MUSIBAH REFORMASI
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 3447 views
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kita semua, keluarga reformasi berduka karena pejuang demokrasi dan hak-hak asasi manusia telah diturunkan secara politis dan tidak fair. Puaslah sudah ambisi besar para lawan politik Gus Dur karena mereka telah berhasil  menjatuhkan dari kursi kepresidenannya yang sah dan legitimate. Pemandangan sidang istimewa MPR yang baru saja disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia telah mempertontonkan arogansi kelompok elit politik yang hingar bingar, sarat dengan  nuansa permainan licik  persis panggung  sandiwara. Dengan sorak-sorai sekerasnya dan sesekali diwarnai cletukan sarkasme  seolah-olah mereka telah berhasil melaksanakan tugas “suci”nya.  Padahal tanpa disadari mereka telah memberikan pendidikan buruk kepada rakyat di seluruh tanah air, bahkan dunia internasional. Salahkah jika Gus Dur pernah menyebut  mereka seperti siswa taman kanak-kanak? Sesungguhnya sosok Gus Dur boleh saja dijatuhkan dari tampuk kepemimpinan nasionalnya, tetapi tidak reformasi. Bahkan semangat dan ruh perjuangan Gus Dur untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tidak akan bisa dikikis begitu saja. Sebab, pendukung dan penerus perjuangan Gus Dur tidak pernah berhenti. Seperti  halnya Mahatma Gandhi, dia adalah pejuang kemanusiaan, dan itu pula yang membuat tekadnya untuk tetap konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat dengan rencananya  mendirikan  Yayasan Manusia Merdeka. Sekarang kita tidak bisa berharap banyak dengan cita-cita reformasi yang hendak dibangun oleh para mahasiswa pencetus reformasi sebagaimana tujuan semula, karena pemerintahan Megawati Soekarnoputri sudah diliputi oleh oknum-oknum Orde Baru dan kelompok-kelompok kepentingan yang sudah ngebet ingin memperoleh jatah yang selama ini direbutkannya. Sidang istimewa tak lebih dari  rebutan obral kue di pasar. Apa makna dijatuhkannya Gus Dur dari kursi kepresidenan  dan diangkatnya Megawati sekarang ini? Ada tiga hal penting yang perlu dicatat dalam persoalan ini: Pertama, adalah kemenangan poros tengah dan sekelompok partai Islam garis keras, yang  secara ideologis tidak sejalan dengan Gus Dur.   Ini artinya  --seperti yang sudah menjadi kecurigaan warga Nahdhiyyin selama ini--mereka mencalonkan Gus Dur tidak tulus dan karena terpaksa, tidak ada jalan lain waktu itu. Tetapi dalam hati mereka tersembunyi ancaman yang kira-kira berbunyi: “awas, lu jangan ongkang-ongkang jadi presiden hanya karena keterpaksaan gue, tidak lama gue akan jatuhkan lu”. Betul, tidak lama kemudian Gus Dur harus dijatuhi  memorandum I dan II melaui tuduhan “skandal” Bruneigate dan Buloggate yang dicar-cari. Tidak lain semua rekayasa tersebut dimaksudkan untuk menggiring Gus Dur dalam sidang istimewa. Ternyata setelah Jagsa Agung memutuskan bahwa Gus Dur tidak terlibat dengan kasus yang mereka tuduhkan, tak habis akal mereka malah mempercepat sidang istimewa dengan alasan Gus Dur melanggar haluan negara karena me-nonaktif-kan Kapolri Jenderal (pol) Bimantoro dan mengangkat Wakapolri, Chaeruddin sebagai Pjs Kapolri. Jelas itu makar dan akalan-akalan mereka.  Dengan begitu, hanya ada satu kata: “Pokoknya Gus Dur harus turun”. Kedua, bangkitnya kembali kekuatan militerisme yang selama pemerintahan Gus Dur menjadi sasaran reformasinya. Oleh sebab itu mereka tidak rela Gus Dur bertahan. Maka di saat Gus Dur dijepit oleh kelompok kepentingan itulah, TNI-POLRI tak ketinggalan untuk ikut memanfaatkan situasi. Dengan dalih mengamankan sidang istimewa, mereka menggelar apel dan konvoi lengkap dengan segala persenjataannya, bak hendak berperang melawan penjajah, mereka show of  force ingin menunjukkan semua mata, bahwa merekalah yang berjasa menenangkan dan mengamankan negara. Jika kita melihat sejarah militerisme di Indonesia, sebetulnya puncak politisasi TNI (dulu ABRI) terjadi pada masa Orde Baru yang ditandai dengan implementasi konsep