TRADISI INTELEKTUALISME ISLAM
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 13873 views

TRADISI INTELEKTUALISME ISLAM

M. Zainuddin

 

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantara qalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

 

  Wahyu pertama yang turun (Q.S. Al-’Alaq :1-5) di atas --dan sejumlah hadis Nabi-- memiliki implikasi besar terhadap perkembangan keilmuan pada masa-masa berikutnya. Sebagaimana yang dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141), bahwa pada masa awal datangnya Islam, baru tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-tulis. Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Aisyah, isterinya pun belajar membaca. Anak angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar bahasa Ibrani dan Suryani. Para tawanan perang dibebaskan setelah mereka dapat mengajar sepuluh orang muslim untuk membaca dan menulis[1]  Beberapa wahyu (nash) penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan respon Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam rangka pengamalan ilmu pengetahuan. Jika pada mulanya kajian keislaman hanya terpusat pada al-Qur’an, al-Hadits, Kalam, Fiqh serta ilmu gramatika bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), maka pada periode berikutnya, setelah kemenangan Islam ke berbagai wilayah, kajian itu berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, astronomi, fisika dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan ini bisa dibuktikan pada masa kegemilangannya, antara abad 8-15 Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-1258) hingga jatuhnya Granada (1492). Perluasan wilayah Islam dimulai sejak khalifah Abu Bakar As-Shiddiq hingga dinasti ‘Abbasiyah. Berturut-turut jatuh ke tangan Islam adalah, wilayah: Damsyik (629), seluruh Syam dan Irak (673), Mesir hingga Maroko (645), Persi (646), Samarkand (680) dan seluruh Andalusia (719). Satu abad kemudian (setelah hijrah), negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India yang melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaannya (Poeradisastro, 1986: 8). Bahwa jauh sebelum umat Islam menaklukkan wilayah Timur Dekat, Syria merupakan tempat bertemunya dua negara “super power” waktu itu, Roma dan Persia. Bangsa Syria memang memiliki peran penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan peradaban Yunani ke Timur dan Barat, terutama kaum Monofisit[2] dan Nestorian[3]. Hanya saja saat itu ilmu pengetahuan (seperti kedokteran) tetap merupakan pengetahuan sekuler dan dengan demikian kedudukannya lebih rendah daripada pengobatan spiritual yang merupakan hak istimewa para pendeta ((lihat C.A. Qadir, 1989:34-35). Sebagaimana kata De Boer (1961:13), bahwa berdasarkan peraturan mazhab Nisibi, mulai tahun 590, kitab-kitab suci dilarang dibaca dalam satu ruangan dengan buku-buku mengenai profesi keduniaan (sekuler). Di pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti di Antokiah, Ephesus dan Iskandariah, penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Suryani (Syria) tetap dilakukan dan tetap memiliki pengaruh yang besar, bahkan setelah pusat-pusat kota itu ditaklukkan oleh umat Islam. Ketika pemikiran-pemikiran Yunani itu merasuk pada umat Kristiani dan mewarnai pemikiran tokoh gereja Nestorius, maka serta merta mendapat tantangan keras dari kaum konservatif dan ortodoks, sehingga pada tahun 481, ajaran-ajarannya dilarang oleh gereja. Tetapi meski begitu, Nestorius dan sebagian pengikutnya tetap tidak mau tunduk dan malah melarikan diri ke Syria. Di sinilah ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani tersebut dan bahkan mendirikan sekolah-sekolah serta tetap aktif menterjemah. Karya-karya Yunani yang diterjemahkan antara lain mnengenai filsafat dan logika (C.A Qadir, 1989:35). Perluasan wilayah Islam ke berbagai penjuru telah membawa konsekuensi bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan “globalisasi“ dunia saat itu: ras, bahasa, budaya, agama dan bangsa itu sendiri. Islam mesti berhadapan dengan ragam agama: Yahudi, Kristen, Zoroaster, Manes, Hindu dan seterusnya, dengan aneka budayanya: Yunani, Romawi, Mesir (Qibti dan Nubia) dan Persi. Heteroginitas dan globalisasi itu menuntut umat Islam untuk senantiasa mampu menampilkan ajaran-ajarannya dalam bentuk yang kosmopolit dan egaliter. Di sinilah kemudian umat Islam juga mulai mempelajari karya-karya Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, suatu bahasa yang masih serumpun dengan bahasa Arab. Upaya ini terus berlanjut hingga masa kegemilangannya pada masa dinasti Abbasiyah. Pada abad ini (abad 7), terdapat dua pusat ilmu pengetahuan: di Haran dan Jundishapur. Tsabit bin Qurra’ dan anaknya, Sinan bin Tsabit, serta kedua cucunya, Tsabit dan Ibrahim adalah produk-produk pendidikan lembaga Aleksandria (Haran) ini, yang ahli dalam bidang matematika dan astronomi. Sementara di Jundishapur, Khosru Anusirwan (521-579) mendirikan lembaga studi filsafat dan kedokteran. Karena letaknya yang dekat dengan Baghdad, maka dengan mudah lembaga tersebut berpengaruh terhadap umat Islam di sana (C.A Qadir, 1989: 36, Watt, 1987: 56). Oleh karena Jundhisapur  berdekatan dengan Baghdad, maka hubungan politis orang-orang Persia dengan khalifah Abbasiyah sangat erat, yang memiliki dampak positif bagi umat Islam di sana. Sejak awal Jundishapur telah menyumbangkan tabib-tabib istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtisyu yang mengabdi kepada khalifah dengan penuh hormat. Mereka juga banyak membantu pembangunan: rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti pola Jundishapur selama pemerinyahan Harun Al-Rasyid (789-809) dan penerusnya Al-Makmun (813-833) (lihat Majid Fakhry, 1983: 4, Watt: 56). Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ketika bangsa Arab menaklukkan negeri-negeri di Asia Barat dan Timur dekat, mereka tidak mengganggu urusan bahasa dan kebudayaan bangsa yang mereka taklukkan tersebut. Itulah sebabnya, di bagian awal sejarah Islam, sebelum dinasti Mu’awiyyah memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi, bahasa Persi dan Yunani tetap dipergunakan pada waktu itu, hingga secara resmi diganti dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu karya Yunani yang masih ada sebagian berbahasa Persi dan sebagian lain tetap berbahasa Yunani (lihat C.A Qadir, 1989: 37). Ilmu pengetahuan yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Marwan bin Hakam (684-685) adalah ilmu kedokteran. Ketika itu seorang dokter bernama Masarjaweh menerjemahkan buku yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Ahran bin A’yun dari bahasa asli Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut masih tersimpan baik di pertustakaan hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (718-720). Kemudian buku itu dipindahkannya ke mushalla dengan maksud agar dapat dimanfaatkan oleh umum. