikan sebagai proses transformasi daripada sekadar inforamsi (teori). Umat Islam harus menyadari bahwa pendidikan adalah merupakan sebuah proses dan transformasi daripada sekadar isi dan infomasi. Sangat menarik untuk dicatat di sini bahwa adanya dikotomi antara informasi dan transformasi juga tercerminkan dalam beberapa nama yang dilabelkan pada beberapa departemen dan menteri pendidikan, baik di negara yang berbahasa inggris maupun negara yang berbahasa Arab. Misalnya di negara Arab bahwa menteri pendidikan lebih mengacu pada adanya kombinasi dua kata; ta’lim dan tarbiyah (atau sebaliknya). Hal ini menandakan bahwa pendidikan  adalah sebuah kombinasi anatara informasi dan transformasi. Bagaimanapun juga, realisasi ini jarang terefleksikan dalam proses pembelajaran di kelas; dimana pengajaran di kelas cenderung untuk bergaya pembelajaran informatif. Adapun Konsep Tarbiyah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dengan sebuah desain ini, diharapkan dikotomi akan terpecahkan dalam kerangka Tarbiyah.  Dengan menerapkan prinsip Tauhid, kita mampu memecahkan dikotomi antara proses dan konten dengan cara menyatukan dua elemen ini bersamaan  dan memadukan mereka ke arah kerangka yang utuh dan tunggal. Kerangka ini terkenal dengan sebutan Model Pembelajaran Terpadu /Integrated Learning Model (ILM).

Integrated Learning Model (ILM)

