SEBUAH IRONISME KEBIJAKAN
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 1222 views
Pemerintahan SBY-Kalla yang semula didambakan oleh hampir semua warga Indonesia untuk memulihkan kondisi Indonesia yang terus dilanda krisis sejak akhir pemerintahan orde baru hingga Megawati itu ternyata tidak memberikan harapan, justru yang terjadi sebaliknya, di tengah-tengah kondisi perekonomian yang masih lesu Pemerintah menaikkan harga BBM dan tunjangan DPR yang kelewatan tinggi. Bukankah ini justru manambah problem baru dan semakin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah? Kebijakan yang elitis seperti ini menjadi riskan dalam konteks politik, ada apatisme partisipasi masyarakat terhadap semua kebijakan pemerintah. Jika ini yang terjadi, maka akan membawa dampak politik yang lebih buruk ke depan. Dan saatnya demokrasi di negeri ini akan segera terkubur.   Kelemahan Kebijakan Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang terlalu tinggi seperti yang terjadi saat ini memiliki kelemahan secara psiko-sosial. Karena dua alasan mendasar: Pertama, kenaikan itu terlalu tinggi yang akibatnya berdampak pada naiknya harga-harga barang yang terlalu tinggi pula. Seberapapun kenaikkan harga BBM dampaknya adalah tetap akan ditanggung oleh rakyat kecil yang dominan di negeri ini. Kedua, kebijakan alternatif dengan memberikan dana konpensasi bukan sebuah solusi, tetapi justru menambah keruwetan dan masalah baru. Bukankah kita tahu, bahwa budaya korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) di negeri ini masih mendarah-daging? Sehingga dana bantuan apa pun dan untuk siapa pun akan selalu di-tilep? Problem baru yang terkait dengan dana konpensasi BBM ini adalah menyangkut: pendataan jumlah keluarga miskin (gakin) yang tidak valid, ini juga karena ketidakseriusan kinerja "aparat" kita, budaya me-nyunat  segala macam dana bantuan  oleh "oknum" aparat kita, budaya ketidakjujuran oleh sebagian masyarakat kita (yang miskin mengaku kaya, yang kaya mengaku miskin yang tidak pada tempatnya). Seperti kondisi saat ini, orang miskin di negara kita tiba-tiba menjadi memmbengkak jumlahnya hanya karena "ingin memoeroleh dana konpensasi BBM". Sehingga apapun alasan kenaikan di atas jika dilihat dari sisi madharat-nya, plus-minus-nya adalah tidak tepat, alias banyak madharat-nya. Sudah jelas di mata kita, bahwa korban jiwa akibat antrean dana kompensasi BBM terjadi di beberapa daerah. Ini menunjukkan bahwa kebijakan seperti ini sangat lemah baik ditinjau dari sisi manajemen maupun keamanan (scurity). Apalagi jika rencana kenaikan harga BBM ini akan terus diberlakukan oleh Pemerintah. Apa jadinya? Sebuah Ironisme Belum selesai persoalan kenaikan harga BBM yang banyak menuai kritik dan penolakan dari rakyat banyak baik melalui media cetak maupun elektronik, unjuk rasa atau demo-demo di berbagai daerah, justru muncul kebijakan baru yang menohok rakyat, yaitu kenaikan tunjangan operasional DPR sebesar 10 juta, jumlah yang sangat fantastis jika diukur dengan kontribusi, peran dan fungsinya dalam kancah perjuangan bangsa ini. Anggota Dewan kita, baik yang di pusat maupun di daerah sudah bergaya elitis dan hedonis ketimbang berjuang dan berpihak pada kepentingan orang banyak, rakyat kecil (populis). Fenomena seperti ini mengindikasikan adanya disorientasi dan menafikan prinsip demokrasi. Padahal dalam konsep bernegara, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif (agent of aspiration and distribution). Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat  dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu  kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Kondisi ini justru sebaliknya di negeri kita. Di tengah-tengah penderitaan rakyat seperti ini justru mereka menikmati tunjangan yang melimpah. Pemandangan seperti ini jelas sangat kontras dengan prinsip dan fungsi legislasi di atas. Ini artinya anggota dewan sedang "menari-nari di atas penderitaan rakyat banyak", ironis bukan? Oleh sebab itu, jika Pemerintahan SBY-Kalla ingin tetap memiliki trust dan simpati masyarakat seperti sediakala, yang memang didamba-dambakan oleh masyarakat banyak selama ini, maka SBY-Kalla harus belajar dari figur pemimpin pendahulunya. Jika tidak, maka akan terjadi "ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah" selamanya. Jika ini yang terjadi, maka pemulihan krisis yang terjadi sejak akhir 1997 (yang semula dipridiksikan hanya memakan waktu lima tahun), malah akan terjadi berpuluh-puluh tahun. Dan krisis itu tidak saja ekonomi, tetapi sudah menyangkut semua aspek kehidupan (multi krisis): budaya, politik, hukum, moral dan sebagainya.                       --------------- *Penulis adalah Pengamat Sosial, dosen UIN Malang

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up