MASALAH RELASI KEBERAGAMAAN
Dr. HM. Zainuddin, MA Selasa, 31 Desember 2019 . in Wakil Rektor I . 9515 views


Catatan Akhir Tahun 2019



Prof. Dr. HM. Zainuddin, MA.*



Koordinator peneliti Imparsial Ardimanto Adiputra mencatat sekitar 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terjadi di 15 provinsi Indonesia dari awal hingga menjelang akhir 2019 ini. Temuan ini merupakan hasil monitoring Imparsial lewat berbagai pemberitaan di media massa (Kompas. 17/11/2019). Rinciannya meliputi: 12 kasus pelanggaran KBB berupa pembubaran terhadap ritual/pengajian/ceramah/pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan tertentu. Sebanyak 11 kasus berupa pelarangan pendirian tempat ibadah, 3 kasus berupa perusakan tempat ibadah, 2 kasus pelarangan terhadap perayaan Cap Go Meh, 1 kasus berupa pengaturan tata cara berpakaian sesuai agama tertentu oleh pemerintah. Kemudian, 1 kasus berupa imbauan pemerintah terkait aliran keagamaan tertentu dan 1 kasus berupa penolakan untuk bertetangga terhadap yang tidak seagama. Kasus tersebut merupakan tantangan besar bagi pemerintah Indonesia yang nota bene menjadi eksemplar praktik kehidupan beragama bagi bangsa lain.



Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Terdapat lebih dari tiga ratus etnis, yang masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri. Maka tak pelak pluralitas agama menjadi tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini.



Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Belum lagi pengaruh penetrasi ideologi asing yang berlangsung melalui media sosial pada era digital dan revolusi industri 4.0 yang berkembang begitu cepat dan massif seperti sekarang ini.



Munculnya paham keagamaan yang intoleran dan ekstrem akhir-akhir ini yang ingin menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) menjadi Negara Islam Indonesia (NII) sebagaimana yang terjadi di Irak dan Syria dengan ISIS-nya (Islamic State of Irak and Syria) yang melahirkan maraknya terorisme dan bom bunuh diri di beberapa wilayah negeri ini telah menjadi bukti adanya tantangan baru yang semakin kompleks dan massif yang mesti diantisipasi dan diwaspadai. Ini juga menjadi PR Pemerintah untuk menurunkan tensi intoleransi beragma tahun 2020 ke depan.



            Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’ (1998:2) mengakui bahwa Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos ”pluralisme” keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun menurutnya, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan demokrasi, dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern. 



Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk agama monoteis (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Jawabnya menurut Rodney Stark (2003: 171-173) karena adanya claim yang partikularistik-subjektif, yang memandang rendah agama lain. Hal senada juga dikatakan oleh John Hick (1985: 46). Untuk menghindari hal tersebut, maka agama harus dijauhkan dari hegemoni politik.



Dengan demikian, untuk mengantisipasi dan sekaligus menanggulangi promlematika kehidupan beragama dan demokrasi di Indonesia (konflik, intoleransi, ekstremisme dan terorisme) maka menurut hemat saya perlu langkah-langkah kongkret, yaitu pertama: perlunya reorientasi pemahaman ajaran agama, kedua, depolitisasi agama, dan ketiga, perlunya keberpihakan negara secara lebih serius.



Reorientasi Pemahaman 



Saat ini umat beragama dihadapkan pada problem kemanusiaan universal yang semakin kompleks seiring dengan kemajuan zaman itu sendiri. Oleh sebab itu umat beragama dituntut mampu memahami dan menjelaskan doktrin agama dan sekaligus mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara menyeluruh.



          Ajaran agama mesti dipahami secara benar dan digali makna substansinya. Isu-isu kontemporer mengenai demokrasi, keadilan, HAM, lingkungan dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi sosiologis dan kosmologis. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungannya kepada manusia lain atau alam makro secara keseluruhan. Di sinilah perlunya memahami tiga kesatuan relasi (three unity of relationship) yaitu: relasi manusia dengan Tuhannya (hablun min Allåh), relasi manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nās) dan relasi manusia dengan alam semesta (hablun min al-’ālam). Inilah akhlak karimah (al-akhlāq al-karīmah) yang lebih dari sekadar bermakna sopan santun.