Konsep Tarbiyah didasarkan pada pendekatan pendidikan yang mengacu pada kehidupan riil, terpadu dan total. Sebagai bagian dari sistem pengantarnya, konsep ini telah mengembangkan sebuah format untuk pengajaran atau instruction yang bisa membantu memastikan bahwa prinsip-prinsip inti Tarbiyah dimasukkan dalam desain dan proses pengajaran. Struktur ini dekenal dengan Integrated Learning Model (ILM) yakni Model Pembelajaran Terpadu  (Integrated Learning Model) dan Islam untuk Penguasaan Hidup (Islam for Life Mastery). Adapun konsep ILM adalah menggandakan kekuatan pengetahuan dan membawa pengetahuan itu ke tingkatan selanjutnya dengan cara menggunakannya untuk penguasaan hidup (life mastery).  Dengan kata lain konsep ILM membawa pengetahuan dari teori ke praktik, dan dari informasi ke transformasi. Adapun konsep dasar pandangan Islam akan hal ini adalah konsep tauhid (integrasi), iman (keyakinan), dan amal (tindakan). Adapun dasar pedagogis dari gagasan ini berasal dari prinsip bahwa pengetahuan, pemahaman, dan pembelajaran akab berlangsung lebih kokoh ketika semua itu dipadukan dan diimplementasikan dalam kontek kehidupan riil. Ini merupakan paradigma yang simpel tetapi sangat kuat untuk pengajaran dan pembelajaran yang otentik dan bermakna  dalam dunia pendidikan.
Struktur
Model instruksional ILM terdiri dari serangkaian komponen instruksional yang telah ditentukan, yang bisa dipastikan bahwa komponen tersebut telah dimasukkan dalam desain dan penyajian pengajaran. Adapun komponen-komponen dalam model ILMadalah sebagaimana berikut ini: Komponen “I” : Integrated Islam (Islam Terpadu)           Komponen pertama dari model ini membahas isu-isu isi dan struktur (misalnya kurikulum). Komponen ini membahas pertanyaan-pertanyaan: isi apa yang sangat bernilai untuk dipelajari dan bagaimana cara terbaik untuk menyusunnya serta untuk menghasilkan pemahaman optimal bagi anak didik? Komponen "I" meliputi elemen-elemen di bawah ini:
  • Islamic content/ Isi keIslaman. Hal ini meliputi seluruh pengetahuan yang berguna, karena semua pengetahuan adalah berhubungan dengan Islam. Termasuk konsep inti, pemahaman, dan keterampilan dari wilayah isi tersebut yang dipandang dari perspektif Islam. Elemen ini membahas aspek Islam maupun akademis dari pengalaman pembelajaran tersebut. (Islam dan ilm).
  • Integrated Structure/ Susunan terpadu. Pendekatan terpadu, holistik, dan terpusat pada Tuhan. Konten ini disusun dengan cara yang bisa melahirkan pendekatan yang utuh, koheren terhadap proses pembelajaran. Elemen ini berhubungan dengan aspek integratif dan aspek intelektual tertentu dari pengalaman pembelajaran. (Tauhid).
Komponen “L”: Learning for Life ( Belajar untuk Hidup)
            Komponen kedua dari model ini berhubungan dengan isu-isu proses pembelajaran (pengajaran) dan lingkungan pembelajaran yang afektif. Hal ini membahas pertanyaan tentang: bagaimana cara terbaik mempelajari isi dan jenis lingkungan pembelajaran (konteks),  manakah yang sangat kondusif untuk ini?
Adapun komponen "L" meliputi elemen-elemen di bawah ini:
  • Learning by discovery/ belajar dengan cara penemuan. Adapun proses instruksional ILM berdasarkan pada konsep ‘kekaguman dan keingintahuan akan ciptaan Tuhan’. Komponen ini berhubungan dengan aspek-aspek proses atau metodologi pembelajaran, dan juga dengan aspek-aspek spiritual dari pengalaman belajar (ayat).
  • Life/ Kehidupan (Socio-emotional setting). Konsep ini terkait dengan perhatian, sikap, dan karakter yang merupakan komponen integral dari model pembelajaran Tarbiyah. Bagaimana dan mengapa kita melakukan pembelajaran seringkali lebih penting dari sekedar isi itu sendiri. Komponen ini membahas aspek-aspek moral pengalaman pembelajaran (tazkiyah).
  • Cooperative Learning/ pembelajaran kooperatif. Aspek ini membahas masalah yang terkait dengan aspek afektif dan interpersonal dari pengelaman pembelajaran. (ta’awun).
  • Real Life Connection/ Hubungan dengan Kehidupan Nyata. Aspek ini terkait dengan pengajaran yang bermakna, relevan, dan berhungan dengan dunia riil, dengan menggunakan pendekatan dan kurikulum berdasarkan pada pengalaman dan kehidupan riil daripada pendekatan textbook. Hal ini termasuk meletakkan pembelajaran pada konteks kehidupan sehari-hari anak didik, termasuk konteks sosial maupun budaya. Elemen ini membahas aspek-aspek sosial dan budaya dari pengalaman pembelajaran (din).
Komponen “M”: Aplikasi dan penilaian Komponen ketiga dari model ini membahas isu-isu aplikasi dan penilaian.  Elemen ini membahas pertanyaan: Bagaimana pembelajaran ini (pengetahuan, keterampilan, sikap, dll) bisa digunakan dalam kehidupan riil dan bagaimana anak didik mampu mendemonstrasikan penguasaan outcome pembelajaran yang otentik?  Komponen "M" meliputi hal-hal di bawah ini:
  • Mastery by Doing/ Penguasaan dengan tindakan. Aspek ini menyangkut pembelajaran praktik langsung, berdasarkan konsep, dan terpusat pada anak didik. Hal ini juga terkait dengan aspek-aspek fisik tertentu dari pengalaman pembelajaran  (taqwim).
  • Mastery by Living/ Penguasaan terhadap  Kehidupan. Hal ini meliputi keterampilan inti, perilaku dan praktik-praktik yang bisa langsung digabungkan dalam kehidupan sehari-hari anak didik. Hal ini membahas aspek-aspek gaya hidup dan budaya dari pengalaman pembelajaran (din, mua’malah).
  • Mastery by Serving/ Penguasaan dengan pelayanan. Belajar melayani masyarakat. Hal ini membahas aspek-aspek sosial dari pengalaman pembelajaran (amanah).
  • Measurable and Authentic Assessment/ Penilaian otentik dan dapat diukur. Aspek ini terkait dengan karya otentik yang berhubungan dengan kehidupan riil. Hal ini membahas evaluasi dan penilaian yang otentik, adil, dan bermakna dari pengalaman pembelajaran (taqyim).
