KADERISASI ULAMA’ DAN PENDIDIKAN PESANTREN
Dr. HM. Zainuddin, MA Selasa, 15 Oktober 2019 . in Wakil Rektor I . 3400 views


Ulama, begitu mulia dan pentingnya sosok manusia ini sehinga selalu aktual untuk disebut-sebut. Ketika banyak terjadi penyelewengan sosial di bumi ini maka ualma’ pun menjadi sasasaran pengaduan. Ulama, memang harus menjadi panutan dalam segala ihwalnya.



Kini, dalam era modern, yang ditandai dengan kemajuan teknologi, urbanisasi, masalah peledakan penduduk, ulama’ semakin ditantang untuk tetap eksis dan berperan dalam masyarakat. Hingga MUI pun membuat rekadaya “pengkaderan ulama’”, karena munculnya issu santer mengenai terjadinya krisis ulama itu. Demikianlah betapa pentinya makhluk yang bernama ulama’ itu, hingga orang Arab pun  mengatakan laulal ulama’ lakanannas kalbahaim,  seandainya tidak ada ulama’ maka manusia akan seperti binatang. Ya, seperti kata Nabi juga bahwa al-Ulama’ waratsatul anbiya’, ulama adalah pewaris para nabi.



Kenapa kaderisasi ulama?



Sofistikasi sains dan teknologi serta budaya modern ternyata membuat para ahli khawatir akan berpengaruh fatal terhadap kehidupan manusia  dan bahkan semua makhluk yang ada di bumi ini. Ketika perubahan sosial budaya dalam masyarakat kita kian semakin terasa, maka tuntutan terahadap peran agama semakin besar, sementara kepergian ulama satu demi satu kian bertambah dan belum muncul penggantinya, maka pada gilirannya tuntutan terhadap ulama pun tak kalah besarnya, sebab merekalah sebagai penerus misi agama itu.



Program kaderisasi ulama yang sudah dimulai sejak 21/1/1989 juga didasari atas keprihatinan semakin berkurangnya minat anak-anak untuk mengaji dan belajar di pesantren. Seperti yang diberitakan Panjimas, 601/1989, dari sejumlah 150 ulama yang dibagikan angket oleh MUI, hanya 5 persen dari anak mereka yang tertarik dengan pendidikan pesantren. Sementara itu kekhawatiran akan masa depan sejumlah pesantren kenamaan di sana-sini timbul. Pesantren yang dalam sejarahnya memiliki kontribusi besar, masa depannya dipertanyakan salah satu sebabnya adalah soal penerus kiai, regenerasi pesantren dianggap berjalan pincang, para putera kiai banyak yang tidak mampu membaca kitab. Kondisi semacam inilah yang mengetuk MUI dan mereka yang merasa bertanggung jawab membina ummat. Sejumah 20 peserta lulusan S-1 IAIN dari 16 propinsi , yang usia rata-ratanya 30 tahun itu digodog dan dibekali dengan mata kuliah pokok : Ulumul Qur’an, tafsir, ulum hadis, bahasa dan satra Arab, fiqih perbandingan, fiqih siasah, ushul Fiqih perbandingan filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf dan mata kuliah lintas disiplin: studi teks dan stadium general. Lengkap memang.



Kaderisasi ulama yang bagaimana? Ulama fiqih, ulama tasawuf atau ulama modern? Banyak yang mempertanyakan ini. Sebab menurut Dr.Quraisy Syihab, dosen Pascasarjana IAIN Jakarta, ada ualama yang tahu tentang ayat-ayat kauniyah ada yang hanya tahu tentang ayat-ayat Qur’aniyyah atau kalau menurut istilah Dr.A.M.Sifuddin—direktur pesantren Ulil Albab dan mantan rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor—ada ulama yang tafaqquh  fiddin  dan tafaqquh fikhalqillah. Oleh karena itu kaderisasi ulama harus ada perencanaan yang matang, profesional, bukan sekadar letupan-letupan. Seperti jawaban Dr. Aqib Suminto, Direktur Program kaderisasi Ulama (PKU), adalah ulama yang diperlukan ulama yang berwawasan ke masa depan menghadapi masyarakat yang makin terbuka dan maju, berkepribadian, independen dan menjadi panutan masyarakat (Panjimas, 601/1989).