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa orang yang pertama kali menterjemahkan itu adalah Khalid bin Yazid Al-Umawi (w. 678) dan buku yang diterjemah adalah ilmu kimia (Shun’ah) yang tekenal saat itu (Al-Ahwani, 1962: 31). Segera setelah penobatan khalifah Abbasiyah, dilakukanlah penerjemahan karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab secara serius. Pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid telah banyak diterjemahkan karya mengenai astronomi, satu diantaranya adalah Siddhanta --sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibrahim Al-Fazari (w. 806). Sebuah karya astronomi lainnya adalah Quadripartitus karya Ptolemy dan karya-karya lain mengenai astrologi. Selain bernilai ilmiah, karya-karya terjemahan itu mempunyai nilai praktis. Yahya bin Bitriq misalnya telah menterjemahkan Timaeus, karya Plato dan De Anima, Analytica Priori dan Secret of Secret-nya Aristoteles. Saat itu tidak hanya khalifah dan wazir-wazir saja yang menaruh perhatian terhadap para filosof dan ilmuwan, melainkan juga masyarakat biasa. Misalnya keluarga Banu Musa, seorang hartawan terpandang telah menyumbangkan banyak uangnya untuk keperluan terjemahan tersebut. Ia mengutus orang-orangnya pergi ke Byzantium untuk membeli naskah-naskah Yunani dan mengupah para penterjemah dengan harga tinggi. Beberapa karya selain astrologi dan matematika yang diusahakan adalah karya mengenai atom (The Treatise on the Atom) dan karya mengenai kekekalan dunia (The Treatise on the Eternity of the World), dua risalah yang bernilai filosofis (C.A Qadir, 1989:39). Nampaknya Baghdad tidak ingin ketinggalan dengan tradisi Aleksandria dan Jundishapur, maka dibangunlah Lembaga Ilmu Pengetahuan (Bait al-Hikmah) tahun 830 oleh Al-Ma’mun (813-833) sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat yang sarat dengan fasilitasnya: ada perpustakaan,  laboratorium penterjemahan dan observatorium bintang. Penterjemah penting di Bait al-Hikmah ini adalah Hunayn bin Ishaq (w. 873) seorang Kristen Haran dan murid Hasawaih, seorang yang berjasa besar dalam menterjemah karya-karya medis klasik, ia sendiri juga sebagai dokter pribadi Harun Al-Rasyid. Di samping Hunayn, terdapat penterjemah lain, seperti Qusta bin Laqa (seorang Kristen juga) dan Tsabit bin Qurra’ (w. 901) dari kalangan penyembah bintang-bintang (Sabi’ah) yang bersama murid-muridnya menterjemahkan karya astronomi (lihat pula C.A Qadir, 1989:40).[4] Kemudian pada abad ke-10 muncul dua penterjemah terkemuka: Yahya bin ‘Adi dan gurunya, Abu Bisyr Matta yang memiliki kontribusi besar dalam menterjemahkan karya-karya Aristoteles, khususnya mengenai logika. Matta misalnya dianggap berjasa atas terjemahan karya logika Aristoteles: Categories, Hermeunetica, Analytica Priora, Analytica Posteriora dan sebuah komentar tentang Isagoge Porphyry, pengantar pengantar Analytica dan a Treatise on Conditional Syllogism (Majid Fakhry, 1983:16). Hampir semua sejarawan (baik Timur maupun Barat) sepakat, bahwa umat Islam memiliki peran besar dalam memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/ Eropa pada abad ini, baik di bidang sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan. Berkembangnya ilmu pengetahuan Barat sekarang yang dapat melahirkan teknologi yang sangat canggih (sophisticated), tak lain adalah berkat ilmu pengetahuan yang telah berkembang selama kurang lebih tiga belas abad silam di tangan pekar-pakar Muslim kenamaan. Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells, maka, orang Muslim adalah “bapak angkat”-nya. Dalam perspektif sejarah, dunia modern sekarang ini mendapatkan sinarnya lewat orang Muslim, bukan lewat orang latin (Jujun, 1990:13). Roger Bacon  --yang dianggap sebagai pencetus metode eksperimen di Barat-- tak lain adalah seorang yang telah mentransfer karya-karya kaum Muslimin, seperti Ibn Sina dan Ibn Haitsam (lihat juga Madkur, 1986: 114). Kebudayaan Muslim masuk ke wilayah Eropa malalui dua cara: studi orang Barat ke Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penterjemahan. Sebagaimana pengakuan Phillip K. Hitti (1970: 170), bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam banyak hal merembes ke alam pikiran orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah Spanyol Islam yang menunjukkan salah satu perkembangan yang terbaik di Eropa pada abad pertengahan. Antara pertengahan abad ke-8 dan permulaan abad ke-13 bangsa Arab merupakan pendukung utama suluh kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, serta pengantar munculnya renaissace di Eropa Barat. Hitti lantas menunjuk para penulis kenamaan Islam, misalnya: Ibn Hazm (994-1064) seorang penulis produktif (kurang lebih 400 buah karyanya) mengenai: sejarah, teologi, hadits, ilmu mantiq dan puisi, Ibn Zaidun (1003-1071) seorang penyair utama bangsa Arab, Ibn al-Khatib (w. 1371) dan Ibn Khaldun (1332-1406) seorang pakar sejarah (ilmu sosial), Ibn al-Awwan penulis risalah mengenai biologi yang sangat bagus, Ibn al-Baitar ahli media dan Ibn Thufail (w. 1185) dengan karya populernya Hay bin Yaqqdhan, yang oleh banyak penulis dianggap mengilhami Danile Defol dengan karyanya Robinson Crusoe (lihat Hitti,1970:170-185). Spanyol memang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu, dimana banyak para mahasiswa Eropa yang belajar di Universitas-universitas di sana, Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada. Paus Sylvester II adalah orang nomor satu gereja yang datang ke Cordova untuk belajar matematika dan astronomi. Dia pulalah yang mengintrodusir angka Arab (ghubar) yang digunakan di Spanyol ke dunia Barat. Pada saat itu umat Islam juga tampil sebagai pedagang-pedagang besar dalam lalu lintas perdagangan internasional, sehingga peradaban dan kebudayaannya mengelaborasi dari Asia hingga Eropa (lihat Nouruzzaman, 1986: 96). Transmisi ilmu pengetahuan Eropa melalui penterjemahan dilakukan dengan gencar sekali. Penterjemahan buku-buku bahasa Arab ke bahasa latin telah ditemui sejak abad ke-9. Di perpustakaan Tripoli diketemukan dua buah manuskrip yang tercatat dalam sejarah pada abad-10  