dwifungsi, dimana tentara selain memainkan peran pertahanan dan keamanan juga memainkan peran sosial-politik. Anehnya, pengembangan peran sosial-politik tentara tersebut kemudian tampail sebagai sosok yang menakutkan (monster politik, menurut Mahrus Irsyam). Pada saat itulah kemudian TNI menjadi dominan, bahkan repressif. Dan inilah salah satu faktor mengapa pada masa Orde Baru  rakyat menjadi apatis dan tidak peduli dengan partisipasi politiknya. Terjadi apa yang disebut dengan floating mass yang  berlangsung lama. Tetapi kemudian, begitu ada indikasi melemahnya kekuatan Soeharto, terutama ketika terjadi krisis moneter pada akhir tahun 1997, maka bak kur bersama, kegelisahan rakyat selama bertahun-tahun itu pun akhirnya meletus dalam  bentuk gerakan reformasi. Ketika genderang reformasi ditabuh oleh kelompok elit –mahasiswa, intelektual, politisi, profesional muda—pada demonstrasi Mei 1999, salah satu tuntutannya adalah menghapuskan dwifuingsi ABRI. Memenuhi tuntutan berbagai kalangan, terutama mahasiswa, Deklarasi Ciganjur, 10 Nopember 1998, yang disepakati empat tokoh (Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati Soekarnoputri dan Sri Sultan Hamengkubuwono X), menetapkan  keanggotaan ABRI di DPR, DPRD I, DPRD II dan MPR berakhir pada tahun 2004. Begitu Gus Dur menjadi Presiden, maka dominasi TNI segera diruntuhkan dengan cara reposisi besar-besaran. Inilah keberanian sipil yang diwakili Gus Dur dalam pemerintahan nasional. Reposisi ini kemudian diterima ABRI dan mereka berniat membuat paradigma baru  serta bersedia melakukan  role sharing dengan komponen bangsa lain. Secara aklamasi, eksistensi TNI-Polri di DPR dan DPRD I/II akan berakhir sampai 2004. Sementara eksistensinya di MPR masih kontroversial. Sebagian menghendaki dihapuskan peran mereka di MPR, sebagian lain tetap menghendaki TNI-POLRI diberi hak untuk menentukan kebijakan makro politik negara dan bangsa. Memang reformasi menuntut iklim demokrasi termasuk menciptakan institusi militer berada pada posisi perannya yang seimbang dan proporsional, artinya kepentingan politik dan kepentingan pertahanan (yang asasi) harus berjalan seimbang. Peran asasi militer adalah mempertahankan negara, kedaulatan bangsa dan menjaga integritas bangsa. Tetapi, pertanyaannya kemudian, apakah dengan peralihan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati ini masih tersisa harapan reformasi di tubuh militer? Apakah Megawati masih memiliki komitmen dengan agenda reformasi yang telah disepakati sebelumnya? Pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, bahwa pergantian kekuasaan yang dipaksakan oleh MPR sama sekali menyedihkan, karena Mega menjadi lokomotif yang membawa gerbong militer dan kekuatan ORBA.  Senada dengan Arbi, pengamat militer Salim Said juga menegaskan, bahwa  Mega adalah sosok simbolis (boneka, manekein) yang memang dikehendaki oleh para jenderal, sehingga reformasi di tubuh militer tak bakal tercapai. Oleh karena itu Said meragukan kemampuan Mega untuk melakukan amanah reformasi rakyat (Duta Masyarakat, 24/7/2001). Indonesianis terkemuka dari University of Washington,  Prof. Dr. Daniel S. Lev  adalah salah satu dari sekian pakar di Amerika Serikat yang ragu akan komitemen reformasi dari sosok Megawati Soekaroputri.  Menurut Lev, Mega dan PDIP tidak memiliki greget untuk melakukan reformasi yang mendasar di tubuh tentara, bahkan yang terjadi mereka main mata dengan tentara (Jawa Pos, 27/07/2001). Inilah yang juga dipesankan Mahfud MD, mantan Menhan pemerintahan Gus Dur, bahwa siapa pun presidennya nanti (pasca SI), TNI harus disingkirkan dari kepentingan politik. Tidak salah jika jauh sebelum Gus Dur diturunkan oleh MPR secara tidak fair, Indonesianis kawakan dari Amerika,  Prof Dr. Clifford Geertz wanti-wanti kepada bangsa Indonesia untuk waspada terhadap bangkitnya militerisme. Geertz menilai, bahwa desakan emosional dari sejumlah kalangan untuk menjatuhkan Gus Dur  saat itu menunjukkan adanya irrasionalitas massa dan akan melahirkan