Konsep akhlāq karīmah (al-akhlāq al-karīmah)  --bukan akhlāqul karīmah yang kaprah disebut banyak orang-- sering dipahami secara simplistik, artinya bahwa akhlak itu hanya dipahami sebatas sopan santun saja. Padahal akhlāq karīmah itu meliputi berbuat kebajikan kepada semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta ini (persoalan ekologi, HAM, keadilan, ketimpangan sosial dan seterusnya). Jika ini yang dipahami, maka materi pelajaran akhlāq karīmah menjadi wajib di semua lembaga pendidikan (apapun jenis dan jenjangnya). Sebagaimana kata adab, atau al-ādāb sering dipahami secara sederhana, tata krama atau sopan santun yang dilakukan oleh murid kepada guru atau anak kepada orang tua. Padahal kataadab memiliki ekstensi makna ta’dib yang berarti mengembangkan peradaban. Karena tidak mungkin seorang Nabi besar Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. ke dunia untuk memperbaiki akhlak, jika akhlak ini hanya bermakna hubungan antarmanusia saja atau malah hanya sebatas sopan santun. Bukankah menyederhanakan makna nubuwwah dan risalah-nya? Inilah akhlāq karīmah yang sepadan dengan Ihsān, yang merupakan inti ajaran agama dan sebagai perwujudan dari iman dan Islam.



Manusia (sebagai ’abid atau ’abd Allah sekaligus sebagai khalīfat Allah fi al-ardh) memiliki tiga relasi, yaitu pertama, relasi manusia dengan Tuhannya yang secara vertikal dilakukan melalui ibadah mahdhah  atau arkān al-lslām yang lima (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji); kedua, relasi manusia dengan sesama manusia yang dilakukan dengan perilaku terpuji seperti jujur, amanah, adil, tanggungjawab, toleran dan seterusnya; ketiga, relasi manusia dengan alam semesta yang dilakukan dengan merawat dan menjaga kelestarian alam dan eko sistem, termasuk merawat lingkungan darat maupun laut.



Konsep di atas sejalan dengan perintah Tuhan dalam surat al-Qashash: 77 yang dapat dijelaskan makna kandungannya secara ilmiah, yang mengandung teori besar (grand theory) tentang Tuhan (teologis), manusia (sosiologis), dan alam semesta (kosmologis). Secara teologis, manusia diperintahkan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, dan pada saat yang sama juga harus mencari kehidupan (bekerja) di dunia. Karena manusia tercipta dari dua unsur, jasmani-ruhani yang mesti dipenuhi keduanya, itulah keseimbangan hidup. Secara sosiologis, manusia harus berbuat baik kepada sesama manusia, melintas batas sektarianisme, primordialisme dan religiusitas. Apapun sekte, suku dan agamanya harus kita perlakukan dengan baik, manusiawi. Tidak boleh saling mencaci, menghujat dan melakukan tindakan intoleransi. Secara kosmologis, manusia harus menadayagunakan alam seisinya untuk kemaslahatan umat dan tidak boleh melakukan eksploitasi (illegal logging, illegal fishing, illegal mining) dan seterusnya yang mengakibatkan rusaknya alam dan lingkungannya.



Jika manusia bersedia mentaati printah Tuhan di atas dan konsisten menegakkan tiga aspek dalam hidupnya, maka harmoni dunia akan terjaga dan akan tenteram selamanya. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara akan menjadi gemah ripah loh jinawe (baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur). Untuk mencapai baldah thayyibah wa rabbun ghafur tersebut, makaharus dimulai dari qoryah thayyibah (kampung yang baik: aman, tenteram dan makmur warganya),dan untuk mencapai kampung yang baik, maka harus dimulai dari keluarga yang baik (ahliyah atau zurriyah thayyibah: sakinah, mawaddah wa rahmah). Inilah yang disebut dengan tri pusat pendidikan kewarganegaraan (zurriyah thayyibah, qoryah thayyibah dan baldah thayyibah).



            Sejalan dengan ayat di atas, Allah juga menegaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan sosial berbanding lurus dengan warga bangsa atau SDM yang memiliki kekuatan ortodoksi (iman) dan ortopraksis (amal shalih) atau takwa, dan sebaliknya kerusakan alam dan lingkungan hidup karena distruksi dan dishuman yang dilakukan oleh manusia. Dalam konteks ini Allah menegaskan, bahwa kerusakan alam (baik darat maupun laut) terjadi karena ulah manusia (QS. al-Rüm: 41). Dalam al-Qur’an surah al-Qashas 59 juga ditegaskan bahwa Allah tidak akan menghancurkan suatu negara kecuali penduduknya berbuat aniaya (zalim). Demikian juga disebutkan dalam surah al-A’råf: 96.



Dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita dapat menyaksikan bahwa antara iman dan amal saleh sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, penghayatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosialnya. Ini disebabkan dalam merumuskan pengertian iman tidak dikaitkan dengan realitas empiriknya. Sementara di pihak lain, antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak mengalami kontradiksi dan gap. Akibatnya, dari ketidakseimbangan antara amal dan iman tadi memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyelamat umat, dan secara normatif agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, pembimbing dan pemersatu umat.



Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka para elit agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antarumat beragama demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologis yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang. 



Bersamaan dengan ini pula, maka reorientasi pendidikan agama di sekolah bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat mendesak untuk dilakukan. Dari kajian ini pula sepintas kita telah memahami di mana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Kementerian Agama selama ini. Perlu ada penelitian lebih lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan elementer kemanusiaan. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, agama yang dipentingkan bukan yang normatif-verbalistik, namun yang lebih penting dari itu semua adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu tegaknya moralitas dan kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal:  toleran, empati dan simpati, jujur, adil, jauh dari ekstremisme, kekerasan dan konflik sosial. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara nyata ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.



Dengan demikian, maka pluralitas agama yang ada di Indonesia dapat menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru. Reorientasi pendidikan agama sudah saatnya dimulai dari jenjang pendidikan terendah hingga perguruan tinggi dengan mengevaluasi kurikulum kita yang ada selama ini. Kurikulum kita harus memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.



Politisasi Agama



Tantangan kedua yang dihadapi oleh umat beragama adalah politisasi agama, yaitu agama dijadikan sebagai ajang kepentingan pribadi (vested interest) dan juga kepentingan golongan. Mark Jurgensmeyer (1993:145-146) mengatakan, bahwa tatanan Dunia Baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan bipolar Perang Dingin masa lalu tidak hanya dicirikan oleh munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru, ambruknya kerajaan-kerajaan kuno dan melemahnya komunisme, melainkan oleh bangkitnya identitas-identitas parokial yang didasarkan pada etnis dan kesetiaan agama.



Sementara itu E. Marty dan Appleby (1991:18) menegaskan, bahwa runtuhnya komunisme di Eropa Barat dan terkoyaknya ideologi Marxis di Uni Soviet pada tahun 1990-an telah memunculkan spikulasi para pengamat politik tentang “musuh baru yang bakal dihadapi Amerika”, yang dianggap sebagai penghalang bagi tegaknya demokrasi liberal di negara-negara Barat menuju pembangunan dunia secara global, dan musuh baru itu tidak lain adalah fundamentalisme agama. 



Dalam konteks ini, Bassam Tibi (1998:16, 116) menilai bahwa fundamentalisme hanyalah satu jenis dari fenomena global dalam politik dunia dan sebuah gejala ideologi tentang “benturan peradaban”. Menurutnya, fundamentalisme dengan gaya agitasinya yang demikian bukanlah sebuah solusi melainkan justru cenderung menciptakan chaos, karena ia terus-menerus mendorong konflik dan mempertajam fragmentasi budaya. Fundamentalisme lebih merupakan ideologi politik dari pada fenomena yang murni agama. Bahwa Islam sebagai agama bukanlah ancaman, tetapi fundamentalisme Islam sebagai sebuah ancaman adalah benar, bahkan dalam sekala besar sekalipun, dan ia merupakan tantangan politik.



Senada dengan Tibi, dalam konteks konfrontasi Islam dengan peradaban Barat, Soroush (2003:32-34) mengkhawatirkan adanya kaum Muslimin yang menjadikan Islam sebagai sebuah identitas. Soroush menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di dunia Islam yang paling berat --pada umumnya-- adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban itu memang benar, tetapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan  identitas dan peradaban tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai.



Fundamentalisme Islam populer di kalangan Barat setelah terjadinya revolusi Iran tahun 1979. Menurut E. Marty (1991:144), ada dua prinsip fundamentalisme: pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kedua, adalah penolakannya terhadap hermeunetika. Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis-skripturalis.



Kenapa gerakan fundamentalisme agama selalu dikaitkan dengan kekerasan dan pemberontakan? Karena dalam upaya mewujudkan cita-citanya, gerakan ini tidak jarang menempuh jalan kekerasan. Jika gerakan ini beraksi maka pertumpahan darah hampir dipastikan tak terelakkan dan ini terjadi karena adanya pemahaman dan keyakinan yang mendasari “ajaran” agama tersebut yang dianggap paling benar (normatif-ideologis). Keyakinan ini berlaku pada semua sekte agama, baik Islam (Sunni, Syi’i), Yahudi, Katholik maupun yang lainnya.



            Gerakan kelompok yang berada dalam negara agamis (seperti Iran, Srilangka, Afghanistan, Libanon, Saudi Arabia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab) menurut E. Marty bersifat revolusioner dan bertujuan untuk mengusir hegemoni asing yang akan berlangsung lama. Sebaliknya di negara-negara sekuler (seperti Amerika dan Eropa) bertujuan untuk mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah.