berbahasa Latin yang berasal dari bahasa Arab. Usaha besar-besaran untuk menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin terjadi pada abad 12-13, yang berpusat di Cordova. Meski setelah kota tersebut jatuh ke tangan umat Kristiani (1085) dan tidak pernah lepas dari cengkeramannya, situasinya tetap tidak berubah, peradaban dan kebudayaan Muslim tetap bersinar. Hingga dua abad kemudian penduduk Toledo masih menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan juga bahasa resmi (Nouruzzaman, 1986: 99, Madkur, 1986:126). Gerakan penterjemahan ini disemangati oleh Alfonso yang mendapat julukan “Si Bijak” raja Castilla (1252-1284). Ia juga seorang pakar berbagai disiplin ilmu, termasuk yang menulis karya Cronica General yang salah satu babnya berisi sejarah hidup Rasulullah, begitu juga dengan penterjemahan buku Kalilah wa Dimnah. Toledo memiliki para penterjemah terkemuka dan profesional. penterjemahan mula-mula dilakukan dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani, atau ke bahasa Castilla, baru kemudian ke bahasa Latin. Ini berbeda dengan orang-orang yang menterjemahkan pertama-tama dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Meski begitu ada juga orang-orang yang Latin yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin, sebagaimana juga ada orang Arab yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab (lihat Nouruzzaman, 1986:102 dan Ibrahim Madkur, 1986:129). Di antara para pakar luar Spanyol yang pernah bekerja sebagai penterjemah di Toledo tercatat nama-nama seperti: Gerard dari Cremona (Itali) meninggal tahun 1187, Michael Scott, Inggris (m. 1236) dan Robert dari Chester (Inggris). Tidak diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak abad ke-12, ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang Arab melalui Sicilia dan Andalusia dan melalui terjemahan buku-buku. Pengaruh tersebut begitu kuat pada abad ke-13 dan bergema selama dua abad sesudahnya hingga era renaissance. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka abad 13 yang tidak mempunyai hubungan dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m. 1282) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka Roger Bacon lebih mendukung Ibn Sina, sementara filsafat St. Thomas Aquinas telah menggabungkan filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd (Madkur, 1986:139,140). Demikianlah karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibnu Thufail, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi dan seterusnya.  Toledo memang jembatan bagi dunia Barat dalam mencerdaskan bangsa dan perasaan seni. Sementara menurut Abdus Salam (1983:9), Toledo dan Salerno merupakan awal penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalakan cemerlang. Di sinilah maka ketika George Sarton --seorang pakar sejarah sains-- membagi daur era penciptaan sains, Islam tampil progresif. George Sarton membagi prestasi sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era berjangka waktu sekitar setengah abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama: Pertama, tahun 450 sampai 400 S.M adalah era Plato, yang lantas diikuti oleh oleh Aristoteles, Euklides dan Archimedes; kedua, dari tahun 600 sampai tahun 700 M adalah era China dengan tokoh utamanya Hsiian Tsang dan I Ching; ketiga, dari tahun 750-1100 M, 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir, Khawarizmi, Razi, Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsam dan Umar Khayam, mereka adalah bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah tahun 1100 ini  muncul nama-nama Barat untuk pertama kalinya: Gerardo dari Cremona dan Roger Bacon, tetapi kehormatan ini masih harus dibagi selama 250 tahun berikutnya dengan nama-nama Ibn Rusyd, Nasiruddin, Thusi, Ibn Nafis, para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan ‘teori perkembangan darah’. Ya, kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam niscaya bangsa Barat tak akan semaju seperti sekarang. Filsafat Islam, meskipun mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11 M di Persia dan negeri-negeri Islam timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhruddin Al-Razi, tidaklah sekadar hijrah ke Spanyol dan menikmati  musim semi yang singkat di tangan Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dan akhirnya mati mengering di ujung Barat dunia Islam. Filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M,  sementara dua generasi sebelumnya suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh Syuhrawardi yang menamainya mazhab Pencerahan (isyraq). Lebih lanjut, “sains mistisisme” atau ‘irfan (gnosis) terumuskan kira-kira pada waktu yang bersamaan oleh Ibn ‘Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif dengan tradisi filsafat Islam maupun dengan teologi atau kalam yang saat itu telah menjadi semakin “filosofis” (S.H Nashr dalam Yazdi,1994: 8). Hasil dari semua perkawinan-silang ini adalah beberapa kegiatan filsafat yang ekstensif di Persia yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Quthbuddin Syirasi, Dabiran Katibi, Atsiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani, keluarga Dasytaki serta tokoh-tokoh lain yang sedikit sekali dikenal di dunia Barat. Masa pendekatan dan pencampuran ini, yang berlangsung selama kira-kira tiga abad, mencapai kulminasinya dengan Mazhab Isfahan yang di bangun oleh Mir Damad pada abad ke10 H/16 M dan mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra, muridnya. Meskipun terjadi pasang surut pada masa akhir periode Safawi dan pengrusakan sebagian besar kota Isfahan akibat sebuan bangsa Afghan pada abad ke-12 H/18 M, namun obor filsafat Islam yang menyala kembali di tangan Mulla Sadra terus berlanjut hingga masa dinasti Qajar ketika sekali lagi Isfahan, di bawah Mullah ‘Ali Nuri menjadi pusat besar filsafat ini, sementara Teheran juga mulai muncul sebagai pusat kegiatan filsafat sejak abad ke-13 H/19 M hingga seterusnya. Selama masa ini sejumlah filosof penting seperti Hajji Mullah Hadi Sabziwari dan Mullah ‘Ali Zunuri muncul di atas gelanggang dan menulis makalah-makalah penting yang dibaca kalangan-kalangan tradisional Persia hingga sekarang. Mereka juga melatih banyak siswa yang mengemban tradisi yang hidup dari mazhab ini dengan menekankan pengajaran secara lisan dan tulisan hingg amasa dinasti Pahlevi dan dunia semasanya (Nashr, dalam Yazdi, 1984:8).   