MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI INSPIRASI
Dr. HM. Zainuddin, MA Sabtu, 26 Desember 2020 . in Wakil Rektor I . 5825 views


Presiden Jokowi kemaren (Rabu, 23/12/2020) telah secara resmi melantik enam menteri Kabinet Indonesia Maju. Seperti biasa, banyak yang terkejut dengan wajah para menteri baru itu. Termasuk diantaranya Menteri Agama yang sebelumnya diamanahkan oleh TNI, Jenderal (purn) Fachrul Razi, kini dipercayakan ke jama’ah NU, Gus Yaqut Cholil Qoumas yang Ketua GP Ansor.



Bagaimana dan apa yang akan dilakukan oleh Menteri Agama baru ini? Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam statemennya usai diamanahi oleh Presiden di istana, bahwa Gus Yaqut akan melakukan tiga hal penting yaitu: pertama. akan menempatkan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi, tidak menjadikan agama sebagai alat politik (depolitisasi agama). Agama harus memberi nilai kehidupan berbangsa dan bernegara; kedua, akan memelihara persaaudaraan multi aspek (ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah basyariyah); ketiga, akan memajukan pendidikan agama dan pondok pesantren.



Ini tentu berbeda dengan Menag sebelumnya, Fachrul Razi yang purnawirawan jenderal itu. Saat usai dilantik beliau secara eksplisit menegaskan: akan segera action, turun lapangan menangani problem intoleransi, radikalisme, dan terorisme dengan pendekatan antara lain: membenahi kurikulum pendidikan agama dan menindak tegas bagi yang melanggar ketentuan hukum, bahkan jika ada ASN di kementeriannya yang bangkang tidak segan-segan untuk dicopot.



Pertama: Depoilitisasi Agama



Menurut Menag baru ini, agama harus dijadikan sebagai inspirasi dan memberikan nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sebaliknya agama dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Pemikiran ini tentu diilhami oleh tokoh sentralnya, Gus Dur yang selalu konsisten menjadikan agama sebagai tatanan nilai bukan institusi itu sendiri. Maka, Gus Dur tidak pernah mau menyuarakan Islam secara formal dan struktural, namun sebaliknya, Islam dijadikan sebagai nilai dalam tetanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan negara Islam yang harus diperjuangkan, tetapi masyarakat Islam (Islamic culture).



Pemikiran di atas sejalan dengan apa yang pernah ditegskan oleh Jurgensmeyer (1993:145-146), bahwa tatanan Dunia Baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan bipolar Perang Dingin masa lalu tidak hanya dicirikan oleh munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru, ambruknya kerajaan-kerajaan kuno dan melemahnya komunisme, melainkan oleh bangkitnya identitas-identitas parokial yang didasarkan pada etnis dan kesetiaan agama.



Senada dengan Jurgensmeyer, Abdul Karim Soroush (2003:32-34) menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di dunia Islam yang paling berat adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban itu memang benar, tetapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai.



Dalam masalah konflik yang mengusung isu keagamaan, tindakan preventif perlu lebih dikedepankan. Mengobati konflik yang berwajah agama sangat sulit dilakukan, karena konflik ini menimbulkan luka yang mendalam di masyarakat yang terlanda konflik. Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi gerakan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan menyiapkan regulasi dan perundang-undangan serta penjagaan yang ketat oleh keamanan negara bagi siapapun yang hendak merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke bentuk yang lain (termasuk NII).



Kedua: Memelihara Ukhuwwah



Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Maka, pluralisme agama jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.



Secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis memperlihatkan sebaliknya, agama justru menjadi sumber konflik yang tak kunjung reda, baik konflik intern maupun ekstern. Fenomena tersebut menunjukkan kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Oleh sebab itu, persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama.



            Dalam rangka membina dan memlihara kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang plural ini, maka perlu diupayakan melalui berbagai cara dan strategi, antara lain dengan memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh yang besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai berbagai kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum mereka ini tidak diangkat oleh pemerintah, tetapi ditunjuk atas kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam mekanisme hubungan sosial keagamaan, tokoh agama menempati kedudukan sebagai pemimpin dalam komunitasnya, terutama dalam menghadapi pihak luar yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial keagamaan dan adat istiadat setempat. Dalam hal kerukunan pun tokoh agama berperan besar untuk menyatukan persepsi dan visi dari berbagai ajaran agama masing-masing kelompok dan komunitasnya. Maka program ikatan persaudaraan (ukhuwwah) ini, baik persaudaraan berbasis agama dan Islam (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan berbasis kemanusiaan (ukhuwwah basyaraiyyah) maupun persaudaraan berbasis kebangsaan atau tanah air (ukhuwwah wathaniyyah) adalah sangat diperlukan dalam memelihara kesatuan dan persatuan bangsa (NKRI).



Ketiga: Memajukan Pendidikan Agama



Di lembaga pendidikan, hendaknya ditanamkan pendidikan agama yang menanamkan doktrin agama moderat (alhanifiyyah al-samhah), agama damai (din rahmah) bukan agama kekerasan dan ektrem sebagaimana yang terjadi selama ini. Orientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti upacara, ritus, simbol-simbol dan sederet kesalehan ritual-formalistik lainnya. Pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi formal itu, meski ia juga merupakan bagian penting dalam agama. Pendidikan agama adalah upaya menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agamanya melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran secara berkesinambungan. Oleh sebab itu pesan-pesan materi pendidikan agama harus mencerminkan sifat toleran, inklusif, dan humanis.



Dengan demikian konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat urgen. Dari kajian ini pula, sepintas kita telah memahami di mana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Kementerian Agama selama ini. Di sinilah perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan tersebut. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain agama yang dipentingkan bukan sekadar simbol, namun lebih dari itu adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan amal saleh. Karena dengan pendidikan model ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari kekerasan dan teror yang meresahkan warga bangsa. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.



Dalam dinamika seperti ini, umat Islam seyogyanya menunjukkan sikap yang dapat meyakinkan “musuh” mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa umat Islam tidak menampakkan dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling, al-Qur'an memandu umat Islam bahwa satu-satunya respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Di Indonesia bukan daerah perang (dar alharb), oleh sebab itu tidak ada alasan yuridis Islam (hujjah fiqhiyyah) untuk menabuh genderang perang melawan agama lain. Justru yang harus dilakukan adalah sebaliknya, perang melawan teroris dan terorisme itu sendiri, bahwa terorisme adalah musuh semua agama.



Tiga program besar di atas merupakan tantangan Kementerian Agama ke depan. Dan jika ini dapat digarap secara serius, maka Kementerian Agama akan mendapat trust dan citra yang bagus dari masyarakat. Penulis yakin hal ini dapat dilakukan dengan menggerakkan seluruh satker yang ada, khususnya perguruan tinggi keagamaan untuk menjadi mitranya (patner in progress). Selamat kepada Gus Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama baru, semoga segera dapat melakukan yang terbaik untuk umat dan memajukan bangsa dan negara.***


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up