Proses             Di samping komponen-komponen ILM di atas, model pembelajaran terpadu adalah proses pengajaran/instruksional pertama dan utama.  Model ini terdiri dari tujuh fase  yang memparalelkan dengan tujuh wilayah isi kurikulum. Oleh karena itu sangat penting untuk dicatat bahwa model ini telah didesain  sebagai struktur untuk pembelajaran isi maupun proses dalam kerangka Tarbiyah, yang secara efektif bisa menghilangkan adanya dikotomi proses-isi yang telah disebut di muka. Melalui struktur ini, level integrasi dapat dicapai manakala pembelajaran  isi dan proses itu digabungkan bersamaan  dan diperkuat satu sama lain. Adapun model pembelajaran terpadu terdiri dari tujuh fase sebagaimana berikut ini:
  1. 1.      Curiosity / kekaguman dan keingintahuan (spiritual)
  2. 2.      Caracter / karakter dan kepribadian (moral)
  3. 3.      Contemplating / kontemplasi; eksplorasi dan refleksi (intelektual)
  4. 4.      Connecting / penghubungan; berfikir dan menemukan (fisik)
  5. 5.      Collaborating / kolaborasi; komunikasi dan berbagi (interpersonal)
  6. 6.      Cultivating / pengembangan; aplikasi secara personal (kultural)
  7. 7.      Caring/ kepedulian; mengaplikasikan secara sosial, berpartisipasi (penerapan)
  Fase 1: Keingintahuan (aspek spiritual)             Dalam pandangan Islam, pengetahuan dan pembelajaran selalu dimulai dan tak dapat dipungkiri selalu berhubungan dengan sang Pencipta.  Menurut al Quran surat 26 ayat 2 disebutkan bahwa titik awal pembelajaran adalah pengalaman akan ketakjuban dan keingintahuan akan tanda-tanda Tuhan di setiap ciptaannya (ayat) Oleh karena itu, fase pertama proses pembelajaran adalah menuntun anak didik untuk mengalami perasaan kagum atau takjub dengan setiap ciptaan Tuhan. Tanda-tanda tersebut bisa ditemukan di alam semesta, sejarah dan kitab suci dan dimaksudkan untuk mengaktikan proses pembelajaran. Adapun pengalaman akan kekaguman dan keingintahuan  secara natural dan otomatis akan membangkitkan kesadaran akan adanya Tuhan, keingintahuan, dan ketertarikan dalam pembelajaran bagi anak didik. Kemudian, anak didik diminta untuk mengembangkan pertanyaan dari tanda-tanda tersebut yang nantinya akan menuntun gaya pembelajaran sistem penemuan/pencaharian mereka. Akhirnya, dalam fase persiapan ini, keuntungan dari aktifitas pembelajaran harus dihubungkan dengan pengetahuan awal anak didik dalam konteks kehidupan mereka secara keseluruhan (tauhid). Dalam perspektif Islam, fase ini secara esensial adalah fase spiritual yang terjadi secara alami. Fase 2: Karakter (aspek moral) Menurut al-Quran, fase kedua dalam proses pembelajaran  terdiri dari ‘persiapan karakter’ (tazkiyah). Ketika Islam memandang pemerolehan pengetahuan sebagai sesuatu yang suci, maka seseorang harus mempersiapkan (bahkan memperbaiki) dirinya sebelum menerima pengetahuan tersebut. Kerendahan hati dihadapan Tuhan dan kemurnian niat adalah langkah awal semua tindakan, termasuk pembelajaran. Oleh karena itu, fase kedua ini membantu anak didik mempersiapkan dirinya untuk belajar dengan cara: (1) memperlihatkan kerendahan hati atas semua tanda-tanda Allah (humility); (2) mengakui adanya usaha-usaha dan pengetahuan  yang diperoleh generasi sebelumnya (respect); (3) memahami tujuan riil pembelajaran (purpose); (4) mengklarifikasi dan memantapkan niat (sincerity of intention); dan (5) menyadari bahwa mencari ilmu adalah kegiatan suci yang melibatkan tanggungjawab moral  (amanah). Fase ini secara esensial adalah fase moral. Fase 3: Kontemplasi (aspek intelektual) Fase proses pembelajaran ketiga ini meliputi penuntunan anak didik melalui empat langkah pembelajaran penemuan/pencaharian, yakni (1) merencanakan strategi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah dibuat (plan), (2) menyelidiki dengan aktifitas tindakan langsung dan memanfaatkan berbagai sumber utnuk mengumpulkan informasi dan mencatat penemuan mereka (explore), (3) merenungi hasil penemuan mereka (reflect), dan (4) meringkas pemahaman baru yang telah mereka temukan (discovery). Fase ini secara esensial adalah fase intelektual. Fase 4: Koneksi (aspek fisik) Fase keempat dari proses pembelajaran ini adalah dengan menuntun anak didik memantapkan pemahaman konsep mereka  dengan cara menguji konsep itu dengan sesuatu yang baru (expansi) dan pada konteks yang baru pula (extensi).  Hal ini dilakukan dengan mencari koneksi dan melihat hubungan-hubungan dengan area, konteks, dan situasi dunia riil lainnya. Fase 5: Kolaborasi (aspek interpersonal) Adapun fase kelima dari proses pembelajaran adalah membantu anak didik menggunakan strategi-strategi pembelajaran kooperatif (kolaborasi) dalam proses pembelajran, dan juga membantu mereka untuk berbagi/mendiskusikan tentang apa yang telah mereka pelajari dengan orang lain dan dengan cara yang berbeda pula (sharing), termasuk didalamnya komunikasi oral maupun tulis dan presentasi multi media (communication). Fase 6: Kultivasi (aspek kultural) Fase keenam ini adalah dengan menuntun anak didik untuk bereksplorasi/melakukan penyelidikan akan pentingnya apa yang telah mereka pelajari bagi diri mereka sendiri  dan untuk mengidentifikasi cara-cara mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sendiri  dan mengintegrasikan dengan gaya hidup mereka sendiri (transformasi). Fase ini juga meliputi pengidentifikasian cara-cara penialain otentik terhadap aplikasi pembelajaran anak diri secara pribadi (assessment). Menurut ukuran umur dan kemampuan mereka, anak didik haruslah menjadi bagian integral dari pengerjaan penialain itu sendiri. Fase 7: Kepedulian (aspek sosial) Fase ketujuh dan terakhir dari peroses pembelajaran ini adalah menuntun anak didik untuk mengidentifikasi cara-cara penerapan dari apa yang telah mereka pelajari  untuk kebaikan sesama melalui pelayanan (service). Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk konsep pembelajaraan-pelayanan sebagai bentuk penilaian unit pembelajaran yang otentik.    

Walla>hu A’lam bi al-Shawa>b

Malang, 15 Februari 2010

                 


[1] Lihat surat At-Tin
[2] (1973:21),
[3] (Lihat Q.S At-Tin 5-6 dan Al-A’raf: 179).
[4] (A. Mu’in, 1994:81).

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up