Kemunduran Intelektualisme Islam Kini kita tidak bisa menutup-nutupi kelemahan kita, bahwa umat Islam sekarang jauh tertinggal dengan dunia Barat di bidang sains dan teknologi. Padahal kita sendiri sadar, bahwa khazanah intelektual itu telah ditumbuh-suburkan oleh para pendahulu kita, umat Islam sejak beberapa abad silam, yang lantas dimanfaatkan oleh dunia Barat. Kenapa sekarang umat Islam mundur? Banyak ahli sejarah membuktikan, bahwa kemunduran umat Islam itu karena du faktor: eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah, karena kekalahan umat Islam dalam perang Salib yang berkepanjangan (Hitti hanya menyebutkan antara tahun 1144-1270); dan adanya serangan yang amat dahsyat dari bala tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan (1155-1227) dan cucunya, Hulagu Khan (1217-1265). Kemudian faktor internalnya adalah semakin memudarnya tali persaudaraan umat dan munculnya fanatisme golongan. Seperti yang disorot oleh Sykib Arselan dalam bukunya Limadza Taakhar al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum, bahwa kemunduran umat Islam di samping karena faktor eksternal juga karena adanya faktor internal, yaitu hancurnya kesatuan dan persatuan antar umat Islam, munculnya konservatisme, taklid buta dan acuh tak acuhnya terhadap sains modern yang merupakan warisan intelektual Islam. Oleh sebab itu menurutnya, perlu dibangkitkan ukhuwah Islamiyah dan jihad serta ijtihad (lihat juga Syakib Arselan, 1984). Stoddard (1992: 26) menyebutkan, bahwa menjelang abad 18 dunia keilmuan dalam Islam telah merosot ke tingkat yang paling rendah. Monoteisme Muhammad yang murni telah tertutup oleh takhayul dan tumbuh-suburnya mistisisme yang salah. Islam tampaknya telah mati dan yang tinggal hanyalah ritualisme yang tanpa nilai spiritual. Seandainya Muhammad bisa muncul kembali ke bumi, ia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik. Stoddard ini sedang berbicara tentang periode ketika imperium Mongol di India, Safawi di Persia dan Ottoman di Turki yang sedang berakhir riwayatnya serta seluruh dunia Islam yang bertekuk lutut di hadapan bangsa Barat yang tengah berkuasa. Sejak masa Nabi hingga menguasai kawasan luas di Asia, Afrika dan juga Eropa dengan progresivitas peradabannya, sains dan filsafat. Tetapi itu semua kini telah berakhir (lihat C.A Qadir, 1989:130). Abdussalam, seorang fisikawan kenamaan Muslim dan juga pemenang hadiah nobel serta sejumlah award lainnya menuturkan, bahwa sesudah tahun 1350 sains di dunia Islam mulai memudar. Hanya kadang-kadang saja letupan ilmiah itu muncul seperti yang tampak dalam diskusi tentang masalah astronomi di istana Ulugh Beg di Samarkand tahun 1437. Kemudian masih diketemukan kompilasi oleh Zijj Muhammad Shahi di istana raja Mongol, Delhi tahun 1720 yang mengoreksi tabel-tabel Eropa yang terbaik saat itu. Tapi, meski kontribusi-kontribusi semacam itu masih ada, tradisi ilmiah yang utama tak lagi bertahan, jauh sebelum ia mulai surut dan ahirnya membeku (Abdussalam, 1983:10). Selanjutnya Abdussalam berkesimpulan, bahwa matinya aktivitas sains di persemakmuran Islam itu telah banyak disebabkan oleh faktor-faktor internal. Memang benar, kenyataan bahwa ada faktor dari luar seperti kehancuran yang ditimbulkan oleh bangsa-bangsa Mongol. Namun betapapun menyedihkan peristiwa itu barangkali lebih bersifat sementara. Sebab enam puluh tahun pasca Jengis Khan - cucunya, Hulaagu Khan justru mendirikan sebuah observatorium di Maragha (Abdussalam, 1983:13). Memang, apa yang dikatakan oleh Abdus Salam itu tidak berlebihan, jika dikaitkan dengan analisis kesejarahan. Dalam perspektif sejarah Andalusia misalnya, kekalahan umat Islam lebih disebabkan oleh faktor intern umat Islam itu sendiri. Polarisasi umat Islam secara internal yang mengakibatkan disintegrasi antar mereka membuat peluang besar bagi kemenangan Kristen/Barat saat itu. Polarisasi tersebut juga akibat adanya rasa primordialisme (‘ashabiyah) dan sektarianisme. Dalam kasus Andalusia/ Spanyol dapat kita lihat, bahwa hancurnya raja-raja golongan (muluk at Tawaif), Al-Murabithun dan Al-Muwahhidun serta kerajaan Oranada adalah karena renggangnya tali persaudaraan mereka, bahkan antar satu golongan dengan golongan yang lain saling bermusuhan. Dan ironisnya, untuk melawan “musuh” yang seagama mereka tak sega-segan minta bantuan kepada orang Kristen. Perpecahan itu sedemikian hebatnya sehingga mereka dapat dikalahkan oleh kekuatan Kristen yang jumlahnya hanya 700 bala tentara, relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah bala tentara umat Islam saat itu yang 3000 orang di bawah komando Al-Mu’tamid (1068-1090). Keadaan seperti ini juga nampak ketika pertama kali umat Islam menyerbu Spanyol pada tahun 711 di bawah komandan Thariq bin Ziyad. Di saat itu kekuatan Kristen jauh lebih besar jika dibandingkan dengan umat Islam (12. 000:25.000), tetapi dalam kondisi bersatu dan semangat jihad yang tulus ikhlas. Di samping itu menurut Umar Asasuddin Sokah (1990:63), keislaman mereka masih kuat, sebab kehidupan mereka masih sederhana dan tuntutan tidak begitu besar. Akan tetapi tiga abad kemudian, mereka telah terpengaruh oleh kemewahan dunia (hedonisme) di Andalusia, yang mengakibatkan degradasi moral, etos jihadnya luntur untuk kemudian meninggalkan kesatuan dan persatuan, cerai berailah mereka. Sebagaimana juga kata Watt (1967: 93), diketika penguasa-penguasa Muslim saling berperang dan bermusuhan diantara mereka itulah, orang Kristen mengatur barisan dan memperkuat diri. Kerajaan Leon dan Castilla bergabung menjadi satu untuk menggempur umat Islam yang sedang rapuh karena disintegrasi itu. Kehadiran Al-Murabbithun dan Al-Muwahhidun mampu memperlambat kejatuhan mereka selama satu setengah abad, sebab dengan kehadiran dua rezim tersebut mereka tetap saja bercerai-berai, hati mereka telah tertutup oleh kebenaran al-Qur’an yang tegas-tegas menyuruh umat Islam untuk bersatu dan berpegang teguh pada tali Allah (lihat Q.S Ali Imran: 103, Al-Hujurat: 8-13). Kondisi ssosial yang terpecah belah tersebut dimanfaatkan oleh Kristen untuk menghantam umat Islam, dan kebetulan mereka dapat bantuan dari jamaah perang salib yang datang dari Prancis, Jerman dan Itali (pasukan multi nasional). Pada saat inilah kaum Muslimin dapat pukulan telak pada pertempuran di Las Navas de Tolossa (1212 M). Di sini pulalah sebanyak satu juta umat Islam terbunuh dan setengah juta lagi mengungsi di Afrika Utara (lihat, Umar, 1990: 64). Sebagaimana yang dicatat oleh Harun Nasution (1991:12-14), bahwa dalam garis besarnya sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode: