NATAL DAN TAHUN BARU BAGI UMAT BERAGAMA
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 15439 views
Pada bulan Desember ini, baik umat Islam maupun Kristiani sama-sama memiliki momentum baik untuk melakukan perenungan dan introspeksi. Baik umat Islam maupun Kristiani pada bulan ini akan merayakan peristiwa bersejarah, yaitu tahun baru Hijriyah bagi umat Islam dan perayaan Hari Raya Natal bagi umat Kristiani. Peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M merupakan peristiwa monumental bagi lahirnya sebuah nation state. Peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakah sebuah perjalanan panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan terbuka. Selama kurang lebih 10 tahun di Madinah, nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan, yaitu masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah, masyarakat yang memiliki integritas dan berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antarmanusia maupun dengan Tuhan, yang melampaui batas primordialisme dan sektarianisme. Kasih sayang terhadap golongan  yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Hal ini dibuktikan dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah,  beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk  surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seorang paman nabi sendiri dan pahlawan perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa.             Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu  justru membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Sementara itu terdapat benang merah yang menghubungkan banyak pengalaman spiritual Katolik Barat. Garis yang mungkin bisa menghasilkan perubahan yang akurat dalam spiritualitas Katolik Barat adalah perjalanan menuju Tuhan melalui Yesus Kristus dengan kekuatan roh kudusnya. Meskipun dengan cara dan penekanan yang berbeda model pencarian Tuhan dalam tradisi Katolik Barat, tetapi model ini juga berlaku dalam Kristen Protestan.  Perjalanan menuju Tuhan tersebut adakalanya yang bisa diartikulasikan, ada pula yang tidak. Fenomena menarik yang perlu dipetik dari pengalaman spiritualitas Katolik Barat adalah ajaran ekspresi kasih yang mendalam. Di sinilah titik temu spiritualitas agama-agama, di mana ending-nya adalah komitmen ajaran sosialnya. Tradisi shalat dalam Islam, perjalanan menuju Tuhan dalam Katolik Barat adalah identik dengan sembahyang dalam spiritualitas Kristen Protestan. Menurut Friedrich Heider, bahwa cara bersembahyang Kristen Protestan ada dua macam, sembahyang mistik dan profetik. Model pertama menitikberatkan upaya manusia mencari kesatuan melalui penyucian dan iluminasi. Sementara yang kedua menitikberatkan pada keaktifan Tuhan, pelayanan yang baik dari Tuhan. Tradisi semacam ini hampir mirip dengan tradisi spiritualitas Kristen Maronit, dimana dalam tradisi ini seseorang tidak cukup hanya dengan memberi kehidupan, tetapi ia harus hidup melalui hubungan dengan Tuhan yang merupakan pusat dari segala sesuatu. Pandangan ini bisa mempertinggi kesadaran akan kesucian hidup dan memperdalam apresiasi terhadap derajat segala sesuatu yang hidup sebagai pantulan Tuhan. Adalah berarti Maronit jika kita melakukan sesuatu dengan visi yang mencerahkan, kita mampu melihat di balik kebiasaan hidup, dengan demikian dengan kesadaran penuh bisa bertemu dengan Tuhan (Yohanes, 10 : 10). Akan lebih menarik lagi jika kita mengamati pengalaman spiritualitas Yahudi. Identitas dan komitment keimanan Yahudi nampaknya berpusat dalam pemahaman masyarakat Yahudi terhadap perjanjiannya dengan Tuhan. Dimulai dengan orang Yahudi pertama, Ibrahim dan pengikutnya, Isa, Ya’qub dan diakhiri dengan melibatkan seluruh umat saat di Gunung Sinai. Kunci dari perjanjian ini adalah hubungan timbal balik, hubungan yang saling menguntungkan, antara umat dengan Tuhan, serta Tuhan dengan umat, yang terjadi secara interaktif. Dengan demikian moralitas terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain adalah inti dari ajaran spiritualitas dari agama Yudhaisme. Sementara bagi umat Kristiani, natal merupakan  ibadah hari raya gerejawi yang terkait dengan peristiwa-peristiwa penting dalam karya penyelamatan Yesus Kristus atas dunia dengan segala isinya, termasuk hari raya gerejawi: jumat agung, paskah, kenaikan Tuhan Yesus dan Pantekosta. Pertanyaannya, bagaimana momentum bersejarah ini bagi umat beragama mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari dengan bersama-sama saling introspeksi dan memperbaiki hubungan yang harmonis dan lebih dari itu memperbaiki citra religiusitasnya? Dom H. Camara, seorang aktivis dan uskup agung, dalam karyanya, Spiral Kekerasan menyerukan agar semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab sucinya masing-masing untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal  dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan. Lalu aktivis Muslim, Asghar Ali Engineer (1993:29) mengimbau perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menata kembali kehidupan sosial yang adil dan egaliter (1993:80). Oleh sebab itu menurut Ali (1993:80), orang beriman yang sejati adalah bukan hanya mereka yang mengucapkan kalimah syahadah, melainkan mereka yang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Untuk menuju ke arah kedamaian dan keutuhan umat, maka keadilan harus terus diperjuangkan*** .                 ______________ * Dr. H. M. Zainuddin, MA. penulis adalah Dosen UIN Malang, aktivis Dialog Antarumat Beragama.  

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up