kembali Orde Baru  dalam gabungan nasionalisme radikal, Islam radikal dan militerisme radikal untuk mengeroyok demokrasi yang tengah diperjuangkan Gus Dur dalam pemerintahannya (Kompas, 18/03/2001). Ketiga, bangkitnya kembali sistem pemerintahan ORBA yang penuh dengan praktik KKN. Karena Megawati telah bersekongkol dengan kekuatan GOLKAR yang selama ini justru dijadikan sasaran reformasi. Ini juga sekaligus memangkas gerakan civil society yang selama pemerintahan Gus Dur tengah diberdayakan. Melihat indikasi pemerintahan sekarang ini rasanya sulit untuk bisa melakukan pemberantasan KKN, sebab orang-orang di sekitar Mega, bahkan designer politik Mega adalah orang-orang yang terlibat KKN di masa ORBA seperti   Arifin Panigoro, yang dalam pemerintahan Gus Dur telah menjadi incaran pengadilan. Bahkan pidato Mega setelah pelantikan dengan gamblang menyatakan, bahwa dirinya siap bersekutu dengan siapa pun termasuk dengan GOLKAR yang telah menjadi mesin politik Orde Baru. Padahal reformasi yang diidam-idamkan rakyat Indonesia selama ini  diantaranya adalah pemberantasan KKN, dan demiliterisme. Prediksi Geertz tepat, bahwa sekarang memang kita sedang menyaksikan ending drama politik yang melahirkan tiga aliansi kelompok, yaitu: Pertama, Islam radikal dibawah sekenario poros tengah yang memang harus kita akui licin dan piawai untuk merangkul berbagai kekuatan hanya untuk satu kepentingan utama, menjatuhkan Gus Dur; Kedua, nasionalisme radikal yang direpresentasikan oleh Megawati dan PDIP-nya, yang didalamnya juga himpunan dari kelompok-kelompok kepentingan, ORBA, militer dst. Oleh sebab itu kelompok ini tidak  sejalan dengan PDI- nya Rahmawati Soekarnoputri yang menyatakan sebagai partai perjuangan murni Bung Karno; Ketiga, militerime radikal, yang memang selama pemerintahan Gus Dur merasa khawatir akan direformasi. Dengan begitu maka mereka ikut mendukung  Megawati, sementara Mega sendiri juga memiliki kepentingan yang sama untuk mencari perlindungan diri. Walhasil, ujung dari semua rekayasa politik untuk menjatuhkan Gus Dur adalah akumulasi dan persekongkolan kepentingan yang mengkristal menjadi satu. Sayang Gus Dur tidak peduli dan kurang perhitungan dengan semua ini. Akhirnya ia harus menerima “kekalahan”, seperti yang ia akui sendiri, bahwa  ternyata mereka kuat. Tapi, apapun resikonya  ibarat main sepak bola, Gus Dur telah melakukan tendangan finalti yang maksimal, soal meleset itu sebuah resiko bermain bola (bola politik), dan sebuah resiko pula, jika wasitnya (Bagir Manan) sudah sejak semula memihak lawan Gus Dur. Dan bukti terkini dari itu semua adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa  GOLKAR tidak terlibat dalam kasus korupsi dan oleh karena itu tidak bisa dibubarkan. Tragis, dan sepontan para pengunjung yang terdiri dari elemen mahasiswa dan masyarakat langsung melemparkan ayam betina di tengah persidangan, mengindikasikan kekecewaan yang amat berat. Lantas, indikasi lain dari bangkitnya kembali militerisme ini adalah suasana yang semakin mencekam di beberapa daerah dengan tindakan para aparat keamanan yang semakin represif tidak lama setelah dijatuhkannya Gus Dur. Pupuslah sudah reformasi yang hendak di-goal-kan Gus Dur. Kondisi semacam ini akan terulang  seperti masa pemerintahan Soeharto yang menjadikan rakyat semakin apatis dan kembali pada kondisi floating mass. Tapi Tuhan, masih adakah jalan menuju reformasi? Semoga, karena toh Tuhan juga tidak akan tinggal diam jika ada sekelompok orang yang melakukan makar politik, maka Dia  jauh lebih baik (untuk membalas)  makar hamba-Nya (Innallaha khair al-Makirin).                                           -------------- *Drs. M. Zainuddin, MA. adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam  Negeri Malang dan Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Umat (LSPU-Gnosis) di Malang.                                                                                                    

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up