Periode klasik, pertengahan dan modern. Periode klasik (650-1250 M), merupakan zaman kemajuan. Zaman ini juga dibagi ke dalam dua fase: pertama fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India Timur. Daerah-daerah tersebut tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kamudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, zaman ulama’ besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hanbal di bidang hukum. Muncul pula tokoh-tokoh Islam seperti Al-Asy’ari, Al-Maturidi (keduanya disebut pendiri mazhab Ahlussunnah); Wasil bin Atha’, Abu Hudzail, An-Nazhan, Al-Jubba’i, dari kelompok Mu’tazilah; Dzunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami dan Al-Hallaj dari kalangan sufi dan Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih dari kalangan filosof serta Ibn Haisam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Al-Razi di bidang ilmu pengatahuan. Kedua fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa ini keutuhan umat Islam di bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan sampai pada akhirnya Baghdad dapat di rampas dan di hancurkan oleh Hulagu Khan tahun 1258 M. Khalifah sebagai lambang kekuasaan politik umat Islam hilang. Periode pertengahan (1250-1800 M). Periode ini juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama fase kemunduran (1250-1500 M). Zaman ini disintegrasi semakin tajam. Perbedaan antara Sunni Syi’i, demikian juga antara Arab dan Persi nampak kentara sekali. Dunia Islam terbelah dua: antara Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Syiria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Issu pintu “ijtihad tertutup” semakin meluas dikalangan umat Islam, sementara perhatian terhadap ilmu pengetahuan semakin memudar dan praktek tarekat disalah gunakan dan pada saat yang sama umat Islam di Spanyol dipaksa hengkang dari wilayah itu. Kedua, fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). tiga kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa itu tiga kejaan tersebut memiliki kejayaan masing-masing, terutama di bidang literatur dan arsitek. Kemudian masa kemunduran ditandai oleh serangan Eropa terhadap kerajaan Utsmani, serangan bangsa Afghan terhadap kerajaan Safawi dan diperkecilnya peran kerajaan Mughal oleh raja-raja India. Pada saat ini kekuatan militer dan politik umat Islam menurun sementara penetrasi Barat kian meluas sampai pada ahirnya Mesir sebagai salah satu pusat Islam terpenting dapat diduduki oleh Napoleon tahun 1798 M. Periode modern (1800 M-dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam kembali. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan dunia Islam akan kelemahannya dan semakin menyadari bahwa Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi dunia Islam. Pada saat inilah para raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali, hingga pada ahirnya memunculkan tokoh-tokoh pembaharu. Padamnya perkembangan alam pikiran Islam disebut oleh Yoesoef Sou’yb (1991:54), sebagai akibat adanya fatwa “haram” mempelajari logika dan filsafat sejak abad 13 M. Sejak itu, hingga menjelang abad 19 M umat Islam dalam kondisi jumud dan involutif. Dalam masa enam abad itu dunia Islam tidak pernah lagi melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan dan filosof yang dapat mengimbangi mereka. Dunia Islam pada saat ini hanya mampu melahirkan pakar-pakar fiqh dan mistik dengan pertumbuhan dan perkembangan ragam tarekat yang semakin menjauh dari urusan duniawi. Baru menjelang penghujung abad 19 M bangkit gerakan pembaruan dalam dunia Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1838-1898 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) yang mempunyai pengaruh luas di dunia Islam. Harun juga menyebutkan, bahwa mundurnya pemikiran Islam sesudah zaman klasik adalah diwarnai oleh gelombang anti filsafat. Menurutnya (lihat Harun Nasution, 1991:59-60), umat Islam saat itu mengikuti Al-Ghazali yang mereka salah faham sebagai figur anti filsafat. Padahal Al-Ghazali sendiri adalah sosok filosof. Bahkan di dalam karyanya. Ia hanya menunjuk tiga butir pikiran falsafi yang menyebabkan kekafiran, dan tidak pernah secara eksplisit menyatakan anti filsafat. Sesudah itu muncul Ibn Taimiyah yang memang nyata-nyata anti logika Aristoteles. Ini disebabkan karena ia penganut mazham Hanbali yang anti logika (akal) dan sepenuhnya hanya berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (nash an sich). Disamping munculnya teologi deterministik Jabariyah yang menafikan kemampuan akal. Alasan mengapa umat Islam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam zaman keemasan antara abad 8-11 M tak sulit untuk di lacak. al-Qur’an dan al-Hadits tak habis-habisnya menyeru umat Islam untuk selalu meneliti, mengkaji dan memelihara alam yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Mengapa peradaban Muslim saat itu mampu menunjukkan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan? Apa yang memotivasi mereka untuk menuntut pengetahuan itu dengan cermat dan teliti sampai pada tingkat memberikan sumbangan pelopor? Sebagaimana kata Ahma Anees (1991: 80), bahwa hanya ada satu kekuatan di balik itu semua, yaitu konsep tentang ilmu dan operasionalisasinya. Dengan demikian, tiga atau empat abad pertama kehidupan peradaban Muslim, kita menyaksikan suatu intelek yang berkembang dengan dahsyat dan tampak hasil suatu operasionalisasi ilmu yang universal. Dengan pertanda yang sama, kita boleh berdalih bahwa peradaban Muslim memperhatikan dirinya sendiri pada jalan kemerosotan dan degenerasi dengan menurunkan konsep ilmu yang sempit dan kontradiktif dengan dirinya sendiri. Rosenthall juga menjelaskan, bahwa konsep-konsep dan fungsi-fungsi pinggiran suatu peradaban dapat mengalami perubahan-perubahan tanpa mendapat kerugian. Namun ketika konsep sentralnya di hadapkan pada perubahan, maka hal ini berarti menghilangkan identitas peradaban dan bahkan dapat menandai masa akhirnya. Atas dasar ini lantas Anees berkesimpulan, bahwa kemerosotan dalam peradaban Muslim secara langsung ditampakkan pada “konsep ilmu yang salah/menyimpang”. Dengan berlalunya waktu, lalu perpecahan politis yang meningkat, pertentangan-pertentangan fraksi dan sektarian  dan kejumudan, maka degenerasi ini menjadi semakin cepat. Sehingga pada akhir abad ke-17, kolonialisasi Barat atas dunia Islam telah dimulai, dan pada awal abad ke-20, kekuatan simbolik terakhir dari kekuatan politik Muslim, yakni khilafah Utsmaniyah telah musnah.