            Fundamentalisme agama disamping memiliki potensi besar terhadap gerakan revolusi juga memiliki potensi konflik antaragama bahkan intern agama. Hal ini terkait dengan doktrin agama yang mereka pahami dan adanya perbedaan yang tajam dalam memberikan penilaian terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sistem nilai itu sendiri. Masing-masing kelompok mengklaim paling benar sendiri. Lihat saja misalnya konflik antar kelompok Hisbullah dan Amal di Libanon, Syi’i dan Sunni, Hindu dan Budha di Srilangka serta Yahudi dan Kristen di Israel.



            Kelompok fundamentalis selalu resisten terhadap sekularisme. Namun ironisnya kata E. Marty (1991:7-8), ketika sudah berhasil memenangkan aksinya mereka tidak dapat melepaskan diri dari sekularisme tersebut. Hal ini dapat dilihat di Iran dan Srilangka kaun fundamentalis tidak bisa lepas dari proses manfaat sekularisasi, bahkan di Srilangka, Afghanistan dan Iran para pemimpin kelompok fundamentalis telah akrab dengan produk sekuler dan doktrin Marxis. Di Israel kelompok fundamentalis Gush Emunies juga menerapkan cara–cara Marxis meskipun mereka tidak sejalan.



Sebetulnya tidak ada kaitan langsung antara radikalisme dengan kekerasan atau terorisme, namun pemahaman yang berlebihan (al-ghuluw) terhadap ajaran agama akan mengarahkan kepada ekstremisme, dan pada gilirannya akan melahirkan sikap dan tindakan yang fatal bahkan aksi teror. Hal ini juga pernah terjadi pada masa awal Islam oleh sekte khawarij dengan jargon populernya: lā hukma illā lillāh.



Mengikuti teori Berger, realitas sosial jihad dan negara Islam menjadi terperlihara dalam teks-teks agama bagi kelompok Islam radikal. Doktrin agama pun akhirnya berhasil melegitimasi wacana "jihad dan negara Islam" tersebut, terlebih ketika agama dijadikan sebagai ideologi negara. Walhasil, bagi Islam “radikal” jihad menjadi sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Demikian pula wacana yang mengiringinya, “negara Islam”. Di Indonesia, upaya-upaya semacam ini direpresentasikan oleh beberapa kelompok organisasi Islam yang ingin mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Islam Indonesia (NII).



Dalam masalah konflik yang mengusung isu keagamaan ini, tindakan preventif perlu lebih dikedepankan. Mengobati konflik yang berwajah agama sangat sulit dilakukan, karena konflik ini menimbulkan luka yang mendalam di masyarakat yang terlanda konflik. Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi gerakan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan menyiapkan regulasi dan perundang-undangan serta penjagaan yang ketat oleh keamanan negara bagi siapapun yang hendak merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke bentuk yang lain (termasuk NII).



Dalam menetapkan kebijakan, hendaknya pemerintah memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang, proaktif mendorong terwujudnya toleransi beragama dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk dialog (antarumat beragama). Seacara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya berkomitmen menegakan hukum untuk membendung bahaya ekstremisme dan terorisme. Pemerintah tidak bisa mentolerir penetrasi ideologi asing yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Seiring dengan itu hendaknya pemerintah juga menegakkan hukum keadilan dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi menekan kecemburuan sosial antarwarga bangsa, terutama dalam membuat regulasi terkait dengan relasi antarumat beragama, karena salah satu pemicu konflik antarumat beragama juga antara lain karena faktor adanya ketidakadilan oleh negara itu sendiri.



Terakhir, penulis perlu mengutip pesan Clinton kepada Gus Dur tentang Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dorojatun Kuntjoro Jakti, bahwa Presiden Bill Clinton pernah berpesan kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai berikut:



“Mr. President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21th century. Indoensia is now world’s third target democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has the largest Muslim population in the world. Mr. President, if Indonesia can show to the world that Islam and democracy are compatible, you show the way”. (Kompas, 8/11/2014).



“Bapak Presiden, saya berharap Indonesia sukses besar. Indonesia yang sukses akan membantu mencirikan abad ke-21. Indoensia sekarang adalah target demokrasi ketiga di dunia. Indonesia adalah populasi terbesar keempat. Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia. Bapak Presiden, jika Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Islam dan demokrasi itu kompatibel, Anda yang menunjukkan jalan itu”.[]



__________



*Wakil Rektor Bidang Akademik dan Guru Besar Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up