Saat ini kita masih menghadapi pandemi covid-19 yang bersifat global dan massif. Hingga saat ini pula belum diketemukan vaksinnya. Berbagai aspek kehidupan berdampak, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dst. Di tengah pandemi ini umat Islam di dunia juga tengah menyambut hari raya korban (’Id al-Adha), hari di mana umat Islam diperintahkan untuk berkorban mengikuti sunnah Khalilullah Nabi Ibrahim As. dan puteranya, Nabi Allah Ismail As.
Apa sesungguhnya kaitan antara hari raya korban dengan pandemi covid-19 ini? Apakah kita sudah merasa cukup hanya dengan merayakan praktik seremonial-keagamaan dan peringatan hari raya korban secara fisik-simbolik tanpa harus tetap menjaga dan memelihara kesadaran yang mendalam sebagai bangsa yang memiliki jiwa solidaritas dan kepribadian yang luhur? Inilah pertanyaan penting yang mesti kita jawab.
Pengorbanan Nabi Ibrahim
Hari raya korban (‘Id al-Adha) merupakan peristiwa religious-monumental yang memerankan tokoh utama Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail sebagai sosok bapak-anak yang taat, sabar dan memiliki keimanan yang amat sangat kuat. Pengorbanan Nabi Ibrahim adalah contoh seorang figur berjiwa tauhid yang bersedia berkorban untuk mencapai derajat takwa. Ibadah korban merupakan manifestasi ajaran tauhid yang tidak terlepas dari semangat solidaritas dan atensi sosial. Dalam surat al-Hajj ayat 27-28, Allah menegaskan bahwa sesungguhnya ibadah korban itu lebih dari sekadar ibadah simbolik dengan menyembelih hewan ternak, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai substansial dan fundamental.
Umat Islam diperintahkan untuk memiliki kekokohan iman (ortodoksi) dan sekaligus mentaati semua perintah Allah meski tampak berat sekalipun (ortopraksis). Perintah untuk menyembelih anak misalnya dalam kasus Nabi Ibrahim merupakan perintah yang amat berat dan tidak bisa diterima oleh nalar begitu saja. Namun Nabi Ibrahim dengan kekuatan imannya mampu memenuhinya secara ikhlas. Demikian pula puteranya, Ismail. Itulah jika iman sudah terpatri dalam sanubari seorang mukmin yang meyakini sepenuhnya bahwa semua perintah yang datang dari Allah Swt adalah benar adanya sebagaimana firman-Nya, “bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka jangan diragukan sedikitpun” (QS. Ali Imran: 60).
Dalam konteks ini, umat Islam tidak hanya diperintahkan berkorban (ternak) dan kemudian membagi-bagikan dagingnya kepada fakir-miskin, begitu setiap tahun dilakukan secara massif, namun pada saat yang sama mereka juga mengorbankan fakir-miskin itu untuk kepentingan pribadinya, ambisi politiknya dan segala macam bentuk mengorbankan orang lainnya. Yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah berkorban untuk melahirkan nilai-nilai takwa, bukan membuat orang lain jadi korban, atau terkorbankan, seperti yang terjadi selama ini dan beberapa praktik pembangunan yang terjadi di negara-negara sekuler, seperti yang dilukiskan oleh Peter L. Berger dalam Piramida Korban Manusia-nya. Itulah maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Bukan daging dan darahnya (yang sampai kepada Allah), melainkan takwamu”. (QS. Al-Hajj:37).
Jika diperhatikan secara cermat, bahwa semua amal ibadah dalam ajaran Islam hakikatnya merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah korban. Misalnya ibadah puasa mengandung hikmah menumbuhkan rasa kasih sayang kepada kaum dhuafa’. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki hikmah memberantas sifat kikir dan membantu kaum mustadh’afin dan mengentas kemiskinan. Demikian juga ibadah haji memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat. Dengan demikian semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal dan horizontal, hablun minallah wa hablun minannas. Umat Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Kesediaan orang Islam meyembelih ternak korban, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As. merupakan realisasi integrasi antara iman dana praktik sosial. Daging korban yang dibagi-bagikan kepada fakir-miskin itu secara kongkret telah menunjukkan kepedulian orang-orang beriman untuk turut melaksanakan ajaran keadilan sosial dan rasa kesetiakawanan yang diajarakan oleh Islam. Sebab, ibadah korban jelas-jelas merupakan pengamalan ajaran Islam yang melambangkan rasa solidaritas dan kasih sayang antarsesama manusia. Perintah berkorban juga merupakan manifestasi kongkret seberapa jauh Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki perhatian sosial di sekelilingnya. Disamping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya, bukan dalam slogan-slogan tetapi diwujudkan secara kongkret dalam masyarakat. Dalam konteks relasi sosial-Islam, Rasulullah Saw. sangat membenci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya, sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa yang tidak perhatian terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Ibadah korban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim sejatinya lebih dari sekadar menyembelih ternak korban, namun secara substansial ia merupakan ibadah memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Hal ini telah dibuktikan oleh Nabi Ibrahim As. Tidak akan pernah terjadi seorang ayah yang karena perintah Allah Swt. bersedia menyembelih anak kesayangannya untuk dijadikan korban sebagaimana Nabi Ibrahim As. Demikian pula Ismail As, yang dengan ikhlas dan lapang dada menerima perintah tersebut untuk dikorbankan. Ini adalah peristiwa yang amat berat dan luar biasa yang harus ditanggung oleh keluarga. Itulah profil pemimpin yang mampu memerangi sikap egoisme. Dari de-egoisme inilah kemudian melahirkan sikap toleran dan peduli sosial dari figur seorang pemimpin.
Jika saja para pemimpin bangsa ini mau mengambil hikmah dari peristiwa korban tersebut, maka tidak pernah terjadi krisis kemanusiaan di negerinya. Umat Islam perlu belajar dari peristiwa korban seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim, seorang figur pemimpin yang jauh dari sikap egois, dan bebas dari godaan dan rayuan materi. Nabi Ibrahim saat itu sempat tergoda oleh rayuan dan bujukan syetan, supaya membatalkan niatnya untuk berkorban. Tetapi karena kekokohan imannya itulah beliau mampu mengatasi segala macam godaan dan cobaan tersebut dan berhasil melepaskan kepentingan pribadinya untuk tujuan yang lebih mulia, yaitu kemanusiaan universal.
Dalam konteks berkorban dan menganggulangi pandemi covid-19 yang berlangsung berbulan-bulan ini, ada beberapa hal yang perlu kita gali bersama: Pertama, bahwa ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal (hablun min Allah) dan horizontal sekaligus (hablun min al-nas), bahkan juga relasi kosmik (hablun min al-‘alam). Umat Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya. Kedua, bahwa umat Islam diperintahkan untuk memiliki jiwa simpati dan empati terhadap orang lain, ikhlas beramal dan kesabaran yang mendalam dalam setiap menghadapi cobaan. Ketiga, bahwa umat Islam tidak dibenarkan hidup secara personal dan individual, mengisolasi diri dari keterikatan dengan yang lain. Namun sebaliknya, umat Islam mesti hidup aktif dan kreatif, yaitu memiliki kepekaan sosial dan terlibat langsung dengan urusan-urusan kemanusiaan, melakukan rekayasa sosial yang dapat membantu para fuqara’ dan masakin serta para mustadla’afin, terutama di musim pandemi covid-19 seperti saat ini yang menimpa jutaan umat manusia di seluruh belahan dunia [].