Pendidikan Islam Masa Depan: INTEGRALISME DAN DESKULARISASI
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 5560 views
Agenda besar yang dihadapi bangsa Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan tinggi Islam dituntut untuk berperan serta dalam  mewujudkan tatanan Indonesia baru dimaksud, dengan merumuskan langkah-langkah pengembangannya. Pendidikan tinggi Islam, baik dalam konteks nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia Islam, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Jika Indonesia kini dianggap sebagai negara yang menempati posisi terbesar jumlah penduduk muslimnya, namun potensi mayoritas muslim tersebut belum menjamin peran sosialnya. Karena itu seperti yang diungkap oleh Kuntowijoyo (l994: 350), bahwa pendidikan tinggi Islam saat ini --sebagaimana pendidikan tinggi lainnya-- secara empirik belum mempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat kebudayaan sekarang ini  bukan berada di dunia akademis, melainkan di dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan tinggi Islam terancam oleh subordinasi.  
Problem epistemologis
Hingga saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Oleh sebab itu pola pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan model pendidikan Islam berwatak statis dan tertinggal: pertama, subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual. Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip: tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam; kedua, masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu; ketiga masih ada pandangan dikotomis terhadap ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum). Secara umum Johan Hedrik Meuleman (Perta, 2002: 16-17) melihat adanya beberapa kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim, yaitu pertama, adanya logosentrisme, tektualis. Akibat logosentrisme tersebut kemudian mengabaikan  unsur tak tertulis dari agama dan kebudayaan Islam, seperti tindakan sosial, seni dst.; kedua sikap apologetik terhadap aliran (teologi, fiqh dst.); ketiga adanya kecenderungan yang verbalistik dan memberikan wibawa terlalu besar pada tradisi, yang berimplikasi pada sikap ekskulisivisme. Kondisi demikian menurut Meuleman, bebannya masih terasa sampai sekarang ini. Malangnya hal serupa juga dialami oleh Islamolog Barat. Pada sebagian besar masyarakat kita sekarang ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama” dan “ilmu” merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa dipadukan, keduanya dianggap memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai pada penyelenggaraan institusinya. Kenyataan ini bisa kita lihat misalnya pada pemisahan departemen dalam sistem pemerintahan Indonesia (ada departemen agama ada pula departemen pendidikan).  
Integralisme dan Desekularisasi
Adalah sangat penting untuk melihat sejarah masa lalu, bahwa dalam sejarah kependidikan Islam telah terbelah dua wajah paradigma integralistik-ensiklopedik di satu pihak dan paradigma spesifik-paternalistik di pihak lain. Paradigma pengembangan keilmuan yang integralistik-ensiklopedik dimotori oleh ilmuwan Muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, sementara yang spesifik-paternalistik diwakili oleh ahli hadis dan ahli fiqh. Keterpisahan secara diametral antara keduanya (dikotomis) dan sebab lain yang bersifat politis-ekonomis itu menurut Amin Abdullah (Perta, 2002: 49) berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan dan kemunduran dunia Islam saat itu.  Oleh sebab itu Amin Abdullah menawarkan gerakan rapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Gerakan ini juga disebut dengan reintegrasi epistemologi. Dalam konteks dikotomi ini, Brian Fay (1996) menyarankan agar kita menghindari dualisme buruk dan berpikir secara dialektis. Disarankan oleh Fay, agar kita tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik Copernicus (1543), Bruno (1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena pendapatnya yang bertolak belakang dengan agama, telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das sein) dengan semboyan: “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan + 250 tahun, atau yang dikenal dengan gerakan renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat inilah  terjadinya benih “sekularisasi” di dunia Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah. Oleh sebab itu, saatnya kini kita tidak mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan antara ilmu dan agama (ilmuwan dan agamawan) yang akan melahirkan sekularisasi. Harus ada sinergi dan integrasi antara ilmu dan agama. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurut Jujun (1986: 4) hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi tadi. Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Karena menurut pengamatan Amin Abdullah (1992:16), selama ini ruang lingkup filsafat Islam lebih cenderung menitikberatkan pada aspek ontologis dan aksiologis ketimbang epistemologisnya. Dan epistemologi yang dibangunnya memenangkan epistemologi Plato/ Platonisme yang rasionalistik-normatif seperti yang nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, katimbang empirisme-historis Aristoteles. Kini saatnya kita  membangun kultur akademik dan keilmuan yang inklusif dan inovatif serta mengorientasikan pada kehidupan yang bersifat praksis.                                                 ______________   *M. Zainuddin adalah dosen STAIN Malang, mahasiswa program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, penulis buku Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam.  

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up