Al-Qur’an dan Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa al-Qur’an di antara fungsinya  adalah sebagai hidayah, peringatan, syifa’, dan rahmat. Fungsi al-Qur’an sebagai hidayah itu dijelaskan di antaranya dalam surat Al-Baqarah: 2 dan185. Fungsi al-Qur’an sebagai peringatan dijelaskan dalam surat Al-Furqan:1, Shad:87, Takwir:27 dan fungsi al-Qur’an sebagai obat sakit jiwa (psikosis-neurosis) dan rahmat dijelaskan dalam surat al-Isra’: 82. Pertanyaannya kemudian, kapan al-Qur’an menjadi hidayah, dan syifa’ bagi manusia? Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai hidayah bagi manusia setidaknya dengan tiga syarat: Pertama, selagi al-Qur’an itu dibaca. Al-Qur’an sendiri artinya bacaan, kitab yang dibaca; kedua, selagi al-Qur’an itu dikaji, direnungkan dan dihayati maknanya; ketiga, selagi al-Qur’an itu diamalkan isinya dan diikuti petunjukknya. Jika ketiga hal di atas tidak dipenuhi, maka al-Qur’an tidak akan memberikan petunjuk, obat maupun rahmat bagi manusia. Mana mungkin al Qur’an bisa memberikan hidayah kepada manusia tanpa manusia membaca dan menghayatinya? Ibarat rambu-rambu lalu lintas, mana mungkin pengendara kendaraan bisa aman di jalan/ tahu arah tanpa ia bisa membaca dan memahami rambu-rambu tersebut? (dan tentunya harus mentaatinya). Orang terpelajar tentu seharusnya mampu membaca dengan arti yang sesungguhnya, yaitu mampu menangkap isyarat atau makna al-Qur’an tersebut, untuk kemudian mau mengamalkannya. Jangan sampai kita termasuk orang yang dilaknat al-Qur’an itu sendiri sebagaimana yang disinggung oleh Nabi: “Banyak orang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an melaknatinya”. Kenapa? Karena mereka tidak menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan hidupnya, tidak menjadikan al-Qur’an sebagai akhlaknya. Oleh sebab itu orang yang terdidik (intelektual) amat potensial  untuk mendekatkan diri (takwa) kepada Allah, sebab ia mau membaca dan mengkaji maknanya, dan lebih dari itu adalah mengamalkannya. Inilah manusia ulu al-‘ilmi, ahl al-zikri  dan  ulul albab. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi ilmu pengetahuan maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak. Terkait dengan informasi ilmu pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi, baik akademisi Timur maupun Barat yang mengakui akan kemukjizatan al-Qur’an. Dan tidak sedikit dari kalangan mereka yang kemudian tunduk, khudhu’  wal- inqiyad,  alias menjadi muslim. Bahkan yang tidak muslim pun bisa mendapatkan informasi ilmiah dari al-Qur’an, sebagaimana yang dialami oleh para orientalis itu. Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur’an mereka mau mempelajari secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak? Kenapa selama ini kita banyak mengetahui informasi ilmiah justru lewat orang Barat yang sekuler, bukan dari al-Qur’an yang milik kita sendiri yang nyata-nyata di dekat kita, di telinga kita? Suatu contoh, kita tahu bahwa matahari berputar pada porosnya, bahwa asal muasal alam ini air adalah dari ilmuwan Barat dan Filosof Yunani (Thales). Kenapa tidak dari al-Qur’an yang kita baca setiap hari? Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya’ itu Allah berfirman: “Dan matahari berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS. Yasin:38). “Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini  berasal dari air” (QS. Al-Anbiya’: 36). Seorang filosof Perancis yang bernama Al-Kiss Luazon menegaskan: “al-Qur’an adalah kitab suci, tidak ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di zaman modern ini yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam”. Dr. Reney Ginon --setelah masuk Islam kemudian berganti nama, Abdul Wahid Yahya-- juga bercerita: “Setelah saya mempelajari secara serius ayat-ayat al-Qur’an dari kecil  yang terkait dengan ilmu pengetahuan alam dan medis, saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dan kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern. Saya masuk Islam karena saya yakin bahwa Muhammad saw. datang ke dunia ini dengan membawa kebenaran yang nyata, seribu tahun jauh sebelum ada guru umat manusia ini”. Selanjutnya ia menegaskan: “Seandainya para pakar dan ilmuwan dunia itu mau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an secara serius yang terkait dengan apa yang mereka pelajari, seperti yang saya lakukan, niscaya mereka akan menjadi muslim tanpa ragu --jika memang mereka berpikir objektif --katanya” (Abdul Muta’al, La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah, 1980: 8). Itulah kehebatan al-Qur’an, memang benar ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. yang terbesar. Al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi ilmiah, tetapi ia memiliki fungsi petunjuk, rahmat dan obat bagi kita. Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa memberikan syafaat di hari kiamat, menjadi penerang di rumah kita di tengah-tengah keluarga kita. Janganlah kita termasuk orang yang jauh dari al-Qur’an sehingga ibarat rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana yang ditegaskan Nabi. Pesan-pesan wahyu Tuhan itulah yang seharusnya menjadikan umat Islam memiliki kesadaran ilmiah. Oleh sebab itu jika umat Islam tidak ingin tertinggal maju dengan dunia Barat, maka sudah saatnya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) warisan intelektual Islam yang selama ini terabaikan, dan bila perlu mendefinisikan kembali (redefinisi) ilmu dengan dasar epistemologi yang diderivasi dari wahyu itu. Adalah benar apa yang dideskripsikan oleh H.A.R. Gibb (seperti yang dikutip Abdussalam, 1993:17), bahwa tumbuh-suburnya sains dalam masyarakat Islam lebih banyak tergantung pada keliberalan dan dukungan mereka yang berkedudukan tinggi (penguasa). Di mana masyarakat Islam mengalami keruntuhan, di situ sains kehilangan vitalitas dan kekuatan. Tetapi, selama di salah satu wilayah masih terdapat penguasa-penguasa atau menteri-menteri yang masih memberi dukungan pada sains, maka obor ilmu akan tetap menyala. Memang hal ini nampak sampai pada abad ke-14, kemudian dukungan itu hilang. Indikasi dari situasi ini nampak dalam peristiwa peledakan observatorium bintang di Istambul Turki oleh meriam-meriam angkatan laut atas perintah Sultan Murad III pada abad ke-16, dengan alasan bahwa tugas observatorium untuk mengoreksi jadwal astronomi Ulugh Beg telah selesai, yang lantas dianggap tidak perlu lagi (Abdussalam, 1993:17). Reorientasi intelektual