MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 97875 views
Istilah Masyarakat Madani tiba-tiba menjadi populer dalam masyarakat kita. Tidak tahu dari mana asal-usulnya, siapa yang pertama kali melansir istilah tersebut sulit untuk dilacak. Tapi Komaruddin Hidayat menganggap istilah itu dipopulerkan oleh Nurcholish Majid dengan Paramadina-nya. Sementara ada yang mengatakan, istilah tersebut diperkanalkan oleh Anwar Ibrahim tokoh reformis dari Malaysia. Gerakan Emil Salim dan kawan-kawan pada awal-awal reformasi untuk bersama-sama mengecam rezim Orde Baru juga menamakan diri dengan Gerakan Madani. Apakah Masyarakat Madani diterjemahkan dari Civil Society? Inipun masih debatable. Yang jelas dapat dipastikan, bahwa istilah tersebut adalah khas Indonesia. Tidak diketemukan dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun ensiklopedianya. Dalam literatur Arab istilah al-Mujtama’ al-Madany juga tidak dijumpai, yang lazim digunakan adalah al-Mujtama’ al-Islamy, masyarakat Islam. Kata Madany yang diderivasi dari kata Madinah yang lantas melahirkan kata Tamaddun,  berarti peradaban. Dengan demikian yang digunakan dari Masyarakat Madani adalah masyarakat yang memiliki peradaban vis a vis Badawah,  penduduk desa yang masih primitif, badui. M.A. Jabbar Beg (1980) dalam Islamic and Western Concept of Civilization  menjelaskan, bahwa term Madani (Madaniyah) yang berarti peradaban (civilization) digunakan pertama kali pada akhir abad 19 dan abad 20 oleh sarjana muslim, Farid Wajdi dengan karyanya Al-Madaniyyah wal-Islam dan Abduh dengan karyanya Al-Islam wal-Nashraniyyah Ma al-’Ilmy wal-Madaniyyah. Lebih lanjut Beg menjelaskan bahwa sebelum Abduh kata Madaniyyah sudah digunakan oleh Al-Farabi (w.339 H) dalam judul karyanya, Al-Siyasah wal-Madaniyyah. Hanya kata ini oleh Al-Farabi diartikan urban, kehidupan kota, sementara Abduh secara kongkrit mengartikan peradaban (civilization). Kaitan antara kata latin civitas dan civilization adalah sangat mirip dengan kata Madinah dan Madaniyyah. Ini merupakan kenyataan bahwa orang-orang kota pada umumnya mengutamakan peradaban atau lebih dulu memiliki peradaban dan peradaban tumbuh dan muncul di kota. Kemudian istilah tamaddun digunakan oleh penulis sejarah Arab kenamaan, Jurji Zaidan dengan karyanya Tarikh al-Tamaddun al-Islamy. Sementara Ibn Khaldun menggunakan istilah ‘umran dan hadharah. Dengan demikian istilah ‘umran, hadharah, madani dan tamaddun memiliki kedekatan dan akar kata yang sama.    Dari sudut historis tidak terlalu sulit untuk melacak terjadinya akulturasi budaya, termasuk bidang bahasa-politik dalam masyarakat Islam. Fenomena ini tak terkecuali merembes ke dalam istilah-istilah sosial kemasyarakatan Islam. Perkembangan masyarakat Eropa (Barat) dengan kemampuan teknologi mutakhirnya di berbagai bidang, termasuk jargon-jargon dan idiom bahasa yang digunakan secara langsung atau tidak berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam interaksi sosialnya. Seperti yang dijelaskan Azra (1995) bahwa sebelum masa modern dalam pengalaman banyak masyarakat, sebenarnya tidak pernah terdapat keterputusan substansial antara bahasa agama dan politik. Bahkan didapati terjadinya tarik-menarik dan adanya semacam hubungan dialektis antara keduanya. Berbeda dengan Azra, Lewis (1994) menyimpulkan bahwa dalam tradisi Islam agak kesulitan untuk menyebut istilah masyarakat atau “warga negara” dalam konotasi yang sepadan dengan tradisi di Eropa (Barat). Penggunaan istilah-istilah politik yang diadopsi oleh Islam dari istilah-istilah Yunani pada puncak abad pertengahan merupakan akar historis istilah-istilah politik yang ada dalam tradisi bahasa politik Islam dewasa ini. Kota atau madinah  diterjemahkan dari bahasa Yunani, polis, sementara kata polites, warga negara, tidak ada padanan yang tepat, meskipun biasanya kata madani digunakan sebagai padanannya. Lepas dari adanya sikap apologi atau tidak oleh umat Islam dalam penggunaan istilah masyarakat madani ini, yang jelas munculnya istilah ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk kembali membentuk suatu struktur atau tatanan masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat madinah yang telah dibangun oleh Nabi.   Membangun Masyarakat Beradab             Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasi sosial yang berbeda. Demikian pula pada zaman  pra-Islam (Jahiliyyah) muncul kelas sosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan  kelas bawah yang tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit. Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik penguasa. Konsentrasi kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkan terjadinya manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligus menindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda, yaitu maysarakat kelas atas (elit) yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkan kekerasan fisik sekalipun dan kelas bawah (subordinate) yang tak berdaya. Demikianlah setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-Madinah)  pra-Islam. Dan seperti kata Guillaume (1956:11), komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombak struktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Karena ajaran  yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Kehadiran nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan (akhlaq hasanah). Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa  rahmat, nabi terus berjuang merombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid: 9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43). Selama kurang lebih 23 tahun (dari periode Makkah ke Madinah) nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalah masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun dengan Tuhan. Kasih sayang terhadap golongan  yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah,  beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk  surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa.             Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu  justru membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Seperti yang dicatat oleh  Akbar S. Ahmed (1992) seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelan korban  kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan  korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan seterusnya. Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik dengan penindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itu secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta rampasan perang tidak lebih baik dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yang tercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang pluralistik. Perkawinan nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya pada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali (1993), bahwa konsep jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-mustakbirin) terhadap orang lemah (al-mustadh’afin). Semua utusan Tuhan (nabi) digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-mustadh’afin untuk menghadapi  al- mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”. (Q.S.28:5). Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas praktek-praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal (baca: KKN) oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan reformasi nabi itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan. Oleh sebab itu seperti penilaian Ashgar maupun Ahmad Amin, bahwa pada hekikatnya kelompok hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa nabi, atau penentangannya terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka adalah gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktek monopolistik dan eksploitatif yang mereka lakukan. Pengaruh reformasi nabi Muhammad betul-betul mengguncang  dunia dan dengan waktu yang relatif singkat (kurang lebih 23 tahun) mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal, masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran atau kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”. Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya. Peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M juga merupakan peristiwa monumental bagi lahirnya sebuah nation state . Peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakah sebuah perjalanan panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan terbuka. Jika periode Makkah adalah periode penanaman akidah dan etika Islam, maka periode Madinah sebagai periode pembentukan sistem kehidupan masyarakat secara luas.   Setidaknya ada empat langkah yang ditempuh nabi dalam membentuk masyarakat Islam saat itu: Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah yang kemudian menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktek ritual (beribadah), mengadili perkara, majlis ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid tersebut. Hanya mengingat kondisi yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus dipindahkan. Masjid tersebut juga merupakan pusat pertemuan kaum muslimin dari seluruh wilayah Islam. Kedua, mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali ra. dipilih sebagai saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn Zuhair dan Ja’far Ibn Abi Thalib dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah nabi telah mempersatukan tali persaudaraan mereka. Dengan demikian terciptalah persaudaraan yang berdasarkan agama, sebagai pengganti dari persaudaraan yang berdasarkan ras dan suku sebagaimana yang telah dipraktekan  orang-orang Jahiliyyah sebelumnya. Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan non-muslim. Penduduk Madinah saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum muslimin, Yahudi (yang terdiri dari Bani Nadhir dan Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih pagan (penyembah berhala). Karena itu nabi mempersatukan mereka dalam satu masyarakat yang terlindung, sebagaimana yang terumuskan dalam Piagam Madinah. Keempat, meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya  “masyarakat baru”. Hijrah nabi pada tahun 622 M menunjukkan permulaan kegiatan politiknya. Namun beliau tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan poltik yang begitu besar itu,  melainkan tumbuh dengan perlahan-perlahan. Konsesi-konsesi dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau masih berada di Makkah) berarti pendirian badan politik baru, yang didalamnya terdapat kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an. Itulah sosok Muhammad, orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyaralat Makkah secara serius, radikal dan humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru orang untuk men-tauhid-kan Allah, melainkan juga membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban, dan tidak korup. Tidak berlebihan jika Michael Hart dalam laporan penelitiannya: The 100: A Ranking of Most Influential in History, menempatkan beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling berpengaruh di dunia. “Islam (yang dibawa Muhammad) memang tidak menciptakan dunia moderen, tetapi Islam merupakan agama yang mungkin paling tepat dan cocok untuk dunia moderen”.  Demikian ungkap Gellner.  

REFERENSI

  Amin, Ahmad (1972).Yaum al-Islam, Mesir, Maktabah al-Nahdhah. Ahmed, Akbar S, (1992). Citra Muslim, Tunjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga. Ali, Asghar (1993), Islam Pembebasan, Yogyakarta, LKIS. Azra, Azyumardi “Kata Pengantar” dalam Bernard Lewis (1994), Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan Ali Fauzi, Jakarta Gramedia. Beg, Jabbar MA (1980), Islamic and Western Concepts of Civilization, Kuala Lumpur, The University of Malaya Press. Depag RI (1995), Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta Depag RI. Guillaume, Alfred (1956), I s l a m, England, Pinguin Books.

                    ___________               *Drs. M. Zainuddin, MA. adalah dosen STAIN Malang

 

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up