Ya banyak ahli --baik dari sarjananya maupun kiainya—yang mencoba merumuskan pengertian ulama, yang pada intinya saling melengkapi, meskipun ada yang tidak mengena, sampit. Tapi yang jelas ulama harus memiliki kepribadian, kyasyyah dan mau amar ma’ruf nahi munkar.



Memang kadang-kadang pridikat keulamaan lebih banyak disandangkan kepada para kiai daripada para sarjana. Bahkan hampir semua sarjana, meski ahli masalah-masalah keislaman tidak pernah menyandang gelar ini. Prof. Dr. Rasyidi, Dr. Nurcholish Madjid, Munawir Sadzali dst. Misalnya. Persoalan ini mudah dipahami, sebab sebutan ulama secara kultural sudah amat melekat dalam diri para kiai yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa, utamanya kiai yang ada di pesantren yang juga memiliki kharisma dan kedalaman spiritual. Jadi memang ini persoalan kultur yang sudah membentuk dalam masyarakat, dan pada saatnya, mungkin melalui transformasi sosial akan bergeser pula pengertian itu. Dan begitulah penulis sendiri lebih menekankan kepada sikap moral untuk memberi pridikat ulama, disamping kedalaman ilmu. Pergeseran gelar atau pengertian ini, menurut Drs. Mustuhu –mantan konisi pembaharuan pendidikan nasional dan dosen IAIN Jakarta—adalah karena adanya perbedaan sifat dan tradisi keilmuan yang menjadi keahlian atau profesi mereka (pesantren, 4/1989). Dengan demikian persoalannya menjadi jelas, antara kiai dan cendikiawan muslim tetapi amat dibutuhkan kehadirannya. Kiai lebih banyak sebagai pembina masyarakat pesantren dan pedesaan, sementara cendekiawan muslim lebih banyak sebagai pembina masyarakat kota. Jadi sama-sama memiliki orientasi dan obyek garapan.keduanya jangan dituntut terlalu banyak, sebab tidak semua orang memiliki kemampuan ilmu yang komprehensip.



Seperti yang dikatakan K.H. Ahmad Shiddiq, Rais ‘Am Syuriyah NU, dan juga Quraisy Syihab, mereka itu manusia biasa bukan nabi, yang sudah barang tentu memiliki kekurangan, kelemahan bahkan kekeliruan dalam melaksanakan tugas kewarisan. Drs. Tholchah Hasan, rektor Unisma, juga tidak membenarkan adanya pergeseran ulama dalam kehidupan modern ini. Persepsi tentang tersisihnya peran ulama’ adalah karena terlalu besarnya tuntutan yang diidealkan masyarakat. (Pesantren, 2/1987).



Dengan demikian, apa yang diajukan Dr. Fu’ad Amsyari, dosen Pacasarjana Fakultas Kedokteran UNAIR, bahwa ulama harus memiliki kriteria al: harus menguasai sains dan teknologi, kalau tidak gugur predikat keulamaannya adalah tidak benar (Kiblat, 6/1987). Memang, untuk sekarang kita harus berupaya melengkapi dengan sains dan teknologi, tetapi itu pun hanya terbatas kepada beberapa orang, tidak bisa semuanya.



Sistem Pesantren



Berbicara soal ulama tidak boleh tidak mesti harus melongok dunia pesantren, sebab pesantrenlah yang memproduk pada ulama itu. Ketika orang rame-rame menggugat ulama, mempertanyakan peran dan mengkhawatirkan kelangkaannya, maka pesantren pun menjadi incaran dan pembicaraan penting. Misalnya ketika melihat gejala krisis ulama yang disorot adalah lembaga pendidikan, yang menyangkut kualitas, intensitas dan efektivitas. Kenapa pendidikan pesantren? Perlukah dibenahi? Ya, tentunya ada yang perlu dibenahi dan ada yang harus dipertahankan.