umat Islam harus dimulai dengan suatu pemahaman yang benar dan kritis atas epistemologinya. Dengan begitu, sebuah reorientasi seharusnya bukan merupakan suatu pengalaman yang baru bagi kita, melainkan sekedar sebuah proses memperoleh kembali warisan kita yang hilang. Pertanyaan kita sekarang, dapatkah kita memimpin dunia kembali di bidang sains? Dengan optimis Abdussalam (1983:19-20) menjawab, bisa! Asalkan katanya, masyarakat secara keseluruhan –terutama kaum mudanya– bersedia menerima kenyataan sebagai tujuan yang di idam-idamkan. Generasi muda sekarang harus didorong untuk berfikir ilmiah, mengejar sains dan teknologi dengan menggunakan 1-2% dari Pendapatan Nasional Bruto untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, paling sedikit sepersepuluhnya. Hal demikian telah dilakukan oleh Jepang ketika revolusi Maiji. Kaisar Jepang bersumpah akan mencari ilmu pengetahuan dari manapun datangnya meski dari sudut-sudut bumi ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh Uni Soviet enam puluh tahun lalu, ketika Akademi Ilmu Pengetahuan berambisi untuk unggul dalam sains. Dan langkah ini pulalah yang ditiru secara berencana oleh RRC yang hendak bersaing dengan Inggris Raya. Penguasaan sains dan teknologi begitu pentingnya, hingga Sutan Takdir Ali Syahbana (1992) menghimbau –dalam konteks Indonesia– untuk menghadapi masa depan umat manusia, maka bangsa Indonesia harus meningkatkan kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan jalan menyediakan dana sebanyak mungkin untuk pengiriman generasi muda ke luar negeri, ke pusat-pusat ilmu pengetahuan. Dan cara lain menurut Takdir adalah menterjemahkan karya-karya sains dan teknologi tersebut. Dia mencontohkan, ketika Jepang belum maju seperti sekarang mereka berusaha menterjemahkan buku-buku berbahasa asing. Sejak 150 tahun yang lalu orang Jepang sudah melakukan penterjemahan sekitar 2000 hingga 2500 buku setiap tahunnya. Dan tahun 1990-an Malaysia sudah mampu mengirimkan mahasiswanya ke luar negeri sekitar 7000 setiap tahunnya. Tapi Indonesia, katanya, 3000 saja tidak mampu, sementara upaya penterjemahan buku-buku sains maksimal hanya 100 buku saja. Jalan lain untuk menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan kampus sebagai pusat riset dan pengembangan ilmiah. Masalah sentral yang perlu segera digarap, yang menyangkut angkatan muda di dunia Islam menurut Hussein Nasr (1989:6) adalah, pertama, bagaimana memberikan yang cukup untuk mereka, bagaimana memahamkan pesan-pesan Islam secara tepat dan benar; kedua, jangan sampai menumbuhkan angkatan muda kita seolah-olah dalam suatu kondisi vacum, jangan sampai mereka hanya tahu masalah ritual saja dan membiarkan mereka terperangkap ke dalam nilai-nilai sekuler Barat. Mereka harus disadarkan, betapa kekayaan khazanah intelektual dan tradisi spiritual Islam. Kita harus menumbuhkan kembali tradisi spiritual dan intelektual Islam yang cukup panjang dalam sejarah itu. Kita tidak boleh membiarkan mereka terjebak oleh slogan dan gelombang peradaban Barat yang sekuler. Dengan kata lain, kita berharap untuk bisa mencetak generasi pemikir Islam yang handal, yang memiliki wawasan luas dan jauh ke depan, bukan generasi yang jumud dan fanatik. Kita telah memiliki tradisi keilmuan yang sudah berusia 14 abad, yang berisi ajaran-ajaran tentang: bagaimana kita harus berhubungan dengan Allah, dengan sesama mahluk dan juga dengan alam semesta ini. Tradisi keilmuan dengan bimbingan wahyu harus dihidupkan kembali untuk menjawab tantangan modernitas. Sekarang ini pembaharuan-pembaharuan pendidikan di seluruh dunia Islam lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan terhadap tonggak intelektual Barat dari pada membentuk kembali sumberakalnya sendiri. Jika kita tidak mendefinisikan kembali tingkat-tingkat konseptual yang sesuai dengan warisan-warisan klasik kita, sebagaimana mendefinisikan kembali pandangan-dunia (world-view) Islam, maka kita hanya akan menoreh luka-luka intelektual kita sebelumnya (Anees, 1991: 83). Bukankah sains dan teknologi adalah warisan intelektual umat Islam sendiri? Oleh sebab itu kita harus menemukan kembali warisan yang berharga itu. Kita mesti ingat sabda Nabi: “Bahwa ilmu pengetahuan (hikmah) itu perbendaharaan umat Mukmin yang telah hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya”. Umat Islam dengan pandangan-dunia-nya sendiri kata Anees (1991:83), memiliki dua tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, pertama, untuk membuat dan menghasilkan dasar ilmu-nya sendiri, yang merupakan sebuah sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi yang organis; kedua,tanggung jawab moral terhadap umat manusia dan alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi kesejahteraan material dan spiritual yang terbaik. Karena ilmuwan muslim sebagai pewaris para Nabi, maka ia memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai: saksi terhadap perbuatan dirinya maupun orang lain, yang sudah tentu sebagai saksi Tuhan ini harus adil dan jujur; penyeru ke jalan Allah dan petunjuk ke jalan yang benar, amar ma’ruf nahyi mungkar (lihat Q.S Al-Ahzab: 45-46); dan wakil Allah di bumi. Karena sebagai hamba yang dipercayai oleh Allah, maka harus bertanggung jawab atas amanat yang dipikulkan itu. Sebagaimana kata Syah Idris (Budiman, 1988 : 12-13), bahwa baik pakar ilmu pengetahuan alam maupun sosial muslim sama-sama dibebani kewajiban untuk merumuskan konsep sains yang baru dan radikal, yang benar-benar ditegakkan di atas pengakuan dan ketaatan terhadap keesaan Allah SWT, mengakui dan mengikuti Muhammad SAW sebagai utusan-Nya dan menerima al-Qur’an sebagai firman-Nya. Tugas dan tanggung jawab ilmuwan muslim tersebut menurut Idris adalah:
  1. Menunjukkan eksistensi Allah bukan semata-mata sebagai masalah keimanan yang taken for granted, tatepi juga fakta yang kebenarannya dapat dibuktikan secara rasional. Hal yang sama juga dapat diterapkan terhadap kerasulan Muhammad, dan keaslian al-Qur’an. Tentu saja bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa setiap orang dari kita harus menyadari kenyataan bahwa masalah tersebut bukan semata-mata masalah religius murni, sehingga sebagai seorang ilmuwan seolah-olah tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Bahkan masih ada keuntungan psikologis, terutama yang disebabkan oleh pemakaian (dan juga penghayatan) atas sains yang didasari oleh sikap mengabaikan terhadap kemulyaan keyakinan kita.
