TARBIYAH ISLAMIYYAH
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 2659 views
  1. Berbicara mengenai pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyyah), maka tidak boleh tidak kita harus memulai dari cara pandang kita (world-view) tentang manusia. Bagaimana filsafat kita memandang manusia.
  2. Bahwa paradigm filsafat kita adalah Teo-antroposentris, artinya bahwa dalam memandang manusia, kita harus memandangnya secara utuh tentang sosok dan fungsi manusia itu sendiri.
  3. Dalam pandangan kita (baca: Islam), bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur tidak saja jasmani, tetapi juga ruhani dan nafsani. Aspek terakhir inilah yang kurang menjadi concern, atau sering dilupakan oleh pengelola (designer) pendidikan. Di samping itu, manusia juga memiliki kedudukan sebagai ‘abid (makhluk yang menyembah Tuhan, Allah), juga berkedudukan sebagai khalifah (pemimpin dan manajer di muka bumi ini). Ini yang harus kita pahami. Jika kita berbicara pendidikan Islam, maka aspek ini yang tidak boleh kita lupakan.
  4. Bagaimana manusia mampu berhubungan dengan Tuhan-Nya, juga mampu berhubungan dengan sesama manusia dan alam semesta? Di sini sebetulnya al-Qur’an surat al-Qashash: 77 sudah memberikan penjelasan yang gambalng.  Di sini sebetulnya 14 abad yang silam Islam sudah berbicara mengenai etika, regulasi relasi antarmakhluk. Inilah sebetulnya etika Islam (al-akhlaq al-karimah) itu.
  5. Konsep Al-akhlaq al-Karimah atau akhlaq karimah --bukan akhlaqul karimah-- sering dipahami secara simplistik, artinya bahwa akhlak itu hanya dipahami sebatas sopan santun saja. Padahal al-akhlaq al-karimah itu mencakup berbuat kebajikan kepada semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta ini (mencakup persoalan ekologi, HAM, keadilan, demokratisasi, ketimpangan sosial dsb.). Jika ini yang dipahami, maka kurikulum akhlak karimah menjadi wajib di semua lembaga pendidikan (apapun jenis dan jenjangnya). Sebagaimana kata adab, atau al-adab sering dipahami secara sederhana, tata karma atau sopan santun murid dengan guru atau anak dengan orang tua. Padahal al-adab itu memiliki ekstensi makna ta’dib yang berarti mengembangkan peradaban. Maka tidak mungkin seorang Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak, kalau akhlak ini hanya bermakna sopan santun. Apa mungkin itu? Bukankah menyederhanakan makna nubuwwah dan risalah-nya? Inilah akhlaq karimah yang sepadan dengan Ihsan, yang merupakan kelanjutan dari Islam dan Iman.
  6. Kurikulum sebetulnya juga tidak saja yang verbal, yang tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, tetapi lebih dari itu ada kurikulum non-verbal (hidden curriculum) yang berupa uswah dan qudwah para pendidik, guru (termasuk pemimpin bangsa). Maka hakikat guru, pendidik dan pemimpin itu seharusnya semua ucapan, perbuatan dan ketetapannya menjadi panutan orang lain (murid, siswa dan yang dipimpinnya).

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up