Pesantren sebagai pendidikan tertua di Indonesia, memiliki asset besar al: adanya perhatian besar kiai terhadap santri, rasa hormat dan tawadhu santri terhadap kiai, hidup sederhana, hemat dan mandiri, kesetiakawanan saling menolong, disiplin serta tahan uji. Dalam kehidupan pesantren terlihat leburnya  individualisme dan egoisme. Apalagi kalau dikaitkan dengan persoalan pengangguran, pesantren tidak akan khawatir dengan pekerjaan, sebab pesantren memang tidak menjanjikan promise of job. Tujuan pendidikan pesantren yang asasi adalah untuk mencetak manusia berilmu dan bertakwa. Dua hal: ilmu dan takwa harus dimiliki seorang santri. Berilmu saja tanpa diserta takwa maka akan menjadi riskan.begitu pula sebaliknya.



Kini upaya pembenahan sistem pendidikan pesantren (pengembangan dan pembaharuan) sudah banyak dilakukan. Upaya pembenahan tidaklah mudah sebab, seperti yang dikatakan oleh Prof. A. Mukti Ali, Pesantren adalah milik pribadi kiai. Oleh karena itu, wajarlah kalau masih ada pesantren yang tetap bertahan dengan tradisi lamanya dan tidak mau menerima pembaharuan. Sistem “Madrasah dalam pesantren”, dinilai oleh Mukti Ali sebagai sistem pendidikan yang paling baik. Oleh karena itu pesantren seharusnya dilengkapi dengan pendidikan ketrampilan, pertanian, pertukangan, kepramukaan, seni dan olahraga. Dengan demikian dalam pendidikan madrasah pesantren akan terhimpun tiga komponen: seni, ilmu, dan agama (Pesantren, 2/1987)



Dewasa ini pesantren sudah banyak yang memiliki sekolah/madrasah negeri. MTsN dan MAN, begitu pula sudah bermunculan perguruan tinggi. Perlukah ini? Ya,sepanjang dikelola secara managerial dan profesional memang perlu. Tapi kalau hanya sekadar latah dan ikut-ikutan itu amat mubazir. Orientasi ilmuanya pun jangan terpaku pada IAIN yang masih dipertanyakan. Modal yang sudah mapan di pesantren itu jangan sampai terkikis oleh arus modernisasi.



Pesantren memang perlu sistem pendidikan yang terbuka, memenuhi tuntutan zaman, tetapi tidak boleh kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan agama. Suatu optimisme dalam dunia pesantren. Namun di sisi lain kita juga perlu melihat kelemahan-kelemahannya. Kelemahan pesantren al: kurangnya perhatian kiai terhadap minat dan bakat santri, kurang ada aturan yang mengikat terhadap belar, sehingga santri tidak mau berpacu dengan ilmu, terhadap pelajaran umum (bagi yang non salaf) santrai kurang concern bahkan hampir bisa dikatakan enggan. Ini disebabakan adanya persepsi dikhotomis tentang ilmu agama dan ilmu umum. Kemudian santri belum bisa membedakan antara pengertian tawadhu’ dan berbeda pendapat.



Pada umumnya santri tidak berani berbeda pendapat dengan kiainya karean dianggap tidak etis dan tabu. Padahal sebetulnya itu merupakan sikap ilmiah. Bahkan kadang-kadang santri tidak berani bertanya. Oleh karena itu, di sini kiai harus memberi kebebasan berpendapat terhadap santri, yang ini juga dipraktekkan oleh para ulama pendahulu kita.



Kembali kepada persoalan tuntutan ideal masyarakat terhadap ulama, maka persoalannya cukup jelas. Bagi masyarakat intelektual, atau masyarakat kota, maka ulama yang diperlukan adalah mereka yang bisa mengkonsumsi pemahaman Islam secara rasional, sedang bagi masyarakat pedesaan atau awam maka ulama yang diperlukan adalah mereka yang bisa menjelaskan Islam secara mudah dan bisa diterima oleh kemampuan pikirnya. Dengan demikian, maka kedua sosok ulama itu tetap sama memiliki peran, dan pergeseran peran ulama dengan demikian pun saat ini belum terjadi.



Oleh karena itu, yang kita pikirkan sekarang, bagaimana menyiapkan kader ulama pesantren dan juga ulama kota/kampus. Dan untuk menghadapi tantangan masa mendatang, maka pematangan pendidikan di pesantren haurs betul-betul diupayakan dan upaya kaderisasi ulama gaya MUI harus direalisasikan. Semoga.


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up