  2. Apabila kita berhasil dalam melasanakan hal tersebut, kita akan dapat membuktikan bahwa sains ‘kita’ memiliki landasan yang cukup kokoh, yakni pada kebenaran yang dapat dibuktikan secara rasional, bukan seperti sains Barat tegak di atas anggapan angapan yang bukan saja keliru, bahkan rasionalitasnya pun masih perlu dibicarakan. Tugas kita selanjutnya adalah memikirkan konsekuensi praktis dari pandangan tentang sains yang lebih menyeluruh dan lebih luas. Setiap orang dibebani kewajiban untuk melakukan revisi atas sains berdasar spesialisasi masing-masing, dengan titik pandang yang lebih Islami, lewat cara-cara peniadaan tehadap hal-hal yang tidak sesuai dengan fondasi baru tersebut, serta memasukkan ke dalamnya unsur-unsur baru yang sesuai – baik yang berasal dari al-Qur’an atau pun As-Sunnah. Hingga akhirnya sains baru yang berhasil disusun tersebut dapat dipergunakan untuk menjelaskan dan memecahkan masalah-masalah praktis, serta untuk menarik kesimpulan-kesimpulan baru.
  3. Apabila kita telah berhasil dalam bidang tersebut, maka psikologi dan sistem pendidikan kita akan tegak di atas dasar kebenaran asasi tentang manusia, yaitu kebenaran yang benar-benar menjelaskan esensi kepribadiannya sebagai hamba Allah. Dan sebelum dirinya mengetahui kebenaran ini, ia takkan sampai pada ketenangan pikir yang sejati. Penjelasan kita atas sejarah manusia dan kenyataan sosial tentu tidak akan memandang fakta-fakta sejarah semata-mata sebagai rangkaian peristiwa yang kebetulan dan tak bertujuan, melainkan sebagai bentuk pelaksanaan kehendak Dzat Allah SWT.
                                 

BIBLIOGRAFI

    Amin, Ahmad.1969, Fajr al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. Abdussalam .1983.  Sains dan Dunia Islam, terj. Baiquni, Bandung: Pustaka. Al-Ahwani, Fuad .1962. Al-Falsafah al-Islamiyah, Mesir: Maktabah an-Nahdhah. Al-Faruqi, Islmail, R., .1991. “Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial” dalam Bagader, A. (ed.), Islam and Sociologi Perspective, terj. Mahnun Husein, Surabaya: Amar press. Alisyahbana, Sutan Takdir .1992.  dalam Pelita, 3 Agustus. Anees, Munawar Ahmad .1991. “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal Studi-studi Islam, Juli-Oktober, Bandung: Yayasan Mutahhari. Arselan, Syakib .1984. “Kemunduran Kita dan Sebab-Sebabnya” dalam John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Rajawali. De Boer .1961. The History of Philosophy in Islam, terj. E.R. Jones, New York: Dover Publication, Inc. Depag RI, 1985. al-Qur.an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, Fakhry, Madjid .1983. A History of Islamic Philosophy, New York: Colombia University Press. Hanafi, Ahmad. 1982. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Hitti, Philip .1970. The Arabs: A Short History, terj. Ushuluddin Hutagalung dkk., Bandung: Sumur Bandung. Jujun S. Suriasumanteri .1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jujun S. Suriasumantri .1990. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,, Jakarta: Gramedia. Madkur, Ibrahim .1986. “Filsafat Islam dan Renaissans Eropa” Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, Bandung: Pustaka. Nasr, Sayyed Hossein dalam Yazdi, Mahdi Ha’iri, 1994. Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Islam, Bandung, Mizan. Nasr, Sayyed Hossein, 1970, Science and Civilisation in Islam, The New American Library. Nasution, Harun.1991. Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Poeradisastra .1986. Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Jakarta: P3M. Qadir, C.A. .1989. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.. Shiddiqi, Nouruzzaman .1986. Tamaddun: Bunga Rampai Sejarah Muslim, Jakarta: Bulan Bintang. Sokah, Umar Asasuddin .1990. Lenyapnya Islam di Spanyol, Makalah, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Sou’yb, Yoesoef 1991. “Tradisi Filsafat dalam Lingkungan Sunni” dalam Majalah Pesantren. No. 3/vol. VIII.   Stoddard, Lothrop .1922. The New World of Islam, New York, dikutip dari C.A Qadir. Watt, W. Montgomery  .1967. A History of Islamic Spain, Edinburg: The University Press. Watt, W. Montgomery .1987. Islamic Theology and Philosophy, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M.                                                  


[1] Meski Nabi sendiri ummi, tetapi ke-ummi-an beliau sangat beralasan untuk menolak anggapan, bahwa al-Qur’an itu ciptaan-Nya.
[2] Kaum Monofisit adalah sebuah sekte Kristen yang berbendirian, bahwa hanya satu kodrat dalam diri  Kristus.  
[3] Kaum Nestorian adalah penganut ajaran Nestorius, Uskup Konstantinopel, yang berpendirian bahwa Kristus mempunyai dua pribadi yang dapat dibedakan satu sama lain, yang satu Ilahi dan yang lainnya  
[4] Karya-karya Plato dan Aristoteles yang diterjemahkan itu adalah: Theatetus, Cratylus, Sophistes, Permanides. Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan semuanya tercatat dalam buku Al-Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh al-Hukama’ karya Al-Qafti; Timaeus, buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dengan ulasan Plutarchus. (Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya tersebut); Phado, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan Phaedrus karya tentang cinta, keduanya merupakan disiplin psikologi; Politicus, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dan Law (undang-undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi; Sedangkan karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti: Categorie (Al-Maqalat) berisi tentang sepuluh macam ke yang diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’, lantas diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn dan selanjutnya diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dengan ulasannya dari Iskandar Aphrodisis; Interpretation yang dunia Arab Islam dikenal dengan nama Pori-Armenias, berisi keterangan mengenai bahasa: proposisi dan bagian-bagiannya. Karya tersebut semula diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’ (ke dalam bahasa Persi kuno) kemudian disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunain; Analytica Priaora (uraian pertama) ysng membahas tentang metode keilmuan. Diterjemahkan oleh Mattius bin Yunus ke dalam bahasa Suryani. Kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn; Analytica Posteriora (uraian kedua) diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dan Abu Utsman al-Damsyiqi; Sophistic Elenchi (kesalahan-kesalahan Sofistik) disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunayn dengan judul Al-Hikmah al-Muwawwahah (filsafat yang menipu); De Caelo (langit) diterjemahkan oleh Petrick, kemudian diringkas oleh Naicholas Damascus; Anima (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn (semula diterjemahkan oleh Yahya bin Bitrik, pen.); Ethica Nicomachaes yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut Aristoteles (Lihat Ahmad Hanafi, 1